KABARPROGRESIF.COM: (Pontianak) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalimantan Barat (Kalbar) kembali menahan tersangka baru penerima fasilitas Kredit Pengadaan Barang, dan Jasa (KPBJ) fiktif salah satu bank di Kabupaten Bengkayang, Kalbar. Penahanan ini merupakan yang ke-15 kalinya sejak diselidiki 2019 lalu.
Tersangka baru ke-15 tersebut berinisial MK, seorang kontraktor yang menjabat sebagai Direktur CV Bung Baratak.
Perusahaan tersebut mengajukan permohonan, dan menerima KPBJ di bank dalam bentuk tiga paket dari 74 paket pekerjaan dengan anggaran sebesar Rp359.400.000.
Asintel Kejati Kalbar, Taliwondo mengatakan MK ditahan berdasarkan surat perintah penyidikan Kepala Kejati Kalbar nomor 17/O.1/Fd.1/06/2021 tanggal 2 Juni 2021, dan surat perintah penahanan Kepala Kejati Kalbar nomor 24/O.1/Fd.1/08/2021 tanggal 20 Agustus 2021.
“Penahanan ini berdasarkan hasil pemeriksaan tim penyidik terkait dengan pemberian fasilitas KPBJ oleh bank tahun anggaran 2018,” ujar Taliwondo saat melakukan pers rilis, Jumat (20/8).
Menurut Taliwondo modus KPBJ fiktif ini sama dengan perkara yang sebelumnya. Bermula dari adanya 31 perusahaan yang menerima 74 paket pekerjaan KPBJ dari bank.
Masing-masing perusahaan tersebut, termasuk CV Bung Baratak mengajukan kredit dengan jaminan berupa Surat Perintah Kerja (SPK) yang ditandatangani oleh Herry Murdiyanto yang kala itu mengaku sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan Supriyanto (SO) serta Gunarso (GO) sebagai Pengguna Anggaran Kemendes PDTT.
Oleh para pelaku, di dalam SPK tersebut dicantumkan bahwa sumber anggaran proyek berasal dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (KPDTT) dengan Nomor 0689/060-01.2.01/29/2018 TA 2018.
“Jadi, kedudukan tersangka yang kami tahan ini (MK), bersama-sama dengan terpidana terdahulu dalam mempersiapkan dokumen kontrak atas nama CV Bung Baratak,” ungkap Taliwondo.
Celakanya, SPK, dan dokumen-dokumen lain pekerjaan fiktif itu dibuat seolah-olah terjadi proses pengadaan barang, dan jasa melalui Penunjukan Langsung (PL), padahal kata Taliwondo, proses tersebut tidak pernah dilaksanakan.
Taliwono merincikan dalam kasus tersebut sudah melibatkan 15 pelaku, di antaranya Herry Murdiyanto yang telah incraht selama lima tahun enam bulan penjara serta denda Rp100 juta.
Kemudian mantan pemimpin bank, Muhammad Rajali, dan Kasi Kredit Selastio Ageng yang masing-masing didenda sebesar Rp50 juta, dan penjara satu tahun delapan bulan.
Selain itu, terdapat pula yang masih dalam tahap tuntutan yakni M. Yusuf, Sri Roehani, Putra Perdana, Sukardi, Julfikar Desi Pusrino, Kundel, dan Destaria Wiwit Kusmanto.
Sementara yang masih dalam proses penyidikan di antaranya Susandi, Taqwim, Agustinus Maladi, Ardiansyah, Atis Rusono
Akibat proyek fiktif tersebut, Taliwondo mengatakan negara mengalami kerugian sebesar Rp8 miliar lebih.
Namun, saat ini baru Rp5 miliar lebih yang dikembalikan ke negara dari 49 SPK berasal dari 18 perusahaan. Sisanya masih belum dikembalikan, termasuk dari MK.
Dalam kesempatan itu, Kepala Kejati Kalbar, Masyhudi menegaskan bahwa penanganan perkara korupsi menjadi prioritas di institusinya.
Terhadap tersangka MK tersebut, kata dia akan dilakukan penahanan selama 20 hari ke depan.
Menurut dia, hal ini bentuk komitmen Kejati Kalbar untuk mewujudkan kepastian, keadilan dalam penegakan hukum, serta menunjukkan ketegasan pihaknya dalam menangani kasus korupsi di Kalbar.
“Kami tidak pandang bulu terhadap siapa saja pelaku tindak pidana perkara korupsi yang merugikan keuangan, dan merusak perekonomian negara serta mengacaukan pembangunan,” tegasnya.
Dalam pemberitaan sebelumnya, Herry Murdianto (HM) ditahan Kejaksaan Tinggi Kalbar November 2019 lalu.
Ia ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka lantaran diduga kuat melakukan pengadaan barang dan jasa fiktif sebesar Rp8. 857.600.000 miliar alias proyek bodong.
HM dijebloskan ke Rutan Kelas IIA Pontianak setelah sudah dua kali panggilan pemeriksaan penyidik tidak diindakannya.
Di Pemkab Bengkayang sendiri, HM merupakan mantan Kabid Pembangunan Daerah Tertinggal Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pemberdayaan Masyarakat Dan Desa Kabupaten Bengkayang.
Selain HM, saat itu Kejati Kalbar juga menetapkan dua orang lain sebagai tersangka yakni Gunarso dan Supriyatno selaku Pengguna Anggaran Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).
Kasus ini berawal dari adanya 32 perusahaan yang memperoleh kredit pengadaan barang dan jasa dari bank berupa 74 paket pekerjaan.
Masing-masing perusahaan tersebut mengajukan kredit dengan bermodal jaminan Surat Perintah Kerja (SPK) yang ditandatangani oleh HM. Gunarso mendapat satu SPK (Surat Perintah Kerja), semenyara sisanya didapat Supriyatno.
“Sumber anggaran diklaim melalui Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kemendesa PDTT Tahun Anggaran 2018. Namun DIPA tersebut ternyata fiktif,” kata Asisten Pidsus Kejati Kalbar, Sunarwan saat itu.
Dalam SPK tersebut dicantumkan sumber anggaran proyek yaitu DIPA Kementerian PDTT Nomor 0689/060-01.2 01/29/2018. Namun pembayaran atau pengembalian uang kredit tidak bisa dilaksanakan kerena proyek tersebut fiktif.
Keputusan pemberian fasilitas Kredit Pengadaan Barang dan Jasa (KPBJ) tersebut tidak didasarkan pada analisa yang benar sesuai ketentuan, serta tidak dilakukan survei dan penelitian atas kebenaran objek jaminan berupa SPK dan DIPA, sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp8. 857.600.000.
Selain itu, temuan Kejati Kalbar juga menunjukkan bahwa HM tidak pernah terdaftar atau tidak memiliki Surat Keputusan (SK) sebagai PPK di Kemendes PDTT sebagaimana yang dicantumkan dalam SPK tersebut.
Begitu juga dengan Gunarso yang tidak pernah terdaftar sebagai pegawai di kementerian tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar