Sabtu, 08 Juli 2017
Home »
Metropolis
» ICRW: UU 23/2014 Biang Buruknya Pengelolaan SMA/SMK di Jatim
ICRW: UU 23/2014 Biang Buruknya Pengelolaan SMA/SMK di Jatim
KABARPROGRESIF.COM : (Surabaya) Indonesian Civil Rights Watch (ICRW) menilai, sistem pengelolaan SMA/SMK Negeri di Jawa Timur pada 2017, sangat buruk. Sehingga berpotensi memicu terjadinya pungutan liar di sekolah-sekolah.
Diakui ICRW, 2017 ini menjadi tahun berat dan penuh ketidakpastian bagi para orang tua yang menginginkan putera-puterinya melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA dan SMK Negeri.
"Biang dari kebijakan ini adalah Undang-Undang (UU) 23/2014, tentang pemerintah daerah. Khususnya Pasal 15 ayat (1) dan (2) serta lampiran huruf A tentang Pembagian Urusan Pemerintah Bidang Pendidikan dalam Sub-urusam Manajemen Pendidikan," kata Kepala Advokasi ICRW, Didik Prasetiyono, Jumat (7/7).
Sebelumnya, kata dia, pengelolaan pendidikan bersandar pada UU 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional. Sementara konsekuenai penerapan UU 23/2014, Tahun 2017 menjadi momentum peralihan kewenangan pengelolaan SMA dan SMK dari pemerintah kabupaten/kota ke provinsi.
Dalam UU tersebut, pemerintah provinsi hanya diberi peran sebagai koordinator. Sedangkan kabupaten/kota diberi kewenangan mengelola pendidikan pra-sekolah, pendidikan dasar yang mencakup SD hingga SMP, dan jenjang pendidikan SMA/SMK.
Sementara pelaksanaan seleksi penerimaan siswa yang dikenal PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) untuk SMA/ SMK, yang saat ini diselenggarakan oleh provinsi, masih kata Didik, menuai kontroversi dengan berganti-gantinya kebijakan.
Didik mencontohkan, seperti misalnya tentang pengumuman pemberlakuan zonasi yang terjadi di Jawa Timur. Kemudian pengumuman penambahan nilai 12,5 bagi siswa yang berdomisili di zonasi, dan penambahan hari bebas zonasi yang terkesan tanpa perencanaan matang, serta mudah sekali berubah-ubah.
"Hal ini juga nampak terjadi merata di hampir semua provinsi di Indonesia. Transparansi dan sosialisasi proses penerimaan siswa baru SMA/ SMK yang buruk ini, menyebabkan terjadinya gejolak di masyarakat," ungkapnya.
Kemudian juga memicu persepsi peluang permainan dan negosiasi ‘jalan belakang’ penerimaan siswa baru oleh oknum-oknum tertentu.
"Memperhatikan Neraca Pendidikan Daerah (NPD) yang dimuat di Website Kemendikbud http://npd.data.kemdikbud.go.id/file/pdf/2016/050000.pdf, bahwa alokasi anggaran untuk sektor pendidikan di Jawa Timur, hanya 1,7 persen atau sekitar Rp 300,34 miliar saja dari total APBD Jawa Timur."
Angka ini, menurut Didik, sangat jauh bila dibandingkan dengan amanat UUD 1945 yang sebesar minimal 20 persen. "Sumber Biro PKLN 2016, memperlihatkan posisi Jawa Timur di urutan terbawah nomer dua sebelum Papua dalam melakukan kebijakan politik anggaran," katanya lagi.
Rendahnya komitmen politik anggaran pendidikan ini membuat alokasi untuk pembiayaan perbaikan infrastruktur, pembiayaan peningkatan mutu guru/pengajar, pembiayaan subsidi SMA/ SMK akan turun dan terganggu.
Khususnya kabupaten/kota yang selama ini telah mampu secara mandiri, mengalokasikan anggaran pendidikan lebih besar dari alokasi yang bisa disediakan oleh pemerintah provinsi.
Rendahnya alokasi anggaran pendidikan di Jawa Timur ini, nilai Didik, juga akan membuka peluang bagi sekolah untuk melakukan berbagai pungutan, yang pada akhirnya menyebabkan biaya sekolah tinggi dan potensi memicu tingginya angka putus sekolah.
Didik juga mengungkap, persoalan pendidikan sebagai imbas penerapan UU 23/2014 ini, memang sempat dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun hingga saat ini, permohonan peninjaun kembali (PK) terhadap UU 23/2014 di MK tentang pemindahan kewenangan, belum diputus.
"Register permohonan di MK, terdaftar di Perkara Nomor 30/PUU-XIV/2016 dan Perkara Nomor 31/PUU-XIV/2016 masih menunggu putusan majelis sidang," tandasnya. (arf)
0 komentar:
Posting Komentar