KABARPROGRESIF.COM : (Surabaya) Kelompok
kesenian Ludruk Irama Budaya yang biasanya manggung di Taman Hiburat
Rakyat Surabaya menyampaikan keluhannya kepada kalangan DPRD Surabaya.
Sekretaris Ludruk irama Budaya, Meimura saat audiensi di Komisi D
mengungkapkan, bahwa kelompok keseniannya selama 30 tahun berkarya,
sudah 7 tahun pentas di THR.
“Pementasan di gedung THR atas undangan Pemkot Surabaya,” terangnya
Namun,
menurut Meimura, pihaknya merasa sarana dan prasarana yang digunakan
tidak representative. Dari sejumlah pementasan, banyak penontonnya yang
mengeluh karena merasa tidak nyaman dengan kondisi gedungnya.
“Penonton menyampaikan toiletnya tak layak. Ketika kami akan menangani, itu kewenangan pemerintah kota,” paparnya.
Di
sisi lain, Meimura mengatakan, pihaknya juga terbebani dengan
biaya-biaya operasional lainnya yang harus ditanggung sendiri seperti
listrik, air dan sebagainya.
“Soal retribusi kalau sepi kita digratiskan,” paparnya.
Sementara
selama ini, menurut Meimura masyarakat yang menyaksikan kesenian rakyat
“Ludruk” menginginkan tempat pertunjukkan bagus, indah dan sebagainya.
Sedangkan, kelompok kesenian ludruk, hanya memikirkan, bagaim,ana agar
pertunjukkannya bagus. Ia menegaskan, kalau ludruk menjadi destinasi
wisata kota Surabaya semestinya dibuatkan tempat yang layak, karena
kesenian tersebut spesifik.
“Ada proses pelatihannya, perlu tinggal di sana, dan tidak bisa satu gedung banyak yang main disana,” paparnya.
Ia
menbandingkan dengan kesenian di jepang, yang bernama Kabuki. Kesenian
tersebut telah dianggap kekayaan tak benda Bangsa jepang. Sementara,
kesenian Ludruk yang lahirnya awalnya dari besutan kemudian berkembang
menjadi ludruk sandiwara, yang didalamnya menyajikan tari, paduan suara,
lawak dan ada ceritanya kondisinya malah berbeda.
“Padahal ludruk menyuarakan pikiran rakyat, sehingga bisa ditularkan ke generasi ke generasi,” tandasnya.
Meimura
mengungkapkan, kesenian ludruk Irama budaya di THR setiap tahun
kedatangan peneliti dari luar negeri yang akan melakukan riset tentang
kesenian tradisional ini.
“Tak kurang dari 5 – 15 orang luar negeri yang melakuakn riset. Terakhir dari UNICEF dan Australia,” ungkapnya.
Ia
menyatakan, di THR tak ada perubahan apapun. Pihaknya menginginkan
dikembalikan ke tempat semula, gedung ludruk di Pulo Wonokromo.
“Saya
ingin dikembalikan ke tobong, di situ damai. Di sini (THR) satu minggu
manggung banyak keluhan dari penonton. Tapi kami gak ingin salahkan
siapapun.” Katanya
Menanggapi keluhan seniman
ludruk, Ketua Komisi D Agustin Poliana mengapresiasi aspirasi mereka
soal kelayakan tempat pertunjukkan. Pasalnya, kesenian ludruk di THR
juga memberikan kontribusi pada Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Namun memang sarana dan prasarananya tak layak, terkesan kusam dan kumuh,” katanya.
Agustin
mengaku, selama ini, pemkot Surabaya mengalokasikan anggaran untuk
perawatan gedung THR. Namun, ia tak mengetahui besarannya. Ia berharap,
pembenahan gedung di THR dilakukan, meski renovasi tersebut tak sebagus
dengan rencana pembangunan gedung kesenian di tempat itu setelah kontrak
dengan PT Sasana Boga, pengelola gedung THR selesai. (arf)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar