Ini lantaran, masyarakat menilai bila
kejaksaan telah tebang pilih dalam pengungkapan kasus tersebut. Penilaian
masyarakat akan adanya ketidakadilan dalam pengungkapan kasus itu pasalnya,
Kejaksaan tak pernah sedikit pun menyentuh instansi Badan Pertanahan Nasional.
Mandulnya kejaksaan ini tak ayal membuat
BPN terasa semakin adem ayem, parahnya lagi kegiatan prona bukan merupakan
sebuah momok yang menakutkan bagi pihak BPN.
Sebaliknya para penggiat aspirasi masyarakat
dalam menyambung lidah agar supaya masyarakat memperoleh sebuah surat berharga atau
sertifikat semakin ketar-ketir. Padahal untuk memperoleh surat berharga
tersebut, bagi masyarakat yang ingin mengurusnya sendiri tidaklah mudah, butuh
proses yang berbelit-belit bahkan, tak sedikit biaya yang harus dikeluarkan.
Namun hal tersebut akan sebaliknya, bila
melalui jalan prona, meski biaya yang dikeluarkan juga tak berbeda jauh bila
mengurus sendiri. Tentunya yang lebih diuntungkan yakni tak mengeluarkan tenaga
sebab kegiatan prona telah dipercayakan pada panitia yang telah ditunjuk.
Alimin,
salah satu warga Surabaya, yang juga pernah merasakan nikmaknya prona, sangat
menyayangkan sikap kejaksaan yang terlalu tergesa-gesa dalam menetapkan lurah Penjaringansari
sebagai tersangka. Pasalnya, bila melihat keadaan di BPN, sangatlah
memprihatinkan. Disetiap loket pengurusan, bagi pemohon seringkali mengalami
jalan buntu.
Aksi pim-pong merupakan sebuah modus yang
selalu dipakai BPN untuk mempersulit
para pemohon sertifikat. Dengan istilah tak bayar di muka maka proses
pun lambat.
“Kalau mau benar-benar affair, kejaksaan
jangan selalu berani pada instansi birokrasi, coba jerat oknum BPN yang
terlibat. Meski prona, tetap kita bayar.” jelasnya dengan nada kesal.
Tak hanya masyarakat yang merasa ‘curiga’
dengan aksi brutal pihak kejaksaan yang
selalu memelototi para lurah yang menjalankan kegiatan prona. Jaksa di Kejati
Jatim pun seolah di bikin gusar oleh rekan satu korpsnya itu.
Jaksa yang tak mau namanya dipublikasikan
itu, telah merasakan adanya pungli maupun gratifikasi yang begitu subur di instansi
pertanahan ini, Anehnya korps Adhyaksa tak mau bergerak cepat. Kejaksaan seolah “tak punya taring” untuk melakukan
penyelidikan terhadap dugaan pungli di BPN di Surabaya. Padahal, pungli itu
terlihat jelas kasat mata. Padahal jika ditelusuri,
seorang PNS jika melakukan pungli atau gratifiksi terancam Pasal 12-B jika
pungli dan Pasal 12-D jika gratifikasi. Keduanya diaturdalam Undang-Undang
Tipikor. Ancaman hukumannya pun berat, jika dilanggar.
“Siapa bilang nggak ada pungli,
ayo kalau berani ngomong sama saya. Justru disitu punglinya luar biasa. Saya
pernah turun kesana, tapi waktu itu kapasitas saya sebagai pemohon bukan jaksa.
Mereka terang-terangan kalau minta ke kita waktu itu. Saya sempat geleng-geleng
kepala, Kalau kita sih tau mas, kenapa BPN yang
bisa di sentuh. Sampean paling juga tau ” ujarnya lantas tertawa.
Kepala Kantor BPN Surabaya I, Bambang Priyono, SH. MH sulit ditemui, Menurut orang kepercayaannya, yang bersangkutan sibuk dan ada tugas di
luar. (arf)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar