KABARPROGRESIF.COM: (Jakarta) Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar didakwa melakukan korupsi terkait pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600.
Jaksa menyebut total kerugian negara melalui PT Garuda Indonesia akibat perbuatan Emirsyah sebesar 609 juta dolar Amerika.
"Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu memperkaya diri Terdakwa Emirsyah Satar atau memperkaya orang lain yakni Agus Wahjudo Hadinoto Soedigno, Soetikno Sedarjo atau memperkaya korporasi yaitu Bombardier, ATR, EDC/Alberta sas dan Nordic Aviation Capital Pte, Ltd (NAC), yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yaitu merugikan keuangan negara Cq PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, seluruhnya sebesar USD 609.814.504," kata jaksa saat membacakan dakwaan di PN Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (18/9/2023).
Total kerugian negara senilai 609 juta dolar jika dirupiahkan senilai Rp 9,37 triliun dengan kurs rupiah saat ini.
Jaksa menyebut Emirsyah Satar tanpa hak menyerahkan rencana pengadaan armada (fleet plan) PT Garuda Indonesia ke Soetikno Soedarjo. Padahal rencana pengadaan itu merupakan rahasia perusahaan.
"Terdakwa Emirsyah Satar secara tanpa hak menyerahkan rencana pengadaan armada (Fleet Plan) PT GA yang merupakan rahasia perusahaan kepada Soetikno Soedarjo untuk selanjutnya diteruskan kepada Bernard Duc yang merupakan Commercial Advisor dari Bombardier," ujar jaksa.
Emirsyah yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama PT Garuda Indonesia lalu mengubah rencana kebutuhan pesawat sub 100 seater dari kapasitas 70 seats menjadi 90 seats.
Kapasitas 90 seats itu diubah tanpa lebih dulu ditetapkan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP).
"Terdakwa Emirsyah Satar selaku Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk merubah rencana kebutuhan pesawat Sub 100 Seater dari yang semula dengan kapasitas 70 seats tipe Jet sesuai Hasil Kajian Feasibility Study Additional Small Jet Aircraft bulan Juli 2010 dan ditetapkan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) 2011-2015 yang disetujui oleh para Pemegang Saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada tanggal 15 November 2010 dengan kapasitas 90 Seats tipe jet tanpa terlebih dahulu ditetapkan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP)," ujarnya.
Emirsyah lalu memerintahkan VP Fleet Aquitition, PT Garuda Indonesia Adrian Azhar bersama VP Strategic Management Office (QP) PT Garuda Indonesia, Setijo Awibowo melakukan pengadaan pesawat sub 100 seater dengan kapasitas 90 seats.
Pengadaan pesawat itu tetap dilakukan meski belum masuk dalam RJPP PT Garuda Indonesia.
"Terdakwa Emirsyah Satar selaku Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk memerintahkan Adrian Azgar (meninggal dunia) sebagai VP (Vice President) Fleet Aquitition PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk bersama-sama dengan Setijo Awibowo selaku VP Strategic Management Office (QP) PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk untuk melakukan pengadaan Pesawat Sub 100 seater dengan kapasitas 90 seats padahal rencana pengadaan Pesawat Sub 100 seater dengan kapasitas 90 seats belum dimasukkan dalam RJPP PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk," ucapnya.
Lalu, lanjut Jaksa, Emirsyah memerintahkan Setijo dan Adrian Azhar membuat kajian kelayakan (Feasibility Study) pesawat sub 100 seater jet kapasitas 90 seats.
Jaksa mengatakan pengadaan pesawat itu juga tak dilengkapi dengan Laporan Hasil Analisa Pasar dan Laporan Hasil Analisa Kebutuhan Pesawat.
"Terdakwa Emirsyah Satar selaku Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk memerintahkan Setijo Awibowo bersama-sama dengan Adrian Azhar membuat Feasibility Study (Kajian Kelayakan) pengadaan Pesawat Sub-100 seater tipe Jet kapasitas 90 seater yang belum ditetapkan dalam RJPP dan tidak dilengkapi dengan Laporan Hasil Analisa Pasar dan Laporan Hasil Analisa Kebutuhan Pesawat," ujarnya.
Emirsyah Satar juga memerintahkan tim pengadaan mengubah kriteria pemilihan dalam pengadaan pesawat tersebut untuk memenangkan pesawat Bombardier dalam pemilihan armada di PT Garuda Indonesia.
Emirsyah meminta pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP) diubah menjadi pendekatan economic sub kriteria NVP (Net Value Present) dan Route Result from.
"Terdakwa Emirsyah Satar selaku Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk memerintahkan Setijo Awibowo, Agus Wahjudo, Albert Burhan, dan Adrian Azhar masing-masing selaku Tim Pengadaan merubah kriteria pemilihan dalam pengadaan pesawat jet Sub-100 dari pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP) menjadi pendekatan economic sub kriteria NVP (Net Value Present) dan Route Result, tanpa persetujuan dari Board Of Direction (BOD) dengan tujuan untuk memenangkan pesawat Bombardier dalam pemilihan armada di PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk," ujarnya.
Jaksa mengatakan Emirsyah meminta pihak Bombardier membuat analisa kelebihan pesawat CRJ-1000 dibanding Embraer E-190. Hal itu dilakukan sebagai dasar memenangkan pesawat Bombardier dalam pemilihan armada di PT Garuda Indonesia.
"Terdakwa Emirsyah Satar selaku Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk bersama-sama Hadinoto Soedigno, Agus Wahjudo bersepakat dengan Soetikno Soedarjo, Bernard Duc dan Trung Ngo meminta pihak Bombardier untuk membuat data-data analisa tentang kelebihan pesawat Bombardier CRJ-1000 dibandingkan dengan Embraer E-190 berdasarkan perhitungan Net Present Value (NPV) dan Route Result pada kriteria economic, sebagai dasar memenangkan pesawat Bombardier dalam pemilihan armada di PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk," ujarnya.
Jaksa mengatakan Emirsyah melakukan persekongkolan untuk memenangkan Bombardier dan ATR dalam pemilihan pengadaan pesawat.
Padahal, jenis pesawat Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600 tak sesuai dengan konsep bisnis PT Garuda Indonesia.
"Terdakwa Emirsyah Satar selaku Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk bersama-sama dengan Agus Wahjudo dan Hadinoto Soedigno selaku Direktur Teknik PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dan merangkap selaku Direktur Produksi pada PT Citilink Indonesia melakukan persekongkolan dengan Soetikno Soedarjo selaku Comercial Advisory Bombardier dan ATR untuk memenangkan Bombardier dan ATR dalam pemilihan pengadaan pesawat pada PT GA, meskipun jenis pesawat Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600 tidak sesuai dengan konsep bisnis PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk sebagai perusahaan penerbangan yang menyediakan layanan full service," tuturnya.
Kemudian direksi PT Citilink Indonesia menyetujui pengadaan pesawat Turbopropeller tanpa melalui rapat direksi. Pengadaan pesawat itu juga tanpa melalui Feasibility Study (FS) yang memadai dan tak sesuai dengan sistem layanan penerbangan Low Cost Carrier PT Citilink Indonesia.
"Terdakwa Emirsyah Satar selaku Direktur Utama PT GA bersama-sama Albert Burhan, M Arif Wibowo dan Hadinoto Soedigno masing-masing selaku Direksi PT Citilink Indonesia tanpa melalui rapat direksi memberikan persetujuan untuk pengadaan pesawat Turbopropeller tanpa ada FS yang memadai serta belum ditetapkan dalam RJPP maupun RKAP, di mana tipe pesawat tersebut tidak sesuai dengan sistem layanan penerbangan Low Cost Carrier PT Citilink Indonesia yang kemudian dalam pengadaannya diambil alih oleh PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk," kata jaksa.
Jaksa mengatakan Emirsyah lalu melakukan pembayaran pre delivery payment pembelian pesawat ATR 72-600 sebesar USD 3.089.300.
Pembayaran itu dilakukan Emirsyah bersama Direktur Keuangan PT Citilink Indonesia, Albert Burhan.
"Melakukan Pembayaran Pre Delivery Payment (PDP) Pembelian Pesawat ATR 72-600 kepada Manufacture ATR sebesar USD 3.089.300,00 padahal mekanisme pengadaan ATR dilakukan secara sewa," kata jaksa.
Kemudian, Emirsyah juga melakukan pembayaran pembelian pesawat CRJ-1000 sebesar USD 33.916.003,80.
Jaksa mengatakan pengadaan pesawat itu padahal dilakukan secara sewa.
"Terdakwa Emirsyah Satar selaku Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk bersama-sama dengan Albert Burhan selaku VP Treasury PT. Garuda Indonesia Tbk melakukan pembayaran PDP pembelian Pesawat CRJ-1000 kepada Bombardier sebesar USD 33.916.003,80, padahal mekanisme pengadaan CRJ-1000 dilakukan secara sewa," ujarnya.
Jaksa menyakini Emirsyah Satar melanggar dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
0 komentar:
Posting Komentar