KABARPROGRESIF.COM: (Surabaya) Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korpsi (KPK) memperingatkan semua saksi yang dihadirkan dalam sidang dana hibah Pokir Pemprov Jatim di Pengadilan Tipikor Surabaya dengan terdakwa Sahat Tua P Simanjuntak bersama ajudannya.
Peringatan tersebut agar para saksi yang diperiksa dipersidangan memberikan keterangan apa adanya sesuai fakta yang sebenarnya. Apalagi memberikan keterangan palsu.
"Tapi yang jelas saksi yang diperiksa di persidangan dapat memberikan keterangan ada adanya, bagaimana fakta yang sebenarnya. Jadi dipersidangan tidak memberikan keterangan palsu," tegas JPU KPK Arief Suhermanto, Kamis (6/7).
Nah, bila peringatan tersebut masih diacuhkan para saksi, maka menurut Arief akan ada sanksi hukum yang menantinya.
Sebab pengakuan saksi yang diperiksa saat dipersidangan, semua keterangannya di bawah sumpah serta adanya alat yang merekam kesaksiannya untuk dipertanggungjawabkan.
"Karena apalagi di record, di rekam tentu ketika ada keterangan tidak benar akan mendapatkan sanksi hukum," tandasnya.
Pernyataan JPU KPK ini menyikapi dari keterangan sejumlah saksi yang dianggap berbelit-belit, bahkan terindikasi adanya kebohongan menutupi sejumlah fakta yang ditemukan KPK.
"Seperti pak Anwar Sadad (Wakil Ketua DPRD Jatim) menjawab diplomatis, pada porsinya lebih banyak mengatakan tidak tau dan lain sebagainya," ungkap JPU KPK Arief.
Tak hanya Anwar Sadad, JPU KPK Arief Suhermanto juga menyoroti keterangan dari mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Jatim, Heru Tjahjono.
Menurutnya keterangan mantan Sekda Provinsi Jatim, Heru Tjahjono sangat berbelit-belit.
Padahal keterangannya ini sangat vital untuk dicocokkan dengan keterangan saksi lainnya seperti dari Sekretaris DPRD Jatim, Andik Fajar Tjahjono dan Ketua DPRD Jatim, Kusnadi.
"Penggalian dana pokir ini bagaimana pelaksanaannya. Saharusnya, harapan kami mendapatkan banyak hal dari mantan Sekda terkait dengan dana hibah pokir. Dari keterangan yang lalu dari Sekwan maupun pimpinan DPRD, Kusnadi," ungkapnya.
Selain itu, kata Arief sikap berbelit-belit Heru Tjahjono yang saat ini menjadi Komisaris di Bank Jatim semakin terlihat.
Ketika itu Heru Tjahjono terkesan menutupi pertemuannya dengan mantan Ketua BPK Jatim di Yogyakarta bersama Kepala Bappeda Jatim dan Kepala BPKAD Jatim.
Padahal Heru Tjahjono saat itu sudah pensiun dari Sekda Provinsi Jatim. Apalagi acara pertemuannya itu pasca operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap Wakil Ketua DPRD Jatim nonaktif Sahat Tua P Simandjuntak.
"Peran keterlibatan Sekda Heru Tjahjono yang sudah pensiun sekarang komisaris Bank Jatim bersama BPKAD, Bappeda, BPK yang membahas dana pokir. Disitu setelah pelaksanaan adanya OTT. Kami tanyakan apa maksud pertemuan itu," paparnya.
Nyatanya, dari keterangan Heru Tjahjono masih kata Arief, sangat di luar logika. Dalam pengakuannya, Heru tak dapat menghadiri pelepasan Ketua BPK Jatim Joko Agus Setyono yang terkena mutasi.
Sehingga Heru menjadwalkan pertemuan lanjutan ke Yogyakarta. Padahal Tempat tugas Baru Joko Agus Setyono di Provinsi Bali, sedangkan kediamannya di Jakarta.
"Tadi udah dijelaskan yang bersangkutan pelepasan pak Joko ke Bali. Tapi anehnya ada pertemuan di Yogja. Padahal rumahnya ada di Jakarta. Ini yang kita tanyakan apa pertemuannya memang disengaja di Yogja. Kita menggali kenapa disitu (Yogya)," pungkasnya.
Seperti diberitakan dalam kasus ini, KPK menjerat Wakil Ketua DPRD Jawa Timur Sahat Tua Simandjuntak sebagai tersangka.
Ia diduga menerima suap terkait dana hibah untuk kelompok masyarakat.
Kasus ini terkait dana hibah yang bersumber dari APBD Pemprov Jatim. Dalam tahun anggaran 2020 dan 2021, APBD Pemprov Jatim merealisasikan dana belanja hibah dengan jumlah seluruhnya sekitar Rp7,8 triliun kepada badan, lembaga, organisasi masyarakat yang ada di Jawa Timur.
Praktik suap diduga sudah terjadi untuk dana hibah tahun anggaran 2020 dan 2021.
Sahat yang merupakan politikus Golkar lalu Ajudannya Ruadi kemudian Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi diduga kemudian bersepakat untuk praktik tahun anggaran 2022 dan 2023.
Dalam dakwaanya terhadap Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Arief Suhermanto mengatakan, uang sebasar Rp39 miliar itu diterima Sahat sebagai kompensasi atas perannya memuluskan proses pencairan dana hibah untuk beberapa Pokmas.
"Dana tersebut diberikan kedua terdakwa pada Sahat agar memberikan jatah alokasi dana hibah pokok-pokok pikiran (Pokir) untuk Tahun Anggaran (TA) 2020 hingga 2022 dan jatah alokasi dana hibah yang akan dianggarkan dari APBD Provinsi Jawa Timur Tahun Anggaran 2023 sampai dengan 2024 kepada para terdakwa," kata JPU KPK Arief.
Hal yang sama juga dikatakan Majelis Hakim dalam persidangan tersebut, bila Sahat Tua P Simandjuntak mendapat jatah dana hibah sebesar Rp98.003.172.000 untuk 490 Pokmas yang tersebar di Bangkalan, Blitar, Bondowosao, Malang, Mojokerto, Pamekasan, Sampang dan Situbondo.
Pada TA 2021 sebesar Rp66.322.500.000 untuk 377 Pokmas yang tersebar di Bangkalan, Blitar, Bodowoso, Jember, Jombang, Kediri, Lumajang, Magetan, Malang, Pamekasan, Probolinggo, Sampang, Sidoarjo, Situbondo, Sumenep, Tuban, dan Tulungangung.
Berikutnya TA 2022 sebesar Rp77.598.394.000 untuk 655 Pokmas yang tersebar di Bangkalan, Bondowoso, Gresik, Jember, Ngawi, Pamekasan, Pasuruan, Sampang, Sidoarjo, Situbondo, dan Sumenep.
Sedangkan untuk TA 2023 sebesar Rp28.555.000.000 untuk 151 Pokmas yang tersebar di Bangkalan, Lumajang, Ngawi, Pacitan, Pamekasan, Sampang, dan Sumenep.
Wakil Ketua DPRD Jatim dari Fraksi Partai Golkar, Sahat Tua P Simanjuntak yang disuap Hamid dan Ilham secara ijon sejak proyeksi APBD Tahun Anggaran (TA) 2020 hingga 2023 mengantongi hingga Rp39,5 miliar yang diberikan secara bertahap.
Sahat sebelumnya tercatat sebagai anggota DPRD Jatim periode 2009-2014 dan 2014-2019 mengantongi jatah alokasi hibah pokir hingga Rp270 miliar dari APBD sejak TA 2020 dari total hibah Rp8,2 triliun untuk seluruh anggota DPRD Jatim.
Dalam kasus ini, Sahat Tua P Simandjuntak didakwa dengan dua pasal. Pertama terkait penyelenggara negara Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN), Pasal 12 huruf a Jo Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Dakwaan kedua terkait suap, Pasal 11 Jo Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar