Selasa, 22 Januari 2019
Home »
Metropolis
» Salah Kalkulasi, Fandi Utomo Terancam Gagal di Pileg dan Pilkada Surabaya
Salah Kalkulasi, Fandi Utomo Terancam Gagal di Pileg dan Pilkada Surabaya
KABARPROGRESIF.COM : (Surabaya) Munculnya nama Fandi Utomo sebagai Caleg DPR RI di Pileg 2019 dan Cawali di Pilkada Surabaya 2020 menurut Surabaya Survey Center (SSC) terancam gagal pasalnya Fandi salah kalkulasi dan pemetaan dalam kampanye sehingga mengakibatkan elektabilitasnya turun berada di posisi empat.
" Salah kalkulasi dan salah pemetaan "social need" (kebutuhan sosial)-nya bisa jadi malah luput kedua-keduanya. Pepatah jawanya "nguber uceng kelangan deleg" (mengejar sesuatu yang kecil tetapi kehilangan miliknya yang besar)." kata Direktur Surabaya Survey Center (SSC), Mochtar W. Oetomo, Selasa (22/1).
Maksud dari pepatah Jawa tersebut, Mochtar menjelaskan kalau ingin dapat "uceng" (ikan tawar kecil) dan deleg (ikan gabus) maka jangan dikejar karena bisa luput keduanya, tapi jaringlah, dengan penempatan jaring yang tepat tempat dan tepat waktu.
Seperti diketahui Fandi Utomo merupakan orang pertama yang jauh-jauh hari yang mensosialisasikan dirinya maju sebagai Cawali Surabaya. Sementara disisi lain Fandi juga sebagai Caleg DPR RI dari Partai Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) daerah pemilihan Jatim 1 (Surabaya-Sidoarjo). Fandi juga pernah menjadi Cawali di Pilkada Surabaya 2010.
Fandi Utomo sebelumnya pernah menjadi anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat. Namun karena suatu hal, Partai Demokrat melakukan pergantian antarwaktu (PAW) terhadi Fandi. Mendapati hal itu Fandi kemudian memutuskan pindah ke PKB dan menjadi caleg DPR RI di partai tersebut.
Berdasarkan hasil survei SSC yang dilaksanakan mulai 20-31 Desember 2018 di 31 Kecamatan di Kota Surabaya menyebut elektabilitas Calon Wali Kota Surabaya pada Pilkada Surabaya 2020 untuk urutan peratama adalah Whisnu Sakti Buana dengan perolehan 15.4 persen.
Posisi kedua dan ketiga, secara berurutan adalah Puti Guntur Soekarno dengan 15.1 persen dan Adies Kadir dengan 6.9 persen, Ahmad Dhani dan Armuji berada di posisi keempat dengan perolehan 4.5 persen, Fandi Utomo dengan 4.3 persen dan Arzeti Bilbina dengan 4 persen.
" Saya kira karena double agenda. Pada saat bersamaan Fandi sosialisasi untuk Pilkada Surabaya sekaligus untuk Caleg DPR RI. Sehingga semacam ada kerancuan informasi yang diterima publik. Agenda mana sebenarnya yang penting dan utama." katanya.
Menurut Mochtar, agenda yang terdekat adalah Pileg 2019 tapi yang disoaialisasikan lebih masif malah Pilkada Surabaya 2020. Dua agenda informasi politik dalam waktu bersamaan tentu akan menjadi lebih sulit untuk diterima oleh publik.
" Saya rasa ini memang risiko yang harus dihadapi Fandi karena bisa jadi dalam pencaleganpun Fandi akan menerima bias informasi, sehingga hasilnya tidak bisa seoptimal yang diharapkan." katanya.
Selain itu, lanjut dia, kepindahan Fandi dari Partai Demokrat ke PKB sedikit banyak juga berpengaruh menurunya elektabilitas Fandi. Hal ini dikarenakan proses kepindahan Fandi dari Demokrat ke PKB kemudian menjadi caleg dan menggulirkan cawali terjadi dalam tempo yang cepat.
" Sehingga publik masih mengingat dengan jelas. Di satu sisi Fandi harus menghadapi dua petahana PKB dalam pencalegannya, di sisi lain ia harus meyakinkan publik dan konstituen PKB bahwa ia layak di PKB dan layak dipilih." jelasnya.
Berikutnya lagi, kata dia, Fandi harus meyakinkan publik Surabaya bahwa ia layak menjadi wali kota dan sekaligus meyakinkan bahwa kader PKB waktunya menjadi wali kota.
" Tentu ini butuh kerja ekstra luar biasa." Tuturnya.
Maka kedepan, menurut Mochtar, Fandi hendaknya tidak mengabaikan kontruksi opini publik yang tengah ia bangun. Sejauh ini pendekatan strukturalnya dalam upaya pemenangan sudah cukup masif dan strategis.
" Tapi untuk masyarakat urban seperti Surabaya dan Sidoarjo, Fandi juga harus menggarap konstruksi opini publiknya dengan masif dan strategis karena bagaimanapun double agenda yang dibawanya, keduanya sama-sama bukan perkara mudah dan ringan." pungkasnya. (arf)
0 komentar:
Posting Komentar