Jakarta - KABARPROGRESIF.COM Bareskrim Polri membeberkan modus Tidak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) berkedok magang (ferien job) ke Jerman.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro menjelaskan sebanyak 1.047 mahasiswa diberangkatkan ke Jerman melalui program magang ilegal.
"Para mahasiswa dipekerjakan secara non prosedural sehingga mengakibatkan mahasiswa tereksploitasi," ujarnya dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (23/3).
Djuhandani menjelaskan temuan kasus ini berawal dari laporan KBRI Jerman yang mendapat aduan dari empat orang mahasiswa setelah mengikuti program Ferien Job di Jerman.
KBRI Jerman lantas melakukan pendalaman hingga diketahui ada sekitar 33 universitas di Universitas yang menjalankan program Ferien Job ke Jerman.
Sebanyak 1.047 mahasiswa korban TPPO itu diberangkatkan oleh tiga agen tenaga kerja di Jerman.
Sementara untuk sosialisasi adanya program magang ke Jerman atau Ferien Job tersebut kepada pihak universitas dilakukan oleh PT Cvgen dan PT SHB.
Dalam menjalankan aksinya, mereka mengklaim apabila program magang ke Jerman telah terdaftar dalam magang merdeka dari Kemdikbud Ristek.
Selain itu, mereka juga menjanjikan apabila program magang dimaksud dapat dikonversikan setara dengan 20 SKS.
"PT SHB menjalin kerja sama dengan universitas yang dituangkan dalam MoU. Dalam MoU tersebut terdapat pernyataan yang menyampaikan bahwa ferien job masuk dalam program merdeka belajar kampus merdeka serta menjanjikan program magang tersebut dapat dikonversikan ke 20 SKS," tuturnya.
Padahal, Djuhandani mengatakan sedari awal PT SHB tidak pernah terdaftar dalam program MBKM Kemendikbud Ristek ataupun sebagai perekrut tenaga kerja di Kementerian Ketegakerjaan (Kemenaker).
Dengan demikian, perusahaan tersebut seharusnya tidak bisa bekerja untuk merekrut dan mengirim pekerja migran Indonesia untuk bekerja dan juga magang di luar negeri.
"Pada saat pendaftaran korban juga dibebankan membayar biaya pendaftaran sebesar Rp150 ribu ke rekening atas nama Cvgen dan juga membayar sebesar 150 euro untuk pembuatan LOA kepada PT SHB," jelasnya.
Djuhandani mengatakan mereka berdalih pembayaran harus dilakukan lantaran korban sudah diterima agency runtime di Jerman.
Setelah LOA terbit, para korban juga masih diwajibkan membayar uang senilai 200 euro ke PT SHB untuk pembuatan approval otoritas Jerman (working permit) sebagai persyaratan pembuatan visa.
Kemudian, korban juga dibebankan menggunakan dana talangan sebesar Rp30 juta sampai Rp50 juta yang nantinya akan dipotong dari penerimaan gaji setiap bulannya.
Setibanya di Jerman, para korban langsung disodorkan surat kontrak kerja oleh PT SHB dan working permit untuk didaftarkan ke Kementerian Tenaga Kerja Jerman.
"Dalam bentuk bahasa Jerman yang tidak dipahami oleh para mahasiswa. Mengingat para mahasiswa sudah berada di Jerman, sehingga mau tidak mau menandatangani surat kontrak kerja dan working permit tersebut," jelasnya.
Dalam kasus ini, Djuhandhani mengatakan terdapat lima pelaku yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Dua tersangka diantaranya saat ini masih berada di Jerman.
Kelima tersangka itu merupakan perempuan bernisial ER alias EW (39), A alias AE (37), perempuan AJ (52), dan laki-laki inisial SS (65) dan MZ (60).
"Sehingga kami berkoordinasi dengan pihak Divhubinter dan KBRI Jerman untuk penanganan terhadap 2 tersangka tersebut," jelasnya.
Atas perbuatan itu, para tersangka dikenakan Pasal 4 UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan TPPO dengan ancaman penjara paling lama 15 tahun penjara dan denda Rp600 juta.
Kemudian Pasal 81 UU No 17 Tahun 2017 tentang pelindungan pekerja migran Indonesia, dengan ancaman pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan pidana denda paling banyak Rp15 miliar.
0 komentar:
Posting Komentar