KABARPROGRESIF.COM: (Pemalang) Para aktivis yang berasal dari Pemalang, Tegal dan Brebes, Jawa Tengah mendeklarasikan pendirian Forum Rakyat Demokratik (FRD) untuk Keadilan Keluarga Korban Penghilangan Paksa di Padepokan Lintang Kemukus Paduraksa, Pemalang, Jawa Tengah, Minggu (22/10).
Dalam deklarasi yang dihadiri oleh aktivis buruh, petani, serta seniman itu, mereka menuntut negara untuk segera menuntaskan kasus penculikan aktivis pro demokrasi pada 1997/1998 serta kasus pelanggaran HAM lainnya.
Para aktivis itu juga menyerukan jangan memilih calon presiden (capres) yang pernah terlibat dalam kasus penculikan pada pilpres 2024 mendatang.
Ketua FRD Pemalang-Tegal-Brebes, Andi Rustono menjelaskan, para aktivis atau mantan aktivis mestinya memiliki komitmen untuk mendukung penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
Bukan sebaliknya, malah menjadi bagian dari mesin politik untuk mencuci dosa sejarah capres yang kembali muncul dalam pilpres 2024.
"Pendirian Forum Rakyat Demokratik untuk Keadilan Keluarga Korban Penghilangan Paksa di Pemalang ini menjadi ikhtiar bersama untuk memperluas gerakan melawan lupa. Kami mengingatkan jangan pilih capres penculik serta mereka yang pernah terlibat dalam pelanggaran HAM di masa lalu. Rakyat tidak boleh melupakan sejarah kelam bangsa ini," ujar Andi Rustono di Pemalang, Minggu (22/10).
Berdasarkan catatan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), masih terdapat 13 orang yang belum kembali pulang hingga sekarang.
Para aktivis itu dihilangkan paksa menjelang keruntuhan Orde Baru pada 1998. Di antara mereka terdapat empat aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), yakni Wiji Thukul, Petrus Bima Anugerah, Herman Hendrawan, dan Suyat.
Sementara, Gilang ditemukan tewas di hutan Magetan pada 23 Mei 1998.
Andi mengingatkan, pada Oktober 2009, DPR RI pernah melansir empat rekomendasi untuk Presiden Rl terkait penyelesaian kasus penghilangan paksa 1997/1998.
Pertama, merekomendasikan Presiden Rl membentuk pengadilan HAM ad hoc.
Kedua, merekomendasikan Presiden RI serta institusi pemerintah dan pihak terkait untuk mencari 13 aktivis yang masih hilang.
Ketiga, merekomendasikan pemerintah merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang.
Ke empat, merekomendasikan pemerintah meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.
Saat ini, negara telah mengakui 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Termasuk di dalamnya, kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998.
Para aktivis, lanjut Andi Rustono, mestinya gigih mendorong penuntasan kasus-kasus kelam dalam sejarah ini.
Tak cukup dengan penyelesaian non yudisial, tapi juga secara yudisial atau hukum.
"Jangan pernah menjadi bagian dari politik impunitas. Aktivis harus terus mendorong agar pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu diseret dan diadili di pengadilan," kata Andi.
Dalam kesempatan terpisah, aktivis FRD yang juga mantan Sekretaris Jenderal PRD, Petrus Hariyanto mengatakan, penuntasan kasus pelanggaran HAM akan sulit dilakukan jika negeri ini dipimpin oleh politisi yang justru pernah terlibat penculikan serta kejahatan HAM di masa lalu.
Petrus juga menyesalkan, menjelang pilpres banyak bermunculan para bekas aktivis yang memberikan dukungan kepada capres yang pernah terlibat dalam kasus penculikan.
"Jangan lupa terhadap sejarah, terutama kasus penculikan. Aktivis jangan menjadi bagian dari gerakan yang ingin melupakan kejahatan sejarah di masa lalu. Praktik ini hanya akan melanggengkan impunitas," ujar Petrus.
FRD, sebut Petrus, akan tetap melawan capres penculik, siapapun cawapres yang akan digandengnya.
"Walaupun menggandeng putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, akan tetap kami lawan," tandas Petrus.
Untuk diketahui Forum Rakyat Demokratik (FRD) untuk Keadilan Keluarga Korban Penghilangan Paksa pertama kali dideklarasikan di Kantor YLBHI, Jakarta pada 27 Juli 2023.
Dimotori mantan aktivis PRD seperti Petrus Hari Hariyanto, Wilson, Anom Astika, Roso Suroso, Lilik HS dan kawan-kawan, FRD mengampanyekan penuntasan kasus penghilangan paksa serta pelanggaran HAM lainnya di Tanah Air.
Dalam gerakannya, selain menyerukan jangan memilih capres penculik, FRD juga menolak praktik politik yang menyuburkan tindak intoleransi di Indonesia.
FRD pernah menghelat peringatan ulang tahun ke-60 penyair Wiji Thukul pada 23 Agustus silam.
Digelar di Galeri Nasional, Jakarta, acara yang dihadiri ratusan orang itu mengabarkan bahwa Wiji Thukul dan kawan-kawan masih hilang dan tak kunjung kembali pulang.
0 komentar:
Posting Komentar