Pages - Menu
▼
▼
Halaman
▼
Rabu, 30 November 2016
APBD 2017 Disahkan 8,56 Trilliun, Anggaran Pendidikan Tak Bisa Digunakan
KABARPROGRESIF.COM : (Surabaya) Pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kota Surabaya Tahun anggaran 2017, akhirnya disahkan tepat waktu oleh DPRD kota Surabaya melalui rapat Paripurna, Rabu(30/11/2016)
Draft rancangan APBD yang dibahas secara marathon selama 2 pekan ini, mempunyai kekuatan anggaran sebesar Rp 8.561.484.147.400, dengan rincian 70 persen biaya pembangunan dan 30 persen untuk biaya langsung, termasuk gaji pegawai.
Dari total nilai APBD 2017, turut pula dialokasikan anggaran pendidikan untuk biaya operasional daerah (Bopda) tingkat SMA dan SMK sebesar Rp. 180 miliar. Namun sayangnya, anggaran pendidikan tersebut, tidak bisa dicairkan, karena terjegal oleh peraturan.
Hal ini memicu reaksi anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kota Surabaya, Reni Astuti yang mengajukan interupsi disela sidang Paripurna.
Dalam kesempatan itu, politisi asal PKS ini menyarankan, agar anggoran Bopda untuk SMA dan SMK tidak diwujudkan dalam bentuk kegiatan yang malah menabrak peraturan. Hal inilah yang membuat anggaran pendidikan tersebut tak bisa dicairkan.
“Padahal sudah jelas bahwa dalam aturan penggaran, pemerintah daerah tidak boleh mencantumkan penganggaran yang bukan kewenangannya dalam bentuk program dan kegiatan. Maka anggaran Rp 180 miliar di APBD 2017 ini tidak akan bisa dicairkan,” paparnya.
Sebenarnya dalam penyusunan APBD 2017 ini, sebenarnya sudah ada pedoman yang tercantum. Namun sayangnya Pemkot tetap ngotot untuk mengalokasikan anggaran dalam bentuk program dan kegiatan, sehingga anggaran itu akan mubazir atau sia-sia, karena tak bisa terserap.
“Sejak peralihan kewenangan pengelolaan pendidikan untuk tingkat SMA dan SMK dari Pemkot Surabaya ke Pemprov Jawa Timur, semua aturannya telah berubah. Namun tidak ada pemahaman serius,” jelas Reni.
Lebih lanjut Reni menambahkan, semangat Pemkot untuk mengalokasikan anggaran tersebut didasari rasa optimisme bahwa tahun depan putusan Mahkamah Konsitusi akan goal dan pengelolaan SMA SMK akan kembali ke Pemkot. Namun, menurut Reni, hal ini sangat riskan. “Padahal seharusnya dalam penyusunan anggaran pijakan hukumnya harus pasti. Dan jika sampai putusan MK itu sampai tengah tahun putusan belum turun, maka akan sama saja alokasi anggaran itu nggak bisa dipakai,” imbuh Reni.
Terlebih dalam anggaran Rp 180 miliar itu sudah termasuk anggaran untuk siswa tidak mampu. Artinya sampai anggaran ini digedok belum ada jaminan bahwa siswa miskin di Surabaya mendapatkan bantuan. Data yang dimiliki Reni, jumlah siswa miskin di sekolah menengah di Surabaya sebanyak 126.178 orang, atau sepuluh persen dari total jumlah siswa SMA/SMK se-Surabaya.
“Anggaran yang kita butuhkan setidaknya untuk menjamin mereka yang miskin saja itu hanya butuh Rp 45 miliar. Penganggarannya bisa seperti model pendaan Dinas Sosial yang memberikan bantuan pendidikan untuk kuliah di perguruan tinggi,” ujar Reni.
Jadi bisa menggunakan sistem bantuan personal. Dimana bantuannya langsung ke satu per satu siswa. Tapi kalau Pemkot masih mau memberi bantuan dan tidak hanya untuk warga miskin saja, masih ada peluang. Dan itu harus dialokasikan dalam bentuk belanja bantuan keuangan khusus (BKK). Jadi bukan hanya mengandalkan pengalokasian anggaran dalam bentuk program dan kegiatan yang jelas tidak bisa dicairkan.(arf)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar