Rabu, 19 September 2018
Home »
Metropolis
» Refleksi Perobekan Bendera, Anak Surabaya Diminta Tidak Pernah Menyerah
Refleksi Perobekan Bendera, Anak Surabaya Diminta Tidak Pernah Menyerah
KABARPROGRESIF.COM : (Surabaya) Insiden perobekan bendera Belanda (merah-putih-biru) yang terjadi pada 19 September 1945 di Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit) kembali diperingati oleh Pemkot Surabaya. Peringatan itu diperagakan dengan teatrikal perobekan bendera di tiang tertinggi Hotel Majapahit.
Peristiwa itu pecah ketika sekolompok orang Belanda yang dipimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman mendatangi Surabaya dan mengibarkan bendera Belanda tanpa persetujuan Pemerintah RI daerah Surabaya.
Sontak, sikap mereka itu memicu kemarahan para pemuda Surabaya atau arek-arek Suroboyo. Sebab, mereka menilai Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
"Cek kurang ajare arek Londho ngibarno gendero abang putih biru nang bumi Suroboyo. Iki Indonesia wes merdeka. Dukno genderomu," teriak salah satu arek Suroboyo yang saat itu diperankan oleh seniman Surabaya.
Permintaan untuk menurunkan bendera Belanda itu pun tak digubris oleh orang Belanda, sehingga arek-arek Suroboyo ini semakin marah dan melakukan perlawan. Beberapa letusan meriam terdengar kala itu, akhirnya arek-arek Suroboyo semakin sengit melakukan perlawanan hingga beberapa tokoh Surabaya gugur dan beberapa orang Belanda juga tewas dihajar arek-arek Suroboyo.
Orang Belanda ini pun dipukul mundur setelah ribuan warga Surabaya berdatangan untuk membantu kawan-kawannya. Saat itu pula, tangga-tangga dari bambu diambil untuk naik ke tiang tertinggi hotel. Arek-arek Suroboyo itu bahu-membahu menaiki tempat pengibaran bendera Belanda itu, suara kentongan yang bertalu-talu dan gemuruh arek-arek Suroboyo menambah semangat para pejuang ini untuk menyobek bendera berwarna biru itu. Hingga akhirnya, bendera warna biru itu disobek dan tinggal warna merah putih yang berkibar.
Itulah semangat nasionalisme yang ditunjukkan dalam teatrikal perobekan bendera di Hotel Majapahit. Mereka pun menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan penuh penghayatan. Ditambah lagi dengan lagu Gugur Bunga yang divisualisasikan dengan mengangkat para pahlawan yang gugur kala itu.
Pada kesempatan itu, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini juga membakar semangat arek-arek Suroboyo dengan menyampaikan pidato kebangsaannya. Bahkan, ia pun membacakan ikrar sebagai anak cucu para pahlawan.
“Biarpun bumi bergoncang. Bulan, bintang dan matahari mengoyak langit. Kami arek arek Suroboyo bertekad, untuk selalu menjaga dan menghormat, kepada bendera satu, bendera merah putih. Merdeka… merdeka… merdeka…..,” pekik Wali Kota Risma disambut teriakan “merdeka” oleh para pelajar dan Forpimda yang hadir saat itu.
Saat itu, Wali Kota Risma mengaku refleksi perobekan bendera ini untuk memberikan semangat kepada anak-anak Surabaya untuk selalu berjuang dan tidak pernah menyerah.
“Ini untuk menyemangati anak-anak Surabaya supaya tidak pernah kenal takut dan tidak kenal kata menyerah, makanya kami juga mengundang anak-anak Surabaya ini,” kata Wali Kota Risma seusai acara perobekan bendera.
Wali kota perempuan pertama di Kota Surabaya itu juga mengaku senang dan surprise karena warga Surabaya dan arek-arek Suroboyo sangat antusias mengikuti perobekan bendera itu. Makanya, ia menilai bahwa semangat nasionalisme sudah terbentuk dan terbangun diantara anak-anak Surabaya.
“Mereka tadi juga berteriak-teriak saat detik-detik perobekan bendera, itu artinya semangat mereka sudah terbentuk dan terbangun. Ini akan terus kita gelorakan supaya mereka tidak kenal dengan kata menyerah,” tegasnya.
Oleh karena itu, ia berharap supaya anak-anak itu bisa lebih siap dalam menghadapi pertempuran yang sesungguhnya, yaitu kemiskinan dan kebodohan. Sebab, ke depannya mereka akan menghadapi masa yang berat, terutama di tahun 2020 dengan adanya WTO. Saat itu, mereka harus menghadapi anak-anak seluruh dunia.
“Kalau hanya dibekali pinter, tidak dibekali daya juang, mereka akan gampang menyerah, padahal dulu kan berjuangnya setengah mati,” imbuhnya.
Nantinya, lanjut dia, diharapkan anak-anak itu tidak hanya jadi penonton di kotanya sendiri. Tapi mereka harus menjadi tuan dan nyanyo serta pemilik di kotanya sendiri.
“Pompa semangat itulah yang kami bangun terus, karena merekalah yang mengelola kota ini ke depannya. Nanti akan berat tantangan mereka, karena globalisasi ini sudah mendunia,” pungkasnya. (arf)
0 komentar:
Posting Komentar