Surabaya - KABARPROGRESIF.COM Nama Presiden RI ke-2, Jenderal Besar TNI (Pur) Soeharto, secara resmi diusulkan oleh Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Jawa Timur untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional.
Usulan ini disampaikan pada peringatan ulang tahun Partai Golkar yang ke-60 tahun di 2024.
Menanggapi hal tersebut, Akademisi Universitas Airlangga (Unair), Moordiati, memberikan pandangannya terkait relevansi usulan tersebut.
Menurutnya, usulan ini sah secara politis karena Golkar ingin memberikan legitimasi terhadap kontribusi Soeharto dalam membesarkan partai.
"Pak Harto adalah tokoh pertama yang membawa Golkar menjadi besar. Jika usulan ini muncul dari Partai Golkar, tentu tidak ada masalah,” kata Moordiati yang saat ini menjadi dosen Fakultas ilmu budaya program studi ilmu sejarah, Jumat (1/11)
Namun, lanjut perempuan kelahiran Sukoharjo ini juga menyampaikan perlunya mempertimbangkan aspek lain dalam pengusulan tersebut.
Menurutnya, meskipun Soeharto berhasil membawa Indonesia mencapai swasembada beras dan dikenal dengan berbagai pembangunan fisik, ada sisi lain yang perlu diperhitungkan.
“Dalam pandangan akademisi, ada berbagai nilai yang perlu diperhatikan sebelum menetapkan beliau sebagai Pahlawan Nasional. Selain jasa, perlu melihat konteks yang lebih luas tentang kontribusi dan dampak kepemimpinannya,” jelasnya.
Moordiati yang juga menjadi staf di internasional office di fakultas ilmu budaya ini menyebutkan bahwa, meski banyak pengikutnya yang merindukan era Soeharto, terdapat kekhawatiran akan relevansi simbol-simbol budaya yang Soeharto representasikan.
“Bagi sebagian orang, Pak Harto memang merepresentasikan simbol ke-Jawa-an yang kental. Dia berhasil menampilkan budaya Jawa dalam lingkup nasional, yang bisa jadi dianggap sebagai jawasentris. Namun, ini menjadi pertimbangan apakah kehadiran simbol budaya itu bisa diterima secara luas dalam kerangka Pahlawan Nasional,” ungkap Moordiati.
Sebagai tambahan, Moordiati menilai bahwa kontribusi Soeharto bisa lebih kontekstual jika dinilai dalam lingkup “pahlawan pembangunan,” bukan sebagai “bapak bangsa.”
“Contoh real jamannya pak harto yang berkuasa selama 32 tahun itu ndak ada satupun anaknya yang diusulkan masuk dijalur birokrat. Artinya pak soeharto itu tidak pernah melanggar aturan demokratis. Nah itu yang kemudian memorehkan sejarah buat orang-orang pengikut soeharto,” katanya.
Ia menyatakan, Perlu dilihat kembali apa yang menjadi warisan pembangunan beliau saat ini dan apakah itu masih relevan dengan pembangunan zaman sekarang.
“Semua ini adalah pertimbangan penting yang harus diperhatikan dalam mengusulkan beliau sebagai Pahlawan Nasional,” terangnya.
Moordiati yang kini menempuh pendidikan S3 di ilmu budaya di Unair menegaskan bahwa usulan ini tentunya akan menjadi bahan diskusi yang panjang di kalangan masyarakat, akademisi, dan politisi, terutama mengingat perjalanan sejarah dan kontribusi Soeharto selama 32 tahun memimpin Indonesia.
Sementara itu, Dosen fakultas ilmu Kebijakan Publik Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Alim Basa Tualeka mengatakan bahwa pengusulan nama Soeharto oleh Golkar ini sebagai sebuah ungkapan terimakasih dari partai Golkar atas kiprah soeharto.
Ia menilai kiprah soeharto yang selalu memegang teguh administrasi negara menjadi legacy bagi soeharto untuk bisa diusulkan menjadi pahlawan selain sebagai baoak pembangunan.
“Dalam kacamata saya pengusulan nama soeharto ini bisa dilihat dari kebijakan-kebijakan pak Soeharto yang selalu melangkah mengutamakan kebijakan negara,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar