Terus Kobarkan Semangat Perjuangan Arek-arek Suroboyo 10 Nopember 1945 untuk memberantas Korupsi, Terorisme dan Penyalahgunaan Narkoba

Rabu, 19 Juli 2017

Pakai UU 23/2014 Pasti Kalah di MK


KABARPROGRESIF.COM :  (Surabaya) Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan pemerintah kabupaten/kota terkait pengelolaan SMA/SMK ke pemerintah provinsi, Rabu (19/7). Ini menjadi kabar tidak menyenangkan bagi pemerintah kota/kabupaten, salah satunya Kota Surabaya, Jawa Timur.

Menurut Wakil Komisi A Bidang Hukum dan Pemerintahan DPRD Surabaya, Adi Sutarwijono, meski keputusan MK itu, bagi sebagian warga di daerah bukan kabar gembira, tetap harus diterima lapang dada.

"Keputusan MK telah mengukuhkan pengelolaan SMA/SMK tetap berada di tangan pemerintah provinsi," katanya.

Namun yang perlu diingat, tegas politikus akrab disapa Awi ini, adanya uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 23/2014, tentang pemerintahan daerah merupakan manifestasi ketidakpuasan atas pengelolaan SMA/SMK dari pemerintah kabupaten/kota ke provinsi.

UU Nomor 23/2014 merupakan warisan pemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono).

"Karena sebelum UU 23/2014 lahir, urusan pendidikan diatur dan bersandar pada UU 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional," ungkapnya.

Dalam UU Nomor 20/2003, yang merupakan warisan pemerintahan Megawati Soekarnoputri itu, kewenangan pemerintah provinsi hanya sebagai koordinator. Sementara pemerintah kabupaten/kota memiliki hak mengelola pra-sekolah, pendidikan dasar yang mencakup SD, SMP dan SMA/SMK sederajat.

Dengan UU Nomor 20/2003, pemerintah kabupaten/kota bisa merancang postur anggaran pendidikan, yang minimal harus 20 persen dari APBD.

"Sehingga banyak daerah yang berani membebaskan biaya pendidikan bagi rakyatnya, termasuk Kota Blitar dan Kota Surabaya," ungkapnya.

Politikus asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sangat menyayangkan keputusan MK terkait gugatan masalah pengelolaan pendidikan dari pemerintah kabupaten/kota ke provinsi ini.

"Sebab, dengan menerapkan UU 23/2014 ini, ternyata kebijakan pendidikan kembali ke era lama, yaitu dengan penerapan skema pendidikan berbayar. Beban keuangan masyarakatpun bertambah berat," sesal Awi.

Diapun berharap, seandainya putusan MK itu mengembalikan SMA/SMK ke tangan pemerintah kabupaten/kota, dia yakin banyak warga yang akan menyambut gembira.

"Karena mereka bakal menikmati lagi pendidikan gratis," harapnya yang tak kesampaian.

Namun, masih kata dia, logika tersebut tidak sama dengan argumen Majelis Hakim MK. Bahwa pengelolaan SMA/SMK di tangan pemerintah provinsi, dinilai konstitusional. Tidak bertentangan dengan UUD 1945.

"Maka, putusan MK itu seharusnya menjadi cermin introspeksi diri bagi pemangku kebijakan pemerintahan.  Di tangan mereka, nasib rakyat bergantung."

Seandainya di tangan pemerintah provinsi, ternyata ada perbaikan dalam skema anggaran dan manajemen secara keseluruhan atas pengelolaan SMA/SMK, maka bagi rakyat tentu akan disambut dengan gembira.

"Kuncinya pada gubernur, apakah berani mengambil kebijakan pendidikan yang menggembirakan hati rakyat," tandasnya.

Seperti diketahui, putusan MK ini terkait permohonan perkara Nomor 30/PPU-XIV/2016 yang diajukan Wali Kota Blitar, Samanhudi Anwar. Dalam permohonannya dia menggugat Lampiran UU Nomor 23/2014 tentang Pemda Angka I huruf A Nomor 1, tentang pembagian urusan pemerintah bidang pendidikan.

Namun dalam keputusannya, Hakim MK menolak permohonan tersebut.

"Menolak permohonan seluruhnya," tegas Ketua MK, Arief Hidayat saat membacakan putusan pada sidang terbuka di Gedung MK, Jakarta Pusat. (arf)

0 komentar:

Posting Komentar