Pages - Menu
▼
Pages - Menu
▼
▼
Minggu, 10 November 2013
Sampah TPA Benowo Bernilai Miliaran Rupiah
Pemkot Tak Peduli Warga, TPA Benowo Tetap DIserahkan ke Investor
Lahan Milik Pemkot, Sampah Belum Diolah Tapi PT SO Sudah Terima Uang Pelicin
KABARPROGRESIF.COM : Tak ada barang atau anggaran yang bisa dimainkan lagi, kini pemkot mulai melirik sampah di TPA Benowo yang notabene berbau busuk. Pemkot Surabaya rupanya sudah menutup mata atas ke-luhan warga kecil di Surabaya. Salah satu buktinya adalah kasus penolakan warga atas (Tempat Pembuangan Akhir) TPA Benowo yang berakhir bentrok antara warga pro dan kontra.
Dalam kasus TPA Benowo, pemkot memilih menunggu dan tidak segera melakukan penanganan. Bahkan, Pemkot terkesan lebih suka menunggu masalah itu jadi besar. Tidak hanya itu, Pemkot juga seperti lebih mengutamakan kepentingan pemkot terhadap proyek di TPA Benowo yang sudah bekerja sama dengan PT Sumber Organik (SO) untuk menangani sam-pah di sana.
Padahal terkait masalah sampah ini, seperti yang terjadi dengan kasus TPA Sukolilo. Warga yang menolak sampai beradu fisik dengan pihak yang pro-TPA Sukolilo. Melihat hal itu, pemkot justru tidak tanggap, atas kemungkinan terburuk yang bisa terjadi akibat konflik pengurusan sampah tersebut.
Pemkot Surabaya tetap ngotot jika perihal kerjasama dengan PT SO dalam menangani sampah di TPA Benowo, tak ada masalah. Hal ini sudah dikonsultasikan ke tingkat yang lebih tinggi. Seperti ditegaskan Kepala Bagian Hukum Surabaya Maria Theresia Ekawati Rahayu atau akrab disapa Yayuk, dalam hal kerjasama itu, Pemkot Surabaya sudah berkonsultasi ke Kemendagri.
Dari hasil konsultasi itu, disebutkan jika kerjasama TPA Benowo yang perlu persetujuan DPRD Surabaya itu hanya sebatas rencana kerjasamanya pada 2009 lalu. Bahkan yang dicantumkan dan perlu direvisi hanya penyesuaian pencantuman persetujuan kerja sama dari pimpinan DPRD Surabaya yang dijadikan dasar pada 2009.
Karena itu, saat persetujuan itu hanya ditandatangani dua pimpinan DPRD Surabaya, bukan hasil paripurna seluruh anggota, ditegaskan Yayuk tak dipermasalahkan Kemendagri. Dengan kata lain, yang dibolehkan untuk disetujui hanya rencana kerjasamanya saja. Sementara untuk masalah kerjasamanya, tak perlu disetujui.
Melihat kondisi itu, tentu saja ada hal yang merugikan, sebab rencana kerjasama itu belum tentu untuk menentukan satu perusahaan saja. Sementara, masalah kerjasamanya, tentu sudah menghasilkan satu nama perusahaan. Padahal inilah yang dipermasalahkan DPRD Surabaya, karena penentuan perusahaan itu masih beraroma kolusi.Dewan mempermasalahkan penggunaan anggaran untuk membayar tipping fee, padahal persetujuannya sepihak. Ini yang jadi permasalahan selama ini.
Sekkota Surabaya Hendro Gunawan mengatakan, ranahnya sudah sampai pada kontrak kerja sama itu ranahnya ekse-kutif. Tapi sebelumnya sudah ada kesepakatan yang ditanda tangani bersama antara Pemkot dan DPRD Surabaya (hanya dua pimpinan saja) terkait pengelolaan sampah.
Masduki Toha, anggota DPRD Sura-baya, berpendapat, pecahnya bentrok di TPA Benowo semakin menunjukkan ketidakbecusan pemkot dalam menangani kasus itu."Masyarakat yang lebih merasakan atas dampak TPA Benowo, sementara pejabat di Pemkot Surabaya sama sekali tak merasakan penderitaan tersebut. Di TPA Benowo itu sudah banyak kepentingan, baik pemkot, investor maupun warga," katanya.
Wakil rakyat dari PKB ini menambahkan, dengan menerima PT SO sebagai rekanan dalam mengelola TPA Benowo, Pemkot semakin terlihat tidak becus mengurus masalah sampah. Dalam kerjasama itu pemkot harus merugi karena memberi 'modal' ke investor sebesar Rp. 56,4 miliar per tahun. Jumlah yang diberikan kepada investor itu merupakan tipping fee yang harus diberikan pemkot selama membuang sampah ke TPA Benowo. Apalagi pemba-yaran itu sudah bisa dilakukan sejak 2013, padahal pabrik itu diperkirakan beroperasi pada 2015. Artinya, selama tiga tahun, pemkot sudah membayar ke investor walau investor itu belum bekerja.
Dalam kerjasama ini, pemkot juga sudah membodohi warga. Masalah itu tak pernah dibicarakan atau disosialisasikan ke warga, atau didiskusikan di DPRD Surabaya. Tapi pemkot diam-diam sudah menjalankan kerjasama itu.
Kerjasama itu tentu saja merugikan masyarakat setempat yang sudah lama bergelut dengan sampah. Apalagi selama investor bekerja, pemulung atau warga yang mengais sampah sudah tak diperbolehkan masuk lokasi.
Masduki sendiri sebagai warga setempat sangat mendukung upaya warga menolak lahannya dijadikan TPA. Pasalnya, warga yang merasakan dampak langsung, bukan para pejabat yang duduk enak di Pemkot Surabaya.
Tak hanya PKB, lanjut Masduki, ada beberapa fraksi di DPRD Surabaya juga berencana sepakat menganulir penambahan tipping fee atas pengelolaan sampah TPA Benowo. Alasannya, tipping fee itu selalu naik tiap tahunnya.
Fraksi tersebut diantaranya, Fraksi Demokrat, Golkar, APKINDO dan PKS. Jadi keseluruhan ada lima fraksi yang menolak. Lima fraksi itu sudah jelas meminta perjanjian kerjasama pengelolaan sampah di Benowo antara Pemkot Surabaya dan PT SO dibuat ulang. Tujuannya untuk meminimalisir pengeluaran di APBD Surabaya.
Dengan adanya perjanjian tersebut, kata Masduki Toha, rakyat Surabaya seolah terjerat dengan kontrak PT SO selama 20 tahun. Rakyat harus membayar tipping fee itu.“Klausul yang ditetapkan dalam perjanjian kerjasama itu, hanya ditetapkan Wisnu Sakti Buana dan Wishnu Wardhana tanpa melalui pembahasan di dewan, ini harus dibatalkan,” kata Masduki.
Kerjasama tak jelas itu sudah dibayar-kan sejak 2012 dan nilainya juga berubah-ubah. Tapi dewan ‘dipaksa’ menyetujui kenaikan itu tanpa pernah ada pembahasan yang jelas.Yang lebih disesalkan anggota dewan, PT SO sendiri sama sekali belum melakukan pengolahan sampah, tapi uang rakyat sudah tersedot. “Ini lebih ironis. Masyarakat belum menerima manfaatnya, tapi uang rakyat sudah tersedot pada proyek itu. Ada kesan proyek itu hanya untuk bagi-bagi saja. Dasar kerjasama itu tak lazim sebagai landasan hukum mengeluarkan tipping fee,” timpal Reni Astuti dari Fraksi PKS.
Intinya semua perjanjian itu tak jelas. Jika jadi gas, listrik atau pupuk, akan disetorkan kemana hasilnya. Hal ini harus dipertegas agar uang rakyat tak menguap begitu saja. Pembayaran tipping fee yang dilakukan Pemkot Surabaya ke PT SO selaku investor TPA Benowo, mengacu pada keputusan Wakil Ketua DPRD Surabaya Wisnu Sakti Buana yang memimpin rapat paripurna mendadak. Hal itu terkait kerjasama pengelolaan sampah di Benowo untuk dijadikan sumber listrik dan gas.
Surat itu menjadi acuan untuk mengeluarkan dana hibah tipping fee oleh pemkot. Setiap tahunnya, dengan surat itu, tipping fee yang harus dibayarkan ke PT SO sebesar Rp. 56,4 miliar. Bahkan pada 2013 ini, pemkot juga sudah membayar hal itu ke PT SO sebesar Rp. 31 miliar dan sisanya akan dibayar akhir tahun ini. Keterangan sudah terbayarnya tipping fee tersebut terungkap seminggu lalu saat Komisi C DPRD Surabaya menggelar hearing dengan pemkot. “Kita mendapat laporan terkait jika sudah ada pembayaran tipping fee ke PT SO sebesar Rp. 31 miliar. Padahal, sebelumnya, saat belum ada penganggaran di APBD Surabaya, pemkot juga diam-diam sudah membayarkannya sebesar Rp. 21 miliar pada 2012,” ungkap Reni Astuti, salah satu anggota Komisi C.
Reni juga menegaskan, hal ini sangat menarik, karena dewan kecolongan. Pasalnya, dewan sampai saat ini tak pernah tahu tentang bentuk perjanjian kerjasamanya, khususnya terkait adanya tipping fee. Dewan hanya tahu ada kerjasama penge-lolaan sampah di TPA Benowo, kesannya sangat terpaksa untuk diterima anggota dewan. Yang lebih dahsyat, pembayaran tipping fee itu akan dilakukan selama 20 tahun kontrak kerjanya.
Hal ini sama saja investor tak perlu mengeluarkan uang, tapi seluruh pengerjaannya dibiayai APBD Surabaya. Tipping fee pertama saja dibayarkan saat PT SO belum melakukan pengelolaan sampah. Sejak 2012 sampai 2015 (target pabrik pengolahan sampah dibangun), pemkot harus membayar tipping fee atas masuknya sampah ke Benowo. Padahal sudah jelas jika lahan itu milik pemkot dan sampah yang ada sama sekali belum diolah PT SO, tapi PT SO sudah menerima ‘uang pelicin’ tersebut.
Padahal untuk membangun pabrik pengolahan sampah sampai 2015, investor butuh dana Rp. 362 miliar. Alhasil, melalui pembayaran tipping fee, investor yang diduga tak memiliki dana itu, justru bisa membangun pabriknya. Apalagi pada 2014, tipping fee itu dianggarkan naik, tidak lagi Rp. 56,4 miliar, tapi sudah menca-pai Rp. 60 miliar lebih per tahunnya. “Pemkot tak pernah mau transparan, karena itu wajar jika tiap tahun saat pembahasan APBD, masalah ini selalu muncul. Pemkot hanya berlindung dibalik Peraturan Peme-rintah (PP) saja tanpa tahu detilnya. Pemkot hanya menggunakan kekuatan segelintir oknum di dewan, tanpa membahasnya secara global. Tanpa melalui pansus, tiba-tiba hal itu sudah disahkan lewat paripur-na,” tegas Reni Astuti.
Dalam kasus ini, sayangnya ada yang dilewatkan Pemkot Surabaya dalam kerjasama pengelolaan sampah dengan PT SO di TPA Benowo. Upaya yang dilakukan pemkot dengan kerjasama itu, ternyata tak mengacu pada UU 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Diamanatkan dalam UU tersebut, khu-susnya dibagian penutup, setiap ada pengelolaan sampah tersebut di suatu daerah, maka harus dilindungi dengan perda. Padahal, Perda tentang Persampahan itu belum ada, pemkot justru sudah berani melakukan kerjasama tersebut.
Dalam UU itu juga dijelaskan jika pelaksanaan di daerah untuk membuat Perdanya, paling lambat satu tahun setelah diundangkan dan paling lama, tiga tahun. Nyatanya sampai 2011, Surabaya belum memiliki Perda tersebut.Terkait UU 18/2008 yang tak diimbangi pemkot dengan mengeluarkan Perda Persampahan, jelas sudah melanggar. Keharusan membuat Perda itu karena ada kerjasama yang dilakukan pemkot melibatkan peran serta masyarakat. Ini bisa dilihat dari dilibatkannya investor yang merupakan peran serta masyarakat mela-lui lelang investasi. Dengan begitu, kerja-sama pemkot dengan PT SO, tanpa aturan yang jelas.
Yang disayangkan, berdasarkan Permendagri 33/2010 tentang Pengelolaan Sampah, pengelola sampah yang bisa di-beri izin oleh pemerintah daerah harus dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU). Pertanyaannya, apakah PT SO itu berbentuk BLU? Artinya, dengan BLU, seharusnya tidak swasta murni tetapi bentuknya mirip BUMD.
Anggota Komisi C DPRD Surabaya Reni Astuti yang getol menyoal kerjasama itu menegaskan lagi jika Surabaya belum memiliki Perda Persampahan. “Seingat saya, itu masih berupa rencana karena dalam Program Legislasi Daerah, Raperda Persampahan baru diagendakan dibahas tahun ini. Saat ini yang dimiliki Pemkot Surabaya adalah Perda Retribusi Sampah,” tegas Reni. (dbs/arf)
Saya mendukung jika masalah TPA Benowo ini diselidiki KPK. memang jelas merugikan Pemerintah kota Surabaya dan Rakyat Surabaya yang dijanjikan Pembangunan Instalasi Pengolahanan Sampah Berteknologi Tinggi, yang seperti ditunjukkan pada kunjungan Panitia Lelang bersama Bu Risma di Jepang pada proses Pelelangan dulu.
BalasHapus