Pages - Menu

Pages - Menu

Kamis, 08 Desember 2016

OJK Gelar Evaluasi Kinerja BPR - BPRS Terkait Peluang dan Tantangan di Lingkungan Industri Keuangan ke Depan



KABARPROGRESIF.COM : (Surabaya) Sudah 5 tahun Otoritas Jasa Keuangan ( OJK)  telah melaksanakan fungsinya sebagai Penyelenggara Sistem Pengaturan dan Pengawasan yang Terintegrasi terhadap Industri Jasa Keuangan yang di dalamnya termasuk BPR dan BPRS. Pada kesempatan ini, OJK KR 4 Surabaya mencoba mem-profile dan memaparkan kinerja BPR/S di bawah pengawasan Kantor OJK Regional 4 Surabaya pada Oktober 2016, dengan maksud untuk memberikan gambaran yang utuh mengenai Peluang dan Tantangan dilingkungan industri keuangan dengan melihat Kelemahan dan Kekuatan BPR dan BPRS kedepan sehingga target-target yang ditetapkan menjadi realistis dan terukur.

Kepala Otoritas Jasa Keuangan Regional 4 Jawa Timur Sukamto mengatakan, sampai dengan Oktober 2016 jumlah BPR/S di bawah pengawasan KR 4 Surabaya sebanyak I33 (120 BPR dan 13 BPRS). Dari sisi kinerja, posisi Aset, Dana yang dihimpun dari masyarakat (DPK) maupun Penyaluran Dana (Kredit) menunjukan indikator yang baik. Hal tersebut tercermin dari total aset BPR yang mencapai Rp 5,l9 triliun atau tumbuh sebesar 8.27% dibandingkan dengan posisi yang sama pada 2015, sementara untuk total aset BPRS mencapai Rp 1,23 triliun atau tumbuh sebesar 14.35%. Untuk total DPK BPR mencapai Rp2,75 triliun atau tumbuh sebesar 13.12% sementara total DPK BPRS mencapai Rp 726 miliar atau tumbuh sebesar 31.39%. Pada aspek perkreditan/pembiayaan, jumlah nominal yang dapat dicapai oleh BPR sebesar Rp 3,34 triliun atau tumbuh sebesar 7.82% sementara untuk pembiayaan (BPRS) jumlahnya mencapai Rp 924 milyar atau tumbuh sebesar 11.32%. Memperhatikan rencana kerja BPR/S tahun 2017, maka OJK mengajak pengurus BPR/S melihat profile kinerja BPR/S kebelakang sebagai cerminan kapabilitas dan profile dari perkembangan usaha BPR/S yang kedepannya OJK harap dapat dijadikan acuan dalam menetapkan target-target bisnis pada Laporan Rencana Kerja BPR/S.

" Berdasarkan behavioral data statistic perkembangan asset BPR selama 4 tahun terakhir tumbuh 13,7396 (rata-rata YoY di KR 4 Surabaya) sementara itu asset BPRS tumbuh 21,27%. Angka tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan pertumbuhan asset BPR dan BPRS selama 4 tahun terakhir rata-rata YoY di Jawa Timur yang jumlanya mencapai 11,59% (BPR) dan 16,75% (BPRS). Namun demikian, pertumbuhan tersebut belum diikuti dengan pertumbuhan fungsi intermediary yang optimal dibuktikan dengan rata-rata pertumbuhan kredit BPR/S di KR 4 Surabaya hanya mencapai l0,07% (BPR) dan 17,82% (BPRS) dan jumlahnya tidak berbeda jauh dengan rata-rata pertumbuhan kredit BPR dan BPRS di Jawa Timur yakni sebesar 9,19% (BPR) dan 13,38% (BPRS). Dengan demikian OJK menghimbau kepada pengurus BPR/S untuk lebih terukur dalam menetapkan rencana kerja agar dapat mengejar ketertinggalan ini, terlebih berdaasarkan data statistik OJK, shares asset BPR dan BPRS di KR 4 Surabaya dibandingkan dengan total asset perbankan di KR4 Surabaya (Rp 355 triliun) hanya sebesar 1,81% atau sebesar Rp 6,414 milyar (BPR Rp 5.19 triliun dan BPRS Rpl.23 triliun)." katanya pada konferensi pers di Balroom  Hotel Sangrila, Kamis (8/12).

Menurut Sukamto, dari sisi kemampuan menyerap risiko (risk buffer), tingkat kecukupan pemenuhan modal minimum BPR/S sebesar 36,22% menurun 8.40% jika dibandingkan dengan posisi yang sama pada tahun 2015 (44.62%) ha1 ini sejalan dengan pertumbuhan rasio Non Performing Loan dari 6.12% menjadi 6.69% sehingga berdampak kepada penurunan indikator rentabilitas (ROA) sebesar 0.40% dari 2.15% pada tahun lalu menjadi 2.54% pada Oktober 2016. Sementara itu, dari sisi efisiens'i rasio BOPO BPR/S tercatat sebesar 80.97% atau menurun sebesar 4.4096 dari posisi yang sama pada tahun lalu (85.37%).

" Sementara pada Bank Perkreditan Rakyat Syariah rasio CAR mencapai 32.93% dengan tingkat ROA 2.54% dan BOPO sebesar 86.38%. Hal ini menunjukan indikasi masih adanya kelemahan pada infrastruktur dan strategi bank yang perlu segera di perbaiki khususnya pada aktivitas penghimpunan masyarakat yang saat ini dinilai kurang memadai (FDR 127.20%) dan kualitas pembiayaan yang belum etisien (NPF 8.16%)." terangnya.

Namun Berdasarkan fakta tersebut, masih kata Sukamto. OJK menyimpulkan bahwa masih terjadi Inefisiensi dalam pelaksanaan tata kelola BPR dan BPRS saat ini, dikarenakan terjadinya penurunan rasio kecukupan modal yang diikuti dengan kenaikan NPL sehingga mengakibatkan penurunan ROA.

" Hal ini perlu menjadi perhatian kita bersama untuk dapat melakukan perbaikan dalam tata kelola perusahaan pada 2017 sehingga pencegahan terhadap permasalahan yang dapat mempengaruhi kinerja bank dapat tertangani dengan baik." ujarnya.

Sukamto menjelaskan, berdasarkan hasil pengawasan OJK, minimnya ketersediaan modal untuk mengembangkan bisnis, aspek Good Corporate Governance (GCG) yang terabaikan, serta kuantitas dan kualitas SDM yang masih lemah merupakan faktor utama yang membuat BPR/S sulit berkembang, sehingga BPR/S terkesan beroperasi ala kadarnya.

" Dampak dari kejadian ini sebuah penurunan kepercayaan nasabah terhadap BPR/S dalam jangka panjang sehingga BPR/S sulit untuk merealisasikan peran dan fungsinya sebagai lembaga jasa keuangan yang turut serta dalam menunjang pertumbuhan ekonomian daerah." ungkapnya.

Permasalahan kurangnya Sumber Daya Manusia yang capable pada bisnis BPR/ S ditandai dengan lemahnya pelayanan BPR/S kepada nasabah dan sulitnya BPR/S untuk bersaing dengan Bank Umum. Kondisi tersebut juga diperparah dengan terungkapnya kasus-kasus fraud dibeberapa BPR/S akhir-akhir ini hingga status pengawasan intensif sampai penutupan bank harus dilaksanakan untuk menjaga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap industri. Perubahan gaya hidup masyarakat yang semakin konsumtif menjadi salah satu faktor yang melunturkan integritas pengurus dan pegawai sehingga menimbulkan Moral Hazard.

Disisi lain, lanjut Sukamto. keterbatasan modal BPR/S juga menyulitkan manajemen untuk dapat merekrut SDM yang baik. Dalam banyak kasus kurang tajamnya petugas bank dalam menganalisa kredit/pembiayaan membuat portofolio kredit/pembiayaan BPR/S menjadi bermasalah sehingga mengakibatkan bank merugi. Untuk itu, OJK menghimbau kepada pemilik modal agar tidak segan-segan menyuntikan dananya mengembangkan bisnis BPR/S agar industri BPR/S di Jawa Timur mampu bersaing sccara baik ditengah ketatnya persaingan industri perbankan.

" OJK juga mengingatkan kembali agar para pemilik modal dan pengurus melaksanakan praktik-praktik Good Corporate Governance yang baik dengan memastikan pemenuhan kecukupan Direksi dan Komisaris baik secara kualitas dan kuantitas (qualified) hingga terpenuhinya rasio kebutuhan SDM BPR/S karena berdasarkan data pengawasan OJK diketahui bahwa masih banyak komisaris yang dinilai kurang melaksanakan fungsi pengawasannya bahkan terkesan menyerahkan sepenuhnya pengawasan pengelolaan bank kepada Direksi sehingga rekayasa kredit dan laporan keuangan masih ditemukan." katanya.

Untuk mengantisipasinya, OJK telah mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 4/POJK.03/2015 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi BPR dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor l3/POJK.O3/2015 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi BPR yang pelaksanannya wajib menjadi perhatian.

" Untuk itu, OJK ingin menegaskan kembali bahwa penerapan tata kelola bank yang baik dan penerapan manajemen risiko bagi BPR/S merupakan suatu keniscayaan yang wajib kita laksanakan sebagai upaya memperkuat sistem pengendalian internal bank dalam melindungi aset bank dari moral hazard." jrentek Sukamto.

Sukamto berharap, kepada para Komisaris dan Direksi, OJK minta perhatiannya untuk segera membentuk tim yang cukup, baik secara individu maupun kolegial melalui Perbar'mdo untuk mempersiapkan segala sesuatunya.

" Tantangan dan kompetisi industri perbankan saat ini semakin ketat, hal tersebut diperkuat dengan adanya kebijakan pemerintah yang mendorong penurunan suku bunga pinjaman atau kredit menuju single digit (salah satunya melalui KUR) dan kebijakan transformasi Badan Kredit Desa (BKD) menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang secara tidak langsung akan berdampak pada risiko penurunan likuiditas hingga menurunkan daya saing BPR atau BPRS dalam mencari nasabah. Oleh karena itu, OJK mengajak untuk memperkuat industri perbankan melalui praktek perbankan yang sehat dan professional yang berorentasi kepada output tidak terkecuali untuk bism's BPR dan BPRS.

OJK terus berupaya untuk meningkatkan peran dan kontribusi industri BPR terhadap perekonomian daerah dengan mengeluarkan peraturan bagi BPR yaitu POJK No.12/POJK.O3/2016 tentang Kegiatan Usaha dan Wilayah Jaringan Kantor Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Modal Inti." pintanya.

Sukamto menambahkan,melalui peraturan tersebut, OJK mengelompokkan BPR menjadi 3 (tiga) BPR berdasarkan Kegiatan Usaha (BPRKU) yaitu penyelenggaraan kegiatan usaha yang disesuaikan dengan modal inti yang dimiliki. Untuk BPRKU yang pertama adalah BPR dengan modal inti kurang dari Rp 15 Miliar, kemudian BPRKU yang kedua adalah BPR dengan modal inti antara Rp 15 Miliar sampai dengan Rp 50 Miliar, dan BPRKU yang ketiga adalah BPR dengan modal inti lebih dari Rp 50 Miliar.

" Untuk Wilayah jaringan kantor, BPRKU l dengan modal inti kurang dari Rp 6 Miliar dapat membuka paling banyak 20 (dua puluh) kantor cabang, sedangkan BPRKU l dengan modal di atas Rp 6 Miliar dapat membuka paling banyak 30 (tiga puluh) kantor cabang. Kemudian, BPRKU 2 dapat membuka paling banyak 4O (empat puluh) kantor cabang, dan BPRKU 3 dapat membuka paling banyak 7O kantor cabang dan OJK juga mengingatkan bahwa penerapan peraturan tersebut juga harus tetap didukung oleh kepengurusan yang lengkap, penerapan tata kelola yang baik, dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas baik pada aspek soft skill maupun hard skill agar peran dan kontn'busi BPR/S terus memben'kan faedah dan manfaat bagi masyarakat Jawa Timur." pungkasnya. (Dji)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar