KLA kali ini merupakan yang keempat yang diterima oleh Kota Pahlawan.
Pada 2011, Surabaya meraih KLA kategori madya. Pada 2012 dan 2013 naik ke
tingkat Nindya. Sedangkan 2014 tidak ada penyerahan penghargaan KLA karena
penyelenggaraannya dibuat bergantian dengan Anugerah Parahita Ekapraya (APE).
Walikota Tri Rismaharini mengatakan, kegiatan-kegiatan yang berbasis
anak sangat diperlukan sebagai wadah menyalurkan ekspresi dan kreativitas. Pada
kesempatan tersebut, Risma -sapaan Tri Rismaharini- menggarisbawahi efek gadget
terhadap anak. Menurut dia, jika digunakan dengan baik, gadget dapat mendukung
prestasi. Sebaliknya, kalau digunakan untuk hal-hal yang kurang produktif,
piranti teknologi informasi itu bisa merugikan bagi anak.
Bertepatan dengan momen penganugerahan KLA, Risma berharap suatu saat
anak-anak Indonesia tidak hanya jago di negeri sendiri, tetapi juga bisa
bersaing dengan anak-anak dari negara lain. “Untuk itu, pesan saya untuk
anak-anak, mereka tidak boleh gampang putus asa. Tidak boleh mudah menyerah,
karena semua anak berhak untuk berhasil,” kata walikota terbaik ketiga versi
World Mayor Project ini.
Sementara itu, Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga
Berencana (Bapemas KB) Nanis Chairani yang turut mendampingi walikota
mengatakan, sebelum dinyatakan layak menyandang predikat KLA, Surabaya wajib
memenuhi 31 indikator yang terbagi dalam lima klaster. Adapun kelima klaster
dimaksud antara lain, hak sipil dan kebebasan; lingkungan keluarga dan
pengasuhan alternatif; kesehatan dasar dan kesejahteraan; pendidikan,
pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya; serta perlindungan khusus.
Menurut Nanis, terlepas dari penghargaan yang diterima, komitmen pemkot
adalah menjadikan Surabaya sebagai kota yang aman dan nyaman bagi anak-anak
sehingga mereka bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. “Dengan terpenuhinya
semua kebutuhan dasar, anak-anak akan tumbuh menjadi manusia berkualitas,”
terang mantan Kabag Humas Pemkot Surabaya ini.
Besarnya perhatian pemkot dapat dilihat dari dukungan anggaran untuk
pemenuhan hak anak. Pada 2014, pemkot menganggarkan Rp 2,7 triliun untuk
program berbasis anak. Program dan kegiatan yang terkait dengan anak tersebar
di beberapa satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Ada yang berupa penyediaan
taman baca/perpustakaan, pembinaan keluarga balita, pemenuhan akta kelahiran,
penyediaan alat peraga edukatif, pelatihan tenaga pendidik PAUD, dan lain
sebagainya.
Dalam rangka menjamin perlindungan anak, pemkot mengoptimalkan lembaga
perlindungan secara berlapis. Pada level kelurahan ada satuan tugas
perlindungan perempuan dan anak. Pada tingkat kecamatan pusat krisis berbasis
masyarakat (PKBM) siap memfasilitasi penyelesaian masalah anak. Sedangkan, pada
skala kota, Surabaya punya Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan
Anak (PPT-P2A).
“Dengan demikian, skema penanganan bisa dilaksanakan secara berjenjang.
Harapannya, yang di bawah mampu mengidentifikasi potensi masalah. Jika tidak
mampu diselesaiakn dalam level kelurahan, bisa dirujuk ke tingkatan di
atasnya,” ujar Nanis.
Di samping itu, pemkot juga menyediakan hotline yang bisa dihubungi 24
jam. Tak ketinggalan, rumah sahabat anak sebagai tempat berkonsultasi.
Nanis menyadari permasalahan anak menjadi bagian dari dinamika
masyarakat, entah itu terekspos atau tidak. Namun yang terpenting adalah
penanganan problem tersebut secepat mungkin. Dia menambahkan, pemkot sudah
mempunyai standar operasi untuk mencegah atau mengantisipasi permasalahan yang
melibatkan anak. “Kalau pun muncul masalah, kami semua sudah tahu harus
melakukan apa. Intinya, Surabaya sudah punya SOP jika sewaktu-waktu timbul
masalah anak,” ucap pejabat asal Jember ini.
Di sisi lain, program terbaru bapemas KB yang kini sudah mulai berjalan
adalah Inisiasi Kampunge Arek Suroboyo. Program tersebut terbagi dalam lima
golongan fokus, yaitu kampung belajar, kampung sehat, kampung asuh, kampung
kreatif dan inovatif, serta kampung aman. Menurut Nanis, program tersebut
bertujuan untuk mengajak masyarakat berperan aktif dalam membentuk suatu sistem
yang berbasis pada pola tumbuh-kembang anak. “Dalam program kampung ini,
masyarakat akan berlomba-lomba menciptakan sistem sendiri. Itu tentu sangat
bagus dan tentunya lebih solid dari sekadar pengarahan karena semua berangkat
dari niatan masyarakat sendiri,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar