KABARPROGRESIF.COM : Peristiwa kematian satwa di suatu lembaga konservasi merupakan hal yang
wajar terjadi. Hal tersebut diungkapkan Dirut Perusahaan Daerah Taman Satwa
Kebun Binatang Surabaya (PDTS KBS) Ratna Achjuningrum. Pernyataan itu sekaligus
guna mengklarifikasi derasnya sorotan media bila ada satwa yang mati di KBS.
PDTS memang kerap kali berada pada posisi yang kurang menguntungkan
setiap terjadi kematian satwa. Pasalnya, berita kematian hewan koleksi KBS
selalu dikaitkan dengan opini pengelolaan yang kurang bagus. Padahal, saat
pertama kali menangani KBS pada 15 Juli 2013, kondisi satwa sudah sangat
memprihatinkan.
Ratna lantas menjelaskan, mulanya ada 204 spesies namun kini jumlahnya
tinggal 197 spesies. Secara keseluruhan, total satwa di KBS saat ini ada 3.459
ekor dengan rincian 84 ekor dalam keadaan cacat, tua maupun sakit dan 40 ekor
lainnya sudah sangat tua dan berada dalam pengamatan serius. “Beberapa di
antaranya bahkan cukup parah,” ungkapnya saat ditemui di kantor Bagian Humas
Pemkot Surabaya, Selasa (28/1).
Dia membeberkan kondisi riil satwa satu per satu. Misalnya seekor gajah
bernama Hilir berjenis kelamin betina dan berusia 25 tahun. Saat pertama kali
PDTS masuk, keadaannya sudah sangat memprihatinkan. Selain sudah tua, mata
kanannya sakit dan berselaput. Selain itu ada juga Candrika, seekor harimau
putih berumur 16 tahun. Kondisi lidah Candrika sudah tidak normal. Hal itu
berimbas pada menurunnya nafsu makan hewan tersebut. Dikatakan Ratna,
sebelumnya sudah menurun 3 kilogram daging per hari kini Candrika hanya mau
menyantap 1 kilogram daging per hari.
Hilir dan Candrika hanya sebagian contoh satwa dengan kondisi buruk.
Angeli, seekor singa harus berjalan sempoyongan karena mengalami kelainan pada
kaki belakangnya. Di luar ketiga hewan tersebut menurut Ratna, masih banyak
satwa dengan kondisi serupa, seperti celeng goteng, beruang madu, kuda nil, dan
komodo. “33 burung juga dalam kondisi cacat dan sakit, termasuk 3 merak biru
dan 10 jalak bali,” terangnya.
Dijelaskan Ratna, penyebab banyaknya satwa yang cacat tersebut sebagian
besar karena perilaku satwa itu sendiri. Bisa jadi karena satwa bersikap
hiperaktif atau perkelahian antar hewan dalam kandang. Lemahnya pengawasan
sebelum ditangani PDTS KBS membuat faktor-faktor itu mungkin saja terjadi.
Sedangkan faktor pendorong kematian satwa, lanjut dia, bisa karena
faktor seleksi alam, yakni kondisi satwa yang memang sudah tua. Kendati saat
pertama kali mengelola KBS pada Juli tahun lalu PDTS sudah mendapati banyaknya
satwa tua dan cacat, namun Ratna menyatakan pihaknya tetap memberikan perawatan
maksimal. Upaya yang dimaksud berupa pemberian obat, vitamin dan makanan yang
berkualitas. Serta, secara triwulan, PDTS rutin memberikan laporan kepada Balai
Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).
Sementara soal surplus hewan, alumnus Universitas Brawijaya itu
mengatakan saat ini ada 144 ekor jalak bali dan 94 ekor pelikan. Sejauh ini,
dua jenis satwa tersebut yang populasinya paling banyak. Hal itu tentu
berpengaruh terhadap penyediaan lahan dan kandang demi kenyamanan satwa.
Terkait hal ini, PDTS KBS tengah berkoordinasi dengan kementerian dan BKSDA.
“Kalau memang ada rekom dari kementerian maupun BKDSA untuk dipindah, ya akan
kami pindah tentunya proses kepindahan sesuai prosedur agar tidak terjadi over
populasi,” katanya.
Ditanya apakah dalam waktu dekat PDTS akan menambah koleksi hewan? Ratna
menyatakan, dirinya tidak memungkiri terjadi penurunan spesies dari 204 menjadi
197 sehingga butuh pengayaan. Penambahan spesies akan dilakukan di kemudian
hari, namun menempuh langkah tersebut, PDTS akan fokus pada pembenahan kualitas
kandang terlebih dahulu. Pasalnya, kondisi kandang KBS masih jauh dari kesan
layak, baik dari segi keamanan maupun dari segi standar operasional bertaraf
internasional.
Kematian Hewan, Brankas Misterius dan Pertukaran Satwa
Guna meningkatkan pengamanan dalam KBS, Pemkot Surabaya akhirnya
memasang CCTV. Berdasar evaluasi yang sudah dilakukan, ada 52 titik yang perlu
dipasang CCTV. Dirut PDTS KBS Ratna
Achjuningrum mengungkapkan saat ini CCTV sudah dipasang di 18 titik, ada yang
di dalam dan di luar kandang. Mengenai lokasi persisnya tentu dirahasiakan demi
kepentingan keamanan. “Sisanya dipasang menyusul secara bertahap,” imbuhnya.
Upaya mencegah kematian satwa karena faktor human error juga ditempuh
dengan menggelar evaluasi sumber daya manusia (SDM). Hal itu juga sesuai dengan
hasil keputusan rapat di kantor Presiden, Jakarta Pusat, Selasa lalu (21/1).
Dari hasil evaluasi diketahui karyawan yang melebihi batas pensiun sesuai
perda, yakni 56 tahun sebanyak 27 orang. Parameter evaluasi juga didasarkan
pada loyalitas, attitude (kelakuan), softskill dan hardskill. “Nanti kita akan
dalami lebih jauh, mana yang layak menjadi karyawan KBS mana yang tidak,” tutur
perempuan yang pernah berkecimpung dalam perusahaan pakan ternak selama 10
tahun ini.
Selain kematian hewan, perkembangan seputar KBS juga diwarnai dengan
penemuan brankas dan pengusutan pertukaran satwa yang penuh kejanggalan. Tak
ingin terseret pusaran konflik yang rentan bermasalah secara hukum, Pemkot
Surabaya memutuskan melaporkan hal tersebut kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Ratna mengungkapkan, jumlah brankas yang ditemukan di KBS ada 6 buah.
Dengan rincian 2 brankas kecil dalam kondisi rusak, 2 brankas digunakan pengelola
untuk menyimpan kas dan tiket, dan 1 brankas misterius dengan 3 gembok yang
hingga kini belum dibuka. Berdasarkan catatan keuangan yang belum tentu
kebenarannya, brankas tersebut berisi uang senilai Rp 821 juta plus Rp 16 juta
titipan koperasi, BPKB (buku pemilik kendaraan bermotor), dan titipan tunjangan
hari raya karyawan. “Tapi sekali lagi saya garisbawahi bahwa itu masih berdasar
informasi informal,” terang Ratna.
Sedangkan 1 brankas lainnya milik pengurus lama, kunci dan kombinasinya
PDTS sama sekali tidak tahu, rumornya brankas itu berisi gading gajah dan cula
badak. Hingga detik ini, kedua brankas itu masih belum dibuka.
Soal pertukaran satwa, Ratna menjelaskan bahwa hal tersebut diatur dalam
Peraturan Pemerintah (PP) 8/1999 Tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar,
khususnya pada pasal 33 dan 34. Dijelaskan, pertukaran boleh dilakukan dengan
beberapa persyaratan. Antara lain, harus ada evaluasi terlebih dulu, kemudian
harus ada tim penyetaraan nilai konservasi. Untuk satwa tertentu bahkan perlu
izin presiden.
Tidak berhenti sampai di situ, langkah teknis diperlukan guna menggenapi
persyaratan pertukaran satwa. Pemberi dan penerima satwa harus kembali
memastikan apakah penerima satwa mempunyai kandang dan keeper yang layak serta
mampu menjaga satwa tersebut.
Ratna mengakui adanya pertukaran satwa dengan kendaraan bermotor dan
museum pendidikan oleh pengelola sebelumnya. Terkait hal itu, dia menegaskan
PDTS tidak akan menggunakan barang-barang hasil pertukaran yang diduga
bermasalah. “Termasuk kandang kambing gunung yang masih dalam perbaikan itu
tidak kami gunakan karena statusnya masih bermasalah,” tukas pejabat berjilbab
ini. Untuk itu, pihaknya masih menunggu keputusan resmi dari KPK. (*/arf)