KABARPROGRESIF.COM: (Yogyakarta) Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta berencana melaksanakan Eksekusi dalam Perkara Perdata Nomor 156 yang dimohonkan oleh dr. Adelyna Meliala, Spesialis Saraf, dr. Andyda Meliala, dan dr Andreasta Meliala.
Permohonan Eksekusi ini bertujuan untuk memerintahkan dr. Andreanyta Meliala, Ph.D untuk keluar dan meninggalkan rumah di Jalan Nagan Lor Nomor 70, Kraton, Yogyakarta.
Perkara ini bermula ketika dr. Andreanyta Meliala menggugat dr. Adelyna Meliala, dr. Andyda Meliala, dr. Andreasta Meliala terkait jual beli yang dilakukan dr. Andreanyta Meliala dengan orangtuanya pada tahun 2015.
Dengan obyek rumah di Jalan Nagan Lor Nomor 70 .
Dikarenakan ketiga kakak dr. Andreanyta Meliala tidak mau melakukan proses balik nama, kemudian dr. Andreanyta Meliala mengajukan gugatan pengesahan jual beli pada Pengadilan Negeri Yogyakarta.
Mulanya, Pengadilan Negeri Yogyakarta mengabulkan gugatan dr. Andreanyta Meliala dan menyatakan obyek di Jalan Nagan Lor Nomor 70 adalah sah milik dr Andreanyta Meliala yang diperoleh dengan jual beli.
Putusan tersebut senyatanya dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 105/PDT/2020/PT.YYK.
Namun dalam proses Kasasi, Majelis Hakim membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta dan mengabulkan Gugatan Rekonvensi dengan menyatakan batalnya jual beli yang dilakukan oleh dr. Andreanyta Meliala dengan almarhum orangtuanya.
Dalam Amar putusan yang dimohonkan eksekusi berbunyi , Memerintahkan Tergugat dalam Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi untuk keluar dan meninggalkan rumah yang terletak Jl, Nagan Lor Nomor 70 Kelurahan Kadipaten, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta sebagaimana teruang dalam Sertifikat.
Namun dalam putusan menimbulkan banyak pertanyaan, dalam pelaksanaan eksekusi ini.
Putusan Kasasi Nomor 3130 K/Pdt/2021 tanggal 10 November 2021 telah menyatakan bahwa obyek di Jalan Nagan Lor Nomor 70 adalah harta yang ditinggalkan oleh Nyonya Christina Pinem.
Putusan tersebut hanya membatalkan jual beli yang sebelumnya pernah dilakukan oleh dr. Andreanyta Meliala dengan orangtuanya, tidak menghilangkan hak hukum dr. Andreanyta Meliala dan hak sebagai ahli waris.
Sehingga dr. Andreanyta Meliala, Ph.D selaku salah satu ahli waris memiliki hak ¼ bagian dari obyek tersebut dan sebagai ahli waris berhak untuk menempati obyek waris yang ditinggalkan.
Dalam putusan eksekusi juga tidak di cantumkan siapa yang akan menempati rumah tersebut setelah di eksekusi.karena dalam putusan tidak di cantum.
Obyek eksekusi tetap menjadi boedel waris, dimana dr. Adelyna Meliala, dr. Andyda Meliala, dan dr. Andreasta Meliala tetap memiliki hak yang besarnya sama dengan yang dimiliki dr. Andreanyta Meliala sebesar ¼ bagian. dr. Andreanyta Meliala menilai eksekusi ini sebagai alat untuk menekan untuk dapat mengendalikan pembagian waris yang ditinggalkan orangtua, sebenarnya berkaitan dengan pembagian harta warisan saat ini sedang dalam proses pemeriksaan di Pengadilan Negeri Yogyakarta dengan Nomor Perkara 1/Pdt.G/2023/PN.
Sementara menurut kuasa hukum Nina Purwanto menganggap eksekusi dalam Perkara Perdata Nomor 156 terkesan dipaksakan.
Hal ini terlihat dengan banyaknya aparat keamanan yang diterjunkan untuk mengamankan lokasi eksekusi yakni di sekitaran obyek rumah di Jalan Nagan Lor Nomor 70.
"Eksekusi dipaksakan, Pengadilan ngotot. Mereka mengeluarkan Pengamanan ful," tegas Nina Purwanto, Rabu (25/10).
Nina juga melihat bahwa eksekusi ini agar kliennya mau menerima opsi yang mereka tawarkan.
Padahal hal itu sangat rentan dengan wasiat dari orang tuanya.
"Eksekusi sebagai alat memaksakan atau tekanan agar saya menerima skema bagi waris mereka yang rentan mengingkari wasiat wakaf orang tua untuk gereja dan masyarakat umum," paparnya.
Tak hanya itu, Pengadilan seolah tak berimbang dalam mengambil keputusan.
Pasalnya masih ada perkara lain yang masih berperkara di obyek yang disengketakan.
"Eksekusi tetap dilaksanakan padahal masih ada 2 perkara lain yang saling tumpang tindih terkait obyek yang sama," katanya.
Menurutnya eksekusi perkara 37 penggantian biaya biaya saat sakit sampai pemakaman, dibuat bargaining power dengan eksekusi perkara 156.
"Padahal perkara 37 tak ada perlawanan tak ada masalah, jika PN adil apa adanya, tentu perkara 37 tidak terkatung-katung, tidak dijadikan bargaining power untuk perkara lain. Tidak profesional," tandasnya.
"Obyek Nagan Lor 70 seakan akan satu satunya harta warisan, padahal adelyna, andyda, andreasta, saat ini sudah menikmati banyak harta orang tua dan Andreanyta (anak bungsu) tidak pernah mengganggu ataupun memaksakan kehendak untuk ikut menikmati apa yang mereka nikmati sejak lama," pungkasnya.
0 komentar:
Posting Komentar