Pages - Menu

Halaman

Senin, 18 September 2017

Kasus BTKD Tak Kunjung Selesai, Warga Kedurus Wadul LSM AMAK


KABARPROGRESIF.COM : (Surabaya) Berbagai cara warga kedurus kecamatan Karang Pilang Surabaya untuk merebut kembali tanah Bekas Tanah Kas Desa (BTKD) seluas 16,4 hektare yang saat ini dikuasai pihak swasta terus  diupayakan.

Tak hanya mulai dari laporan ke legeslatif daerah namun juga ke tingkat pusat. Bahkan hingga ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI).

Nyatanya hingga saat ini tak satu pun laporan dari warga Kedurus yang ditujukan ke  lembaga negara tersebut ada perkembangannya.

Meski begitu tak  membuat warga Kedurus tersebut putus asa. Bak pepatah pucuk di cinta ulam pun tiba. Perjuangan warga Kedurus ini pun mendapat perhatian serius dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aliansi Masyarakat Anti Korupsi (AMAK).

Ketua LSM AMAK, Ponang Aji Handoko mengaku akan segera mengawal kasus ini hingga tuntas. Pasalnya setelah dicermati data-datanya lantas juga berkoordinasi dengan instansi terkait kasus hilangnya tanah BTKD Kedurus seluas 16,4 hektare cenderung disinyalir ada dugaan korupsinya.

" Pelepasan di nilai harga per meternya Rp. 6.400 adalah mustahil, pasarannya saat itu Rp. 65 ribu." tegas Ponang.

Ponang menambahkan tak hanya satuan harga dari pelepasan tanah BTKD tersebut yang janggal namun bila diurut dari awal maka  akan semakin terlihat jelas bila kasus ini sarat akan dugaan korupsinya.

" Kita permasalahkan perolehan sertifikat hak milik yang dipegang oleh alharhum haji  AS, haji A dan haji J." jelasnya.

Seperti  diberitakan sebelumnya, kasus aset Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya berasal dari tanah bondo deso atau bekas tanah kas desa (BTKD) yang hilang di kedurus kecamatan karang pilang tak  hanya berupa tanah waduk seluas 76.000 M2 namun ada juga BTKD seluas 16.4 hektare.

Usut punya usut, disinyalir hilangnya aset berupa Bekas Tanah Kas Desa (BTKD) itu adanya kerakusan dari segelintir oknum yang ingin menguasai. Caranya dengan merekayasa tanda tangan.

Aksi nekat yang diduga dilakukan oleh Lembaga Ketahanan Masyarakat Kota (LKMK) setempat itu  dikarenakan adanya iming-iming yang cukup menggiurkan dari sebuah perusahaan swasta yakni PT AP.

Tak hanya oknum LKMK serta PT AP yang terlibat memuluskan mencaplok BTKD itu, disinyalir juga adanya kerja sama dengan pihak Rukun Warga (RW) setempat serta warga yang mengatasnamakan sebagai tokoh masyarakat setempat.

Kuatnya dugaan ini sebab, saat pengukuran BTKD itu, yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surabaya, tepatnya pada tanggal 29 Desember 2015 tersebut tak berlandaskan hukum alias cacat hukum.

Samsul Hidayat selaku koordinator petugas ukur BPN Surabaya membantah keras bila prosedur kepemilikan tanah yang disengketakan itu tidak sesuai aturan.

Menurutnya langkah yang dilakukannya itu sesuai dengan prosedur yakni dengan berdasar adanya bukti surat pernyataan persetujuan pengukuran tanah yang dibuat oleh Ketua LKMK Kedurus, Sutiyoso dan didukung 7 orang, ditambah lagi dengan Ketua RW 01 hingga RW 09 diantaranya Totok, Adi Effendi, M.Rifai, Prapto, Sumarsono, Thamrin dan Hary Suhargo serta tiga tokoh masyarakat antara lain, Landry Soebyantoro, Surya dan Rahmad.

”Justru surat itu dibuat dihadapan warga, setelah mendapat persetujuan dari yang bertanda tangan tersebut diatas, lalu BPN melakukan pengukuran silahkan saudara konfirmasi dengan mereka yang bertanda tangan di atas, insyaallah BPN akan kooperatif dengan Ombusmen,” tantangnya.

Namun keterangan Samsul Hidayat ini bertolak belakang dengan pernyataan Suryono yang mengklaim selaku tokoh masyarakat Kedurus. Kata Suryono tiga nama yang tercantum sebagai tokoh masyarakat dalam surat tersebut hanyalah 'abal-abal' alias palsu.

”Tiga orang tersebut bukanlah tokoh masyarakat, mereka adalah, anggota LKMK yang menjabat sekertaris, wakil dan anggota, itu hanyalah rekayasa Sutiyoso untuk menguasai tanah BTKD tersebut agar menjadi milik PT Agra,”tegasnya.

Suryono menjelaskan, sejak tahun 1999 silam, dirinya bersama 6 orang tokoh masyarakat diantaranya, Suyud, Kasimo, Suwoto, Rohmadi dan Syamsi selalu mempertahankan mati-matian tanah BTKD itu hingga ke BPN Pusat, DPR RI, sampai ke Mahkamah Agung.

“Seharusnya tanah yang diukur kemarin itu milik PT Agra Paripurna, bukan tanah BTKD  karena, sesuai dengan surat pemberitahuan pengukuran batas tanah dari BPN, Nomor:3983/200-35.78/XII/2015, yang mejelaskan bukan tanah BTKD,  kita masih berpegang pada surat rekomendasi dari Pansus DPRD Tahun 2002, yang menyatakan bahwa, pelepasan aset tanah BTKD tersebut, cacat hukum dan penuh rekayasa,” tandasnya. (arf).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar