KABARPROGRESIF.COM: (Surabaya) Pengadilan Tipikor Surabaya kembali menyidangkan kasus dugaan korupsi dana hibah Pokir Pemprov Jatim dengan terdakwa Wakil Ketua DPRD Jatim nonaktif Sahat Tua P Simandjuntak dan ajudannya Rusdi, Jum'at (14/7).
Kali ini agendanya masih seputar mendengarkan keterangan saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Adapun saksi yang dihadirkan sebanyak tiga orang.
Mereka diantaranya dua terpidana menyuap Sahat Tua P Simandjuntak yakni Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi alias Eeng.
Keduanya menjalani sidang secara online.
Sedangkan satu orang saksi lainnya yakni Dina Choirul Nissa.
Saksi Dina Choirul Nissa ini merupakan istri dari alharhum Khozim.
Khosim sendiri merupakan orang yang meminta dua terpidana Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi alis Eeng untuk menjadi koordinator dana hibah pokmas di sebagian Kabupaten Sampang yang di peroleh dari Sahat Tua P Simandjuntak.
Dalam sidang tersebut, yang diawali saksi Abdul Hamid, Ketua Majelis Hakim, I Dewa Gede Suardhita, SH. MH memperingatkan agar saksi Abdul Hamid menceritakan fakta yang sebenarnya.
"Jadi Justice Colaborator (JC) terangkan fakta yang sebenarnya," tegas Ketua Majelis Hakim, I Dewa Gede Suardhita, SH. MH..
I Dewa Gede Suardhita juga menanyakan apakah Abdul Hamid mengenal istri dari M. Khozim.
Menurut Abdul Hamid, ia mengenalnya tapi tak bisa mwlihat aecra langsung. Sebab istri M. Khozim ini selalu memakai penutup wajah.
"Saya tidak pernah melihat secara langsung karena memakai cadar," jelas Abdul Hamid.
Sementara JPU KPK Arief Suhermanto meminta Abdul Hamid menceritakan mulai dari awal memperoleh dana hibah pokmas.
Menurut Abdul Hamid, awalnya ia bersama Ilham Wahyudi tak pernah mengenal Sahat Tua P Simandjuntak.
Ia mendapatkan pekerjaan dana hibah pokmas ini dari almarhum Khozim. Nah setelah Khozim meninggal, ia kemudian mengenal Sahat Tua P Simandjuntak.
"Awalnya tidak kenal Sahat, baru setelah pak Khozim meninggal dipertemukan dengan pak Sahat. Pak Sahat itu orang yang memberi dana pokmas pada pak Khozim," ungkapnya.
Jatah dana hibah pokmas yang diberikan M. Khozim ini kata Abdul Hamid mulai tahun 2020 hingga tahun 2022 lantaran M. Khozim ini meninggal.
"Jatah hibah pokir melalui pak Khozim, 2019 pengajuan sampai Khozim meninggal februari 2022," jelas Abdul Hamid.
Abdul Hamid menambahkan, setelah Khozim meninggal, ia sempat bingung kelanjutan penanganan dana hibah pokmas.
Nah disitulah kemudian muncul Rusdi hingga akhirnya tertangkap KPK.
"Setelah itu bingung begitu meninggal, minta adik (Ilham Wahyudi) penanganannya, ya itu pak rusdi meneruskan sampai kena OTT," pungkasnya.
Seperti diberitakan dalam kasus ini, KPK menjerat Wakil Ketua DPRD Jawa Timur Sahat Tua Simandjuntak sebagai tersangka.
Ia diduga menerima suap terkait dana hibah untuk kelompok masyarakat.
Kasus ini terkait dana hibah yang bersumber dari APBD Pemprov Jatim. Dalam tahun anggaran 2020 dan 2021, APBD Pemprov Jatim merealisasikan dana belanja hibah dengan jumlah seluruhnya sekitar Rp7,8 triliun kepada badan, lembaga, organisasi masyarakat yang ada di Jawa Timur.
Praktik suap diduga sudah terjadi untuk dana hibah tahun anggaran 2020 dan 2021.
Sahat yang merupakan politikus Golkar lalu Ajudannya Ruadi kemudian Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi diduga kemudian bersepakat untuk praktik tahun anggaran 2022 dan 2023.
Dalam dakwaanya terhadap Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Arief Suhermanto mengatakan, uang sebasar Rp39 miliar itu diterima Sahat sebagai kompensasi atas perannya memuluskan proses pencairan dana hibah untuk beberapa Pokmas.
"Dana tersebut diberikan kedua terdakwa pada Sahat agar memberikan jatah alokasi dana hibah pokok-pokok pikiran (Pokir) untuk Tahun Anggaran (TA) 2020 hingga 2022 dan jatah alokasi dana hibah yang akan dianggarkan dari APBD Provinsi Jawa Timur Tahun Anggaran 2023 sampai dengan 2024 kepada para terdakwa," kata JPU KPK Arief.
Hal yang sama juga dikatakan Majelis Hakim dalam persidangan tersebut, bila Sahat Tua P Simandjuntak mendapat jatah dana hibah sebesar Rp98.003.172.000 untuk 490 Pokmas yang tersebar di Bangkalan, Blitar, Bondowosao, Malang, Mojokerto, Pamekasan, Sampang dan Situbondo.
Pada TA 2021 sebesar Rp66.322.500.000 untuk 377 Pokmas yang tersebar di Bangkalan, Blitar, Bodowoso, Jember, Jombang, Kediri, Lumajang, Magetan, Malang, Pamekasan, Probolinggo, Sampang, Sidoarjo, Situbondo, Sumenep, Tuban, dan Tulungangung.
Berikutnya TA 2022 sebesar Rp77.598.394.000 untuk 655 Pokmas yang tersebar di Bangkalan, Bondowoso, Gresik, Jember, Ngawi, Pamekasan, Pasuruan, Sampang, Sidoarjo, Situbondo, dan Sumenep.
Sedangkan untuk TA 2023 sebesar Rp28.555.000.000 untuk 151 Pokmas yang tersebar di Bangkalan, Lumajang, Ngawi, Pacitan, Pamekasan, Sampang, dan Sumenep.
Wakil Ketua DPRD Jatim dari Fraksi Partai Golkar, Sahat Tua P Simanjuntak yang disuap Hamid dan Ilham secara ijon sejak proyeksi APBD Tahun Anggaran (TA) 2020 hingga 2023 mengantongi hingga Rp39,5 miliar yang diberikan secara bertahap.
Sahat sebelumnya tercatat sebagai anggota DPRD Jatim periode 2009-2014 dan 2014-2019 mengantongi jatah alokasi hibah pokir hingga Rp270 miliar dari APBD sejak TA 2020 dari total hibah Rp8,2 triliun untuk seluruh anggota DPRD Jatim.
Dalam kasus ini, Sahat Tua P Simandjuntak didakwa dengan dua pasal. Pertama terkait penyelenggara negara Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN), Pasal 12 huruf a Jo Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Dakwaan kedua terkait suap, Pasal 11 Jo Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar