Terus Kobarkan Semangat Perjuangan Arek-arek Suroboyo 10 Nopember 1945 untuk memberantas Korupsi, Terorisme dan Penyalahgunaan Narkoba

Kamis, 12 Oktober 2023

Ikhwan Nursyujoko Terdakwa Perkara Koneksitas Tipikor Pembangunan Rumah Prajurit Sebut Dakwaan Jaksa Tidak Cermat, Tak Jelas dan Kurang Lengkap


KABARPROGRESIF.COM: (Surabaya) Eksepsi atau nota keberatan terdakwa Ikhwan Nursyujoko yang dibacakan kuasa hukumnya secara bergantian yakni Lalu Abdi Mansyah, SH., CLI dan Muhammad Naufal Ali Syafi'i, SH MH. CLI menganggap pasal yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Jatim salah.

Sebab dalam dakwaannya, JPU Kejati Jatim mendalilkan bahwa terdakwa telah melakukan Tindak Pidana di Bidang perpajakan.

Terdakwa Ikhwan Nursyujoko, kata Lalu Abdi Mansyah telah melanggar pasal-pasal dalam betuk Dakwaan Primair-Subsidair, yaitu, Primair, Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 ayat (1), (2), (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sedangkan, Subsidairnya, Pasal 3 Jo. Pasal 18 ayat (1), (2), (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

"Dalam penerapan hukum diatas, terlihat bahwa Penuntut Umum telah salah dalam menerapkan hukum yang seharusnya dikenakan kepada Terdakwa Ikhwan Nursyujoko, S. Ag, Penuntut Umum dalam perkara ini terlalu tergesa-gesa dalam menentukan Terdakwa Ikhwan Nursyujoko, S. Ag sebagai orang yang diduga bersalah. Dimana dalam perkara  a quo  yang menjadi materi perkara adalah terkait adanya kerugian Negara dari PT. Sier Puspa Utama (SPU) atas proyek pekerjaan Pembangunan perumahan Prajurit Setara Tower 6 lantai di Cijantung Jakarta Timur, dimana uang yang sudah dikeluarkan oleh PT. Sier Puspa Utama selaku penerima kerja sebesar Rp1.250.000.000," kata Lalu Abdi Mansyah saat mbacakan eksepsi di ruang sidang Cakra Pengadilan Tipikor Surabaya, Kamis (12/10).

Pekerjaan tersebut, menurut Lalu Abdi Mansyah didasarkan pada adanya perjanjian kerjasama Pembangunan Perumahan Prajurit setara Tower 6 lantai Cijantung Jakarta Timur Nomor : 1.001/DIR.1/PKS-NIB/SPU/I/2018 tertanggal 08 Januari 2018 dan Letter Of Agreement (LOA) Nomor : RS 041/1-TNI/2018 tanggal 24 Januari 2018.

"Bahwa terkait dengan perkara proyek pembangunan perumahan Prajurit Setara Tower 6 Lantai Cijantung yang diduga mengkibat kerugian negara sebesar Rp1.250.000.000 telah diputus dan dipertanggungjawabkan oleh Direktur Utama PT. Sier Puspa Utama pada saat itu, yaitu Saksi Dwi Fendi Pamungkas dan Kepala Biro Teknik PT. Sier Puspa Utama, yaitu saksi Agung Budhi Satriyo, yang keduanya sudah mendapatkan vonis hukuman pidana oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Surabaya sebagaimana putusan perkara Nomor : 167/Pid.Sus-TPK/2022/PN.Sby  tertanggal 05 April 2023 atas nama terdakwa Agung Budhi Satriyo dan putusan perkara Nomor : 166/Pid.Sus-TPK/2022/PN.Sby  tertanggal 05 April 2023 atas nama terdakwa Dwi Fendi Pamungkas," ungkapnya.

Nah, lanjut Lalu, sangat ironis terhadap perkara yang sudah diputus dan sudah ada pihak yang dimintai pertanggungjawaban terkait tindak pidana korupsi  proyek pekerjaan Pembangunan perumahan  Prajurit Setara Tower 6 lantai di Cijantung Jakarta Timur, masih dibuka kembali dan didakwakan kepada terdakwa Ikhwan Nursyujoko yang sama sekali tidak memiliki peran yang signifikan dalam perkara a quo.

"Justru terdakwa merupakan pihak yang menjadi korban dengan menderita kerugian materiil secara pribadi sebesar kurang lebih Rp900 juta yang sudah digelontorkan atas proyek Pembangunan perumahan  Prajurit Setara Tower 6 lantai di Cijantung Jakarta Timur, sehingga apakah tepat dan mencerminkan rasa keadilan seorang korban dijadikan sebagai pelaku atau bahkan didakwa melakukan tindak pidana korupsi yang notabenenya merupakan perbuatan dari pihak lain. seperti saat ini terdakwa Ikhwan Nursyujoko didudukkan di atas kursi “keadilan”," tegasnya.

Seyogyanya masih kata Lalu, Majelis Hakim dapat mencermati dan memeriksa dengan seksama terhadap penerapan sanksi berupa sanksi pidana yang ditujukan kepada terdakwa Ikhwan Nursyujoko oleh Penuntut Umum.

"Kami selaku penasihat hukum terdakwa menilai hal yang demikian sebagaimana dalam bentuk dakwaan penuntut umum yang berbentuk subsidaritas adalah tanda terlalu yakin dan terburu-buru dari Penuntut Umum dengan tanpa memperhatikan adanya kebenaran materiil dalam mendakwa terdakwa Ikhwan Nursyujoko," tandasnya.

Maka untuk itu, Lalu berpendapat, Penuntut Umum terlalu percaya diri dan terkesan tergesa-gesa dalam menerapkan dakwaan yang ditujukan kepada terdakwa Ikhwan Nursyujoko. 

"Seyogyanya penuntut umum menyusun dakwaan secara pasti dengan tidak memberikan gambaran seolah-olah penuntut umum percaya dan semata-mata hanya untuk menunaikan tugasnya sebagai Penegak Hukum tanpa menimbang terhadap perbuatan yang dilakukan Terdakwa. Oleh karenanya, menurut hemat kami penasehat hukum terdakwa surat dakwaan penuntut umum tidak cermat," paparnya.

Bahwa dalam membuat surat dakwaan, kata Lalu, penuntut umum haruslah mampu merumuskan unsur-unsur delik yang didakwakan sekaligus memadukan unsur-unsur delik tersebut dengan uraian perbuatan materiel yang dilakukan oleh terdakwa, di mana hal tersebut adalah merupakan suatu syarat materiil suatu surat dakwaan sebagaimana diatur dalam pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP.

"Bahwa dalam surat dakwaannya penuntut umum merangkai perbuatan pidana terdakwa dengan bentuk dakwaan susidairitas, didalam dakwaaan penuntut umum tersebut apa yang diuraikan mengenai perbuatan materiil yang dilakukan oleh terdakwa tidak secara jelas dan lengkap diuraikan, dakwaan tersebut lebih banyak menguraikan peran serta terdakwa Dindin Kamaludin, yang justru merupakan pihak yang berperan aktif dalam proyek pekerjaan Pembangunan perumahan  Prajurit Setara Tower 6 lantai di Cijantung Jakarta Timur, yang berhubungan langsung dengan pihak PT. Sier Puspa Utama serta sebagai pihak yang menyiapkan kelengkapan secara administrasi persyaratan proyek tersebut, sehingga dari proses dan tindakan yang dilakukan oleh terdakwa Dindin Kamaludin telah diproses dan diverifikasi lebih lanjut oleh manajemen PT. Sier Puspa Utama, setelah dinyatakan lengkap serta dokumen sudah clean and clear pihak manajemen akhirnya menyetujui untuk mengeluarkan sejumlah uang untuk kepentingan proyek secara bertahap," tandasnya.

Bahwa sangat jelas, lanjut Lalu tidak ada perbuatan atau peran terdakwa Ikhwan Nursyujoko, yang secara melawan hukum yang mengakibatkan kerugian negara melalui dana yang dikeluarkan oleh PT. Sier Puspa Utama, peran dan kapasitas terdakwa yang sebenarnya adalah sama dengan PT.SPU, yaitu sebagai pelaksana dan penerima kerja, yang notabenenya pekerjaan tersebut didapatkan dari pihak yang mengatasnamakan TNI yang dalam hal ini terdakwa Dindin Kamaludin, sehingga dikarenakan tidak ada perbuatan materiil ataupun kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa Ikhwan Nursyujoko, dalam perkara  a quo menunjukkan ketidak cermatan penyidik dalam menentukan tersangka dan ketidak cermatan penuntut umum dalam menguraikan perbuatan materiil yag dilakukan oleh terdakwa Ikhwan Nursyujoko, sehingga akibatnya dakwaan haruslah dinyatakan batal demi hukum.

"Bahwa jika melihat secara cermat mengenai uraian dakwaan dari Penuntut Umum mengenai kapasitas dan peran terdakwa 2 Ikhwan Nursyujoko, penuntut umum seolah - olah ragu dalam menentukan dan merangkai perbuatan materil yang dilakukan oleh terdakwa, karena pada faktanya terdakwa Ikhwan Nursyujoko, tidak pernah berperan aktif dalam menawarkan proyek pekerjaan Pembangunan perumahan Prajurit Setara Tower 6 lantai di Cijantung Jakarta Timur, melainkan terdakwa Ikhwan Nursyujoko, adalah pihak penerima kerja yang sama halnya dengan PT. SPU. Sehingga tidaklah benar uraian surat dakwaan penuntut umum pada halaman 4 Alinea pertama yaitu bahwa berawal dari terdakwa Ikhwan Nursyojoko, menawarkan pekerjaan kepada saksi H. Hendi Hartubianadi untuk melaksankan Pembangunan Rumah Prajurit setara Tower 6 lantai cijantung Jakarta Timur, akan tetapi karena bukan bidangnya, maka saksi H. Hendi Hartubianadi meneruskannya kepada adik kandungnya yang Bernama saksi Agus Hendardi yang pada saat itu selaku salah satu direktur operasi PT.SIER, dimana kemungkinan dapat dilakukan oleh PT. SIER ataupun anak Perusahaannya," jelas dia.

Bahwa dari kutipan uraian surat dakwaan tersebut diatas menyimpang dari fakta yang sebenarnya, terdakwa Ikhwan Nursyujoko, tidak pernah menawarkan kepada pihak PT. SIER ataupun anak perusahaannya PT.SPU baik secara langsung maupun tidak langsung, terhadap penawaran proyek tersebut bukan merupakan ranah ataupun kapasitas dari terdakwa Ikhwan Nursyujoko, melainkan ada pihak lain yang lebih kompeten dan memiliki kapasitas untuk itu.

"Oleh krenanya, menurut kami penasehat hukum terdakwa, surat dakwaan penuntut umum tidak jelas dan tidak lengkap. Semper in obscuris, quod minimum est sequimur.
'Di dalam suatu konstruksi yang kabur, mereka selalu menerapkannya meskipun hal itu kabur,'. Maka kalau surat dakwaan penuntut umum tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap oleh karenanya, dakwaan penuntut umum haruslah dinyatakan batal demi hukum," pungkasnya.

Seperti diberitakan, kasus ini bermula dari dugaan penyimpangan penggunaan dana yang dikeluarkan oleh PT. SPU, anak perusahaan BUMN PT Surabaya Industrial Estate Rungkut (PT SIER).

Dana tersebut akan digunakan untuk paket pekerjaan pembangunan rumah prajurit setara tower lantai 6 tahun 2018 di Cipinang.

Terdakwa Ikhwan selaku pihak dari PT Neocelindo Inti Beton Cabang Bandung pihak penerima paket pekerjaan pembangunan rumah prajurit setara tower lantai 6 Tahun 2018.

Lalu, paket pekerjaan tersebut diserahkan kepada PT SPU untuk dikerjakan.

Mekanismenya, sebagai biaya pekerjaan awal atau relokasi, Ikhwan meminta uang kepada PT SPU.

Totalnya mencapai Rp1,25 miliar.

Nah, setelah uang diberikan ternyata paket pekerjaan pembangunan rumah prajurit setara tower lantai 6 Tahun 2018 tidak ada alias fiktif.

Sedangkan, untuk peran tersangka dari Militer, yakni Letkol CZI DK, diduga menerima sebagian uang pembayaran dari Rp1,25 miliar tersebut.

Tak hanya itu, Letkol CZI DK juga berperan mengatasnamakan TNI yang akan mengadakan paket pekerjaan pembangunan rumah prajurit setara tower lantai 6 Tahun 2018, kendati paket pekerjaan tersebut tidak ada.

Pihak PT SPU sendiri sebelumnya sudah dilakukan proses persidangan dan sekarang dalam tahap upaya hukum banding atas nama Dwi Fendi Pamungkas yang saat kejadian sebagai Direktur Utama PT SPU dan Agung Budhi Satriyo yang pada saat kejadian selaku Kepala Biro Teknik PT SPU.

Atas perkara ini, Letkol CZI DK dikenakan sanksi berdasarkan ketentuan Pasal 198 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer yang pada pokoknya menjelaskan tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

Dalam perkara tindak pidana korupsi proyek perumahan prajurit ini, sebelumnya ada dua orang terdakwa yang telah memperoleh putusan hukum dari majelis hakim pada pengadilan tingkat pertama.

Mereka adalah Dwi Fendi Pamungkas yang saat kejadian tahun 2018 menjabat Direktur Utama PT SIER Puspa Utama dan Agung Budhi Satriyo selaku Kepala Biro Teknik pada anak perusahaan PT SIER tersebut.

Keduanya sama-sama divonis pidana satu tahun enam bulan penjara di Pengadilan Tipikor Surabaya.

0 komentar:

Posting Komentar