Kepala Dinkes Surabaya, Febria Rachmanita, mengatakan sarana dan prasara yang tidak dipenuhi oleh apotek yang ditutup ini salah satunya tidak memiliki timbangan obat. Kemudian ada penanggung jawab apotek yang memiliki cabang di apotek lain. “Dari 10 apotek yang ditutup, semuanya adalah milik swasta. Penutupan apotek selama 2014 itu jauh lebih sedikit dibanding dengan tahun 2013. Pada tahun 2013, jumlah apotek yang kami tutup sebanyak 25 lebih,” katanya.
Febria Rachmanita menambahkan, penutupan apotek ini dalam rangka memberi rasa aman pada masyarakat terhadap peredaran obat terlarang. Selain itu juga melindungi masyarakat dari praktik-praktik apotek yang tidak dibenarkan dalam aturan. Pihaknya sendiri tidak memberi batasan pertumbuhan jumlah apotek. Semakin banyak semakin baik karena akses warga akan obat-obatan akan semakin mudah. “Pertumbuhan apotek di Surabaya setiap tahun tergolong cukup besar. Mungkin sekitar 100-an. Pada 2013, jumlah apotek yang masuk ke data kami itu sebanyak 750 apotek,” ujarnya.
Menurutnya, dalam mendirikan usaha apotek, perijinannya berbeda dengan tempat usaha lain semisal restoran atau tempat hiburan umum (RHU). Ketika hendak mendirikan apotek, pelaku usaha itu setidaknya harus melengkapi sebanyak 40 jenis perijinan. Dari jumlah itu, 20 adalah perijinan sarana dan prasarana, kemudian sisanya adalah perijinan sarana kesehatan. “Sarana kesehatan ini termasuk dokter, apoteker, dokter spesialis dan juga radiographer. Untuk perijinan, semua gratis. Ijinnya semua melalui UPTSA (unit pelayanan terpadu satu atap),” terang Febria Rachmanita.
Febria menambahkan, dalam penutupan apotek, tidak harus melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) karena selama ini penutupan lebih banyak dilakukan Dinkes Surabaya sendiri.
Sebelum melakukan penutupan, Dinkes Surabaya akan memantau apakah apotek yang hendak ditutup itu sudah mengantongi surat ijin praktek apoteker (SIPA) atau tidak. Dalam satu apotek, setidaknya harus memiliki satu apoteker dan dibantun dua asisten apoteker. “Untuk menjaga keamanan warga ketika membeli obat di apotek, kami rajin melakukan pembinaan terhadap apoteker dan juga pengawasan terhadap apotek,” pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi D DPRD Surabaya, Junaedi, memberi apresiasi terhadap langkah tegas Dinkes Surabaya yang berani menindak apotek nakal. Hal ini bisa menjadi peringatan agar pelaku usaha apotek tidak main-main terhadap persyaratan perijinan yang harus dipenuhi ketika membuka usaha apotek.
Namun pihaknya tetap mendorong Dinkes Surabaya untuk makin rutin lagi melakukan pengawasan terhadap keberadaan apotik yang kini makin menjamur di Surabaya. “Jangan sampai, ketika ijin usaha sudah dikeluarkan lantas tidak ada lagi pengawasan. Saya kira pengawasan harus terus menerus untuk memberi rasa aman pada masyarakat,” katanya.(arf)