Pages - Menu

Halaman

Senin, 11 September 2023

Terkait Gugatan Batas Usia Capres dan Cawapres, Pengacara Kampung Tuding Ketua MK Langgar Kode Etik Soal


KABARPROGRESIF.COM: (Surabaya) Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr H Anwar Usman, SH, MH dinilai melanggar kode etik lantaran membeberkan di hadapan publik mengenai pokok perkara yang belum diputuskan. 

Pernyataan Ketua MK itu terkait banyaknya gugatan judicial review atau permohonan uji materi usia calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) ke MK. 

Salah satunya diajukan Sunandiantoro, SH, MH, pengacara asal Banyuwangi, Jawa Timur.

"Saya Sunandiantoro, pengacara kampung menganggap pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi yang disampaikan di hadapan publik terhadap pokok perkara yang belum diputuskan adalah tindakan melanggar kode etik dan perilaku hakim Mahkamah Konstitusi," tandas Sunandiantoro dalam keterangannya, Senin (11/9).

Menurut Sunandiantoro, pernyataan Ketua MK itu menimbulkan persepsi publik bahwa MK mengabulkan perkara batas usia capres dan cawapres. 

Padahal, saat ini masih dalam proses sidang belum diputus.

"Pernyataan beliau (Ketua MK Anwar Usman) yang menjawab pertanyaan dari BEM UNISULA tersebut patut diduga mengesankan Mahkamah Konstitusi akan mengabulkan permohonan batas usia capres cawapres minimal 35 tahun," tegas pengacara dari Oase Law Firm Advocate & Legal Consultan ini.

Sebelumnya, Ketua MK Anwar Usman pada 9 September 2023 dalam acara kuliah umum di Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, menyinggung soal banyaknya pemimpin dunia berusia muda.

“Termasuk tadi masalah usia batas minimal, saya sekali lagi tidak bermaksud karena belum putus ya, InsyaAllah pemeriksaannya sudah selesai tinggal menunggu putusan. Saya sudah kasih contoh tadi bagaimana Nabi Muhammad mengangkat seorang Panglima Perang umurnya belasan tahun. Muhammad Alfatih yang melawan kekuasaan Bizantium dan mendobrak konstatinopel sekarang menjadi Istanbul," ucap Anwar Usman saat itu.

"Selain itu pernyataan beliau yang menyatakan “gimana gak tambah segar, yang ngurus saya itu sekarang adik Presiden”. Menurut saya, kalimat tersebut tidaklah pantas disampaikan oleh seorang negarawan yang saat ini menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi," sambung Sunandiantoro.

Padahal dalam sidang sebelumnya, Sunandiantoro sudah menyampaikan mengenai hubungan kekerabatan atau kekeluargaan Anwar Usman berstatus suami adik dari Presiden Jokowi.

"Saya sampaikan secara tegas bahwa jangan sampai hubungan kekerabatan Ketua Mahkamah Konstitusi dengan Mas Gibran Rakabumingraka dapat menimbulkan kesan liar di publik," ungkapnya.

Kesan liar yang dimaksudkan Sunandiantoro adalah pertimbangan dan putusan permohonan batas usia minimal capres dan capres itu diduga dalam rangka memuluskan anak Presiden Jokowi, yakni Gibran Rakabumingraka mencalonkan diri sebagai Cawapres pada Pemilu Presiden 2024. 

"Sehingga diduga putusan permohonan uji materi batas usia minimal tersebut tidak memenuhi The Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002, yakni prinsip independensi, ketakberpihakan, integritas, kepantasan dan kesopanan serta prinsip kearifan dan kebijaksanaan yang seharusnya menjadi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi," pungkas Sunandiantoro. 

Sebelumnya, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) memperjuangkan batas usia minimal capres dan cawapres dikembalikan menjadi 35 tahun seperti dua aturan UU Pemilu sebelumnya.

Permohonan uji materi itu diajukan PSI dan kader-kader muda PSI seperti Anthony Winza, Danik Eka Rahmaningtyas, Dedek Prayudi, dan Mikhail Gorbachev Dom. 


Sunan yang mendapat kuasa dari masyarakat Banyuwangi menyampaikan keberatannya atas usul PSI, karena diindikasi akan mengusung Gibran Rakabuming sebagai Cawapres. 

Padahal usia Wali Kota Solo itu  masih di bawah 40 tahun dan dianggap belum cukup berpengalaman. 

Hal senada diungkapkan Demas Brian Wicaksono, Direktur Penstudi Reformasi untuk Demokrasi dan Anti Korupsi (Presisi). Ia menegaskan hakim MK dalam menjalankan tugasnya diatur untuk tidak boleh menyampaikan suatu hal berkaitan dengan perkara yang sedang disidangkan.

"Hal itu diatur pada kode etik hakim MK pada prinsip ketakberpihakan angka 4," kata Demas Brian dalam kesempatan terpisah.

Pada angka 4 itu disebutkan, Hakim konstitusi dilarang memberikan komentar terbuka atas perkara yang akan, sedang diperiksa, atau sudah diputus, baik oleh hakim yang bersangkutan atau hakim konstitusi lain, kecuali dalam hal-hal tertentu dan hanya dimaksudkan untuk memperjelas putusan.

Demas Brian juga menyoroti Ketua MK Anwar Usman yang memiliki hubungan kekeluargan dengan keluarga Presiden Jokowi.

Menurutnya, apabila ternyata dapat diduga adanya potensi keterkaitan hubungan keluarga atau terbukti memihak/tidak dapat objektif dengan suatu perkara, maka hakim MK dapat dilarang ikut menyidangkan perkara.

Hal itu diatur pada angka 5 yang menyebutkan bahwa Hakim konstitusi kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya korum untuk melakukan persidangan harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena alasan-alasan di bawah ini:

a. Hakim konstitusi tersebut nyata-nyata mempunyai prasangka terhadap salah satu pihak; dan/atau

b. Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan.

"Terkait persoalan tersebut kita harus objektif melihatnya dan yang berwenang menyatakan hakim MK terbukti melakukan pelanggaran etik atau tidak ialah majelis kehormatan Mahkamah Konstitusi berdasarkan peraturan Mahkamah Konstitusi nomor 10 Tahun 2006," papar dia.

Pada pasal 13 dinyatakan siapapun boleh melaporkan kepada Mahkamah Konstitusi secara tertulis dengan alat bukti yang cukup. 

"Sehingga masyarakat sebaiknya tidak perlu membangun opini liar. Jika memang memiliki bukti sebaiknya laporkan saja kepada Mahkamah Konstitusi," imbau dia.

Apabila adanya laporan pelanggaran etik, lanjutnya, sudah diatur dalam pasal 2 yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi akan membentuk majelis kehormatan maksimal 14 hari setelah menerima pelaporan dugaan kode etik hakim.

"Bahkan berdasarakan Pasal 6, majelis kehormatan juga diberikan kewenangan penjatuhan sanksi atas pelanggaran etik yang dilakukan hakim MK," pungkas Demas Brian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar