Enampuluh delapan tahun yang silam, tepatnya pada tanggal 10 Nopember merupakan peristiwa yang mencerminkan mahalnya nilai untuk mempertahankan kedaulatan negeri ini yang harus dibayar oleh Arek-arek Suroboyo.
Ultimatum Mayor Jenderal Mansergh, pengganti Brigadir Jenderal Mallaby yang terbunuh di Jembatan Merah setelah peristiwa bentrokan dengan beberapa pemuda, dianggap sangat merendahkan kedaulatan RI yang saat itu baru saja diproklamasikan. Mansergh mengeluarkan ultimatum bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan. Mansergh memberi batas waktu sampai jam 06.00 tanggal 10 November 1945.
Pada pagi hari itu pula seluruh rakyat Surabaya yang telah menyadari kedaulatan mereka secara serentak memilih untuk mengangkat senjata, meskipun harus menghadapi tentara Inggris yang bersenjata lengkap dan profesional. Mansergh mengerahkan 30 ribu serdadu, 50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perang untuk membombardir Surabaya.
Diluar perhitungan Mansergh yang saat itu diboncengi oleh belanda untuk kembali menjajah negeri ini, peperangan tak cukup hanya berlangsung tiga hari untuk menaklukkan Surabaya. Tetapi sampai berlarut-larut hingga berminggu-minggu. Korban pun menjadi tak terhitung.
10 Nopember menjadi pertanda mahalnya nilai kemerdekaan sehingga harus memakan korban sampai sekitar 16 ribu jiwa para pejuang Indonesia, sedangkan korban dari pihak sekutu sampai 2 ribu jiwa.
Kini siapapun yang melewati jalan-jalan di Kota Surabaya, yang bersih dan rapi, sehingga berkali-kali memperoleh penghargaan Adipura, tak pernah membayangkan bahwa pada tanggal 10 Nopember, 68 tahun yang silam, jalanan itu porak poranda, bergelimpangan banyak mayat dan memerah karena lumuran darah.
Peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya ketika itu juga menginspirasi dan menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban ketika itulah yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan.
Kini kita tak perlu mempertahankan kemerdekaan ini dengan mempertaruhkan nyawa seperti yang dilakukan oleh para pendahulu kita. Tetapi cukup menjaga kemerdekaan sekaligus sebagai ungkapan penghargaan kepada para pejuang yang telah mewariskan kemerdekaan kepada kita.
Kita hanya perlu mengisi kemerdekaan itu dengan cara-cara yang sudah ada dan sangat sederhana, misalnya melakukan tindakan dan perbuatan yang tidak melanggar hukum, seperti korupsi atau kolusi. Sayangnya, banyak diantara kita yang masih tidak peduli dan tidak tahu berterima kasih terhadap pengorbanan yang dilakukan oleh para pejuang, Arek-arek Suroboyo yang tak lain adalah para leluhur kita, 68 tahun yang silam. (dt)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar