Terus Kobarkan Semangat Perjuangan Arek-arek Suroboyo 10 Nopember 1945 untuk memberantas Korupsi, Terorisme dan Penyalahgunaan Narkoba

Selasa, 17 September 2024

MA Bantah Korupsi Honor Penanganan Perkara Hakim Rp97 Miliar


Sleman - KABARPROGRESIF.COM Mahkamah Agung (MA) membantah tudingan dugaan tindak pidana korupsi sebesar Rp97 miliar di institusinya lewat pemotongan honorarium penanganan perkara (HPP) hakim agung.

Dalam hal ini, Juru Bicara MA Suharto, menyangkal tudingan Indonesia Police Watch (IPW) terhadap pimpinan MA yang diberitakan sejumlah media arus utama, 11 September 2024 kemarin.

"Pemberitaan di media massa tersebut juga direspons dengan unjuk rasa yang dilakukan oleh massa yang mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Jakarta pada tanggal 12 September 2024," kata Suharto saat menggelar konferensi pers di Royal Ambarrukmo, Sleman, DIY, Senin (17/9).

"Bahwa tidak ada praktik pemotongan honorarium penanganan perkara hakim agung yang dilakukan secara paksa dengan intervensi pimpinan Mahkamah Agung," lanjut dia.

Faktanya, kata Suharto, para hakim agung telah bersepakat menyerahkan secara sukarela sebesar 40 persen dari hak HPP yang diterima untuk didistribusikan kepada tim pendukung teknis dan administrasi yudisial.

Dia mengatakan kesukarelaan itu dituangkan dalam surat pernyataan bermeterai dan diketahui para ketua kamar yang bersangkutan.

Suharto melanjutkan, guna memudahkan proses penyerahan sebagian hak hakim agung atas HPP tersebut, para Hakim Agung membuat kuasa kepada Bank Syariah Indonesia (BSI) untuk melakukan pendebetan dana dari rekening penerimaan HPP masing-masing hakim agung.

"Seluruh hakim agung telah membuat surat pernyataan penyerahan secara sukarela sebagian haknya atas honorarium penanganan perkara dan surat kuasa pendebetan. Dengan demikian, tidak benar ada hakim agung yang melakukan penolakan," klaim Suharto.

Suharto menerangkan, timbulnya kesadaran hakim agung untuk menyerahkan hak atas HPP itu salah satunya didasari pada proses penanganan perkara oleh MA. 

Proses itu, menurutnya, tidak dapat diselesaikan sendiri oleh hakim agung.

Proses itu meliputi penerimaan berkas perkara, penelaahan dan pemilahan berkas perkara, registrasi berkas perkara, penetapan kamar, penetapan majelis, dan distribusi perkara, penetapan hari musyawarah dan ucapan, berkas perkara, persidangan musyawarah dan ucapan, minutasi dan pengiriman berkas ke pengadilan pengaju.

Proses ini, tutur Agung, memerlukan kerja kolektif antara hakim agung sebagai pelaksana fungsi utama dan unsur kepaniteraan dan kesekretariatan MA sebagai pendukung teknis dan administrasi yudisial. 

Dia mengatakan Sinergitas dibutuhkan untuk percepatan penanganannya.

Pengaturan pemberian honorarium penanganan perkara pada MA ini berbeda dengan pengaturan untuk Mahkamah Konstitusi (MK). 

Pada MK, selain kepada Hakim Konstitusi, HPP juga diberikan kepada gugus tugas dan/atau pegawai di lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK. Sementara untuk MA, HPP cuma diperuntukkan bagi hakim agung.

Adapun latar belakang diberikannya HPP kepada Hakim Agung sebagaimana tertuang dalam paragraf keempat penjelasan PP 82/2021 dan surat Menteri Keuangan tentang Satuan Biaya Masukan Lainnya (SBML) HPP adalah demi mempercepat proses penyelesaian perkara dan mereduksi tunggakan perkara pada MA.

Dengan memperhatikan praktik pemberian HPP pada MK, efektivitas percepatan penyelesaian perkara dan fakta bahwa penanganan perkara merupakan kerja kolektif, seluruh Hakim Agung dengan tanpa paksaan menyepakati untuk menyerahkan 40 persen dari bagiannya kepada Tim Pendukung Penanganan Perkara.

"Pernyataan penyerahan secara sukarela sebagian haknya tersebut dibuat oleh hakim agung pada awal tahun 2022 bersamaan dengan terbitnya Surat Menteri Keuangan tentang SBML HPP tahun 2022 sebagaimana tersebut di atas," terang Suharto.

Dalam kesempatan itu, Suharto juga membantah tudingan pimpinan institusinya melakukan tindak pidana korupsi lewat pemotongan HPP hingga mencapai Rp97 miliar.

Menurut pihaknya, IPW  menduga HPP yang didistribusikan kepada penerima hanya sebesar 74,05 persen dan sisanya digunakan oleh pimpinan MA untuk kepentingan pribadi. 

Itu berdasarkan Memorandum Nomor 2606/PAN/HK.00/10/2022 tanggal 3 Oktober 2022 dan Nota Dinas Nomor 1808/PAN/HK.00/9/2023 tanggal 12 September 2023 tentang Perubahan Alokasi HPP Tahun 2023.

Dalam memorandum dan nota dinas yang bersifat internal tersebut, lanjut Suharto, panitera MA menyampaikan informasi kepada para hakim agung, panitera muda dan panitera pengganti perihal adanya perubahan besaran HPP yaitu Ketua Majelis (26%), Anggota Majelis 1 (17%), Anggota Majelis 2 (17%), Panitera Pengganti (7,5%), Panitera Muda Kamar (1%), operator (3,55%), dan staf majelis (2%).

Berdasarkan penjumlahan besaran alokasi penerima HPP yang termuat dalam memorandum tersebut sebesar 74,05 persen, IPW menyimpulkan bahwa dana HPP yang didistribusikan tersisa 25,95 persen yang lantas dipergunakan untuk kepentingan pribadi pimpinan.

"Berdasarkan hal tersebut, Mahkamah Agung menegaskan bahwa pernyataan IPW tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi berupa pemotongan honorarium penanganan perkara hakim agung yang mencapai Rp97.020.757.125,00 adalah tidak benar karena didasarkan pada pengolahan data dan informasi yang keliru," tegas Suharto.

Suharto mengklaim uang honorarium penanganan perkara dibagikan secara habis atau 100 persen kepada penerima alokasi sesuai besaran yang ditetapkan dengan Keputusan Panitera MA Nomor 2349/PAN/HK.00/XII/2023 tanggal 5 Desember 2023 yang merupakan penyempurnaan dari SK Panitera MA sebelumnya.

Suharto memastikan, HPP dialokasikan kepada 43 kelompok penerima yang dikategorikan sebagai majelis hakim (60%), supervisor (7%), pendukung teknis yudisial (29%) dan pendukung administrasi yudisial (4%).

"Dalam hal terdapat pejabat penerima yang tidak terisi baik karena pensiun maupun keadaan lain maka dilakukan redistribusi kepada seluruh penerima," pungkasnya.

0 komentar:

Posting Komentar