Jakarta - KABARPROGRESIF.COM Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami kasus dugaan rasuah dalam pembelian lahan di Rorotan, Jakarta Utara.
Sebanyak tiga saksi diperiksa penyidik pada Kamis, 14 November 2024.
“Saksi hadir dan penyidik mendalami terkait perencanaan pembelian lahan dan pendanaannya,” kata juru bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto melalui keterangan tertulis, Jumat, 15 November 2024.
Tessa cuma mau memerinci inisial tiga saksi itu yakni FMA, MW, dan MW. Berdasarkan informasi yang dihimpun, salah satu dari mereka adalah Manager Operasional SBU Apartemen PPSJ Farouk Maurice Arzby.
“Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK,” ujar Tessa.
Tessa enggan memerinci jawaban para saksi kepada penyidik saat diperiksa, kemarin. Informasi itu dirahasiakan sampai persidangan digelar.
KPK menetapkan lima tersangka dalam kasus ini yakni, Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya Yoory Corneles Pinontoan, Direktur Pengembangan Perumda Pembangunan Sarana Jaya Indra S Arharrys, Direktur Utama PT Totalindo Eka Persada Donald Sihombing, Komisaris Totalindo Eka Persada Saut Irianto Rajagukguk, dan Direktur Keuangan Totalindo Eka Persada Eko Wardoyo.
Kasus ini bermula ketika Perumda Pembangunan Sarana Jaya ingin berinvestasi soal pengadaan lahan pada 2019 sampai 2021.
Saat itu, PT Totalindo Eka Persada menawarkan lahan kepada perusahaan pelat merah tersebut.
Tanah di Rorotan yang ditawarkan seluas 11,7 hektare. Harga yang dibuka yakni Rp3,2 juta per meter persegi.
Kesepakatan awal yakni lahan mau dibeli Perumda Sarana Jaya dengan harga Rp3 juta per meter per segi.
Harga itu disepakati tanpa melakukan kajian internal lebih dulu.
Penawaran itu tidak mengartikan Perumda Sarana Jaya membeli lahan dengan harga lebih murah.
Harga lahan sekitaran lokasi hanya Rp2 juta per meter persegi.
Ketidaknormalan harga itu sudah diketahui Yoory. Tapi, dia malah meminta data dari KJPP diabaikan.
Total, Perumda Sarana Jaya menyepakati Rp371,5 miliar untuk pembelian lahan dengan PT Totalindo Eka Persada. Padahal, lahan itu sejatinya milik PT Nusa Kirana Real Estate.
Negara ditaksir merugi Rp223,8 miliar atas permainan kotor itu. Data itu didapatkan dari laporan investasi dan pengadaan tanah oleh Perumda Pembangunan Sarana Jaya.
Dalam kasus ini, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar