KABARPROGRESIF.COM : Tak seperti gedungnya yang megah, untuk mengusut korupsi kelas teri seperti dugaan korupsi Dispendukcapil Surabaya, penyidik Polda Jatim harus dibikin bingung. Mereka harus bolak-balik karena berkasnya selalu di tolak kejaksaan.
Akibat penolakan itu, sejumlah penyidik berusaha merapatkan diri untuk menentukan sikap. apakah kasus tersebut diteruskan ataukan dikeluarkan SP-3 (Surat Perintah Penghentian Perkara).
Dugaan kasus ini bakal dihentikan terindikasi sangat kuat. Alasan paling utama adalah kerugian negara yang berada di bawah ambang batas minimal.
Saat awal, diduga ada kerugian negara sampai lebih dari Rp 200 juta, tapi belakangan dari hasil audit BPKP kerugiannya hanya Rp 16 juta."Penyidik akan melakukan gelar perkara untuk memutuskan, apakah dihentikan atau dilanjutkan," jawab Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Awi Setiyono, Sabtu (1/3/2014). Penyidik sudah berusaha melengkapi sejumlah petunjuk jaksa, namun berkas perkara atas kasus tersebut tetap saja ada kekurangan sehingga bolak-balik dari kejaksaan ke polisi.
Namun, yang mengakibatkan polisi tidak dapat berbuat banyak adalah kerugian negara, yang hanya Rp 16 juta.
Apalagi, penyidik Polda Jatim pernah mendengar penjelasan bahwa Kejaksaan hanya menerima pelimpahan berkas kasus korupsi dengan kerugian negara minimal Rp 25 juta. Di bawah nilai itu, pelimpahan kasus korupsi tidak diterima."Yang jelas, sekarang ini penyidik masih mendiskusikan langkah apa yang bisa diambil dengan kenyataan seperti itu. Keputusan finalnya bakal diambil dalam gelar perkara nanti," ungkap mantan Wadirlantas Polda Jatim tersebut.
Kasus korupsi Dispenduk Capil ditangani penyidik Polda Jatim sejak November 2011 lalu. Polisi juga sudah menetapkan tiga orang tersangka, yaitu mantan Kadispendukcapil Kartika Indrayana, Sekretaris/Kasi Pengembangan dan Pengendalian Kependudukan Rudi Hermawan, serta staf bagian keuangan/pemegang uang muka Tien Novita.
Penetapan mereka sebagai tersangka karena penyidik menemukan dugaan penyimpangan yang menyebabkan negara dirugikan.
Salah satunya pemotongan honor pegawai yang terlibat dalam proyek pemutakhiran data kependudukan pada 2010.
Awalnya, polisi menemukan bukti bahwa honor yang diterima petugas tidak sesuai dengan kuitansi. Polisi menemukan kuitansi penerimaan honor dengan nominal Rp 10 juta, Rp 20 juta, hingga Rp 40 juta.
Namun, ketika diperiksa ternyata rata-rata pegawai yang masuk tim tersebut hanya mendapatkan Rp 2,2 juta. Anggaran untuk proyek tersebut cukup besar, mencapai Rp 3,4 miliar. Dana proyek tersebut diambilkan dari DIPA APBN 2010 senilai Rp 2,6 miliar dan APBD Kota Surabaya tahun anggaran 2010 sebesar Rp 870 juta.(*/Iko)