Penipuan Calon Bintara Polri
KABARPROGRESIF.COM : (Surabaya) Persidangan kasus penipuan calon Bintara Polri 2014 dengan terdakwa AKBP Ernani Rahayu kembali berlanjut di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (27/4/2015). Dipersidangan ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) Tining dan Sabetania menghadirkan saksi perbal lisan atau saksi penyidik yakni Yudi Sukamto.
Penyidik yang bertugas di Subdit Teroris Unit I ini dihadirkan untuk dilakukan konfloritir terkait perbedaan keterangan terdakwa Ernani dengan keterangan Adi Wicaksono perihal selisih uang yang diterima terdakwa Ernani dari Adi Wicaksono.
Pada persidangan sebelumnya, Ernani hanya mengaku menerima Rp 700 juta, sedangkan pengakuan Adi Wicaksono telah memeberikan Rp 2,1 milliar sesuai dengan kuitansi.
"Menurut pengakuan, Adi menyerahkan Rp 2,1 milliar sesuai bukti kuitansi,"terang Yudi dalam persidangan.
Namun, saksi berpangkat Brigadir Kepala (Bripka) ini mulai kelimpungan saat Sudiman Sidabuke selaku pengacara terdakwa Ernani yang mempertanyakan tidak disitanya 8 unit mobil yang dibeli terdakwa Adi dari hasil kejahatan kasus ini.
Selain itu, Sudiman juga mempertanyakan posisi Sri Hernanik yang tidak pernah diperiksa dan dinyatakan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO).
Sri Hernanik merupakan orang yang menerima setoran dari terdakwa Ernani. "Kami sudah panggil tiga kali tapi alamatnya tidak jelas atau tidak diketahui,"terang saksi Yudi.
"Sedangkan mengenai mobilnya memang tidak disita, karena mobilnya sudah diambil oleh para korban," sambungnya.
Usai mendengarkan kesaksian Yudi, persidangan kembali dilanjutkan dengan pemeriksaan terdakwa Ernani. Dalam pemeriksaan, terdakwa yang pernah bertugas di Biddokes Polda Jatim ini membenarkan menjadi perantara percaloan Bintara Polri.
"Iya memang benar, tapi uang yang saya terima tidak sebesar yang disampaikan terdakwa Adi," jelasnya.
Selain itu, Ernani mengaku juga telah ditipu oleh Sri Hernanik, namun hingga kasusnya dibawa ke meja hijau, Polisi tak menyeret keterlibatan Sri Hernanik. "Uang yang saya terima sebagian sudah saya serahkan ke Sri Hernanik,"terangnya.
Terkait adanya pengembalian uang ke korban bernama Karno sebesar Rp 300 juta, Ernani membenarkannya, pengembalian itu dilakukan hanya semata mata rasa iba. Padahal dalam peristiwa ini, terdakwa tidak pernah menerima dari korban.
"Ini aneh, tidak pernah menerima dari korban kok malah anda kembalikan ke korban Karno," tanya Jaksa Sabetania ke terdakwa Ernani.
Sementara dipersidangan terpisah, Adi Wicaksono juga menjalani pemeriksaan terdakwa. Dalam keterangannya, pria yang mengaku sebagai pengusaha jual beli mobil itu, tidak pernah menerima uang dari para korban melainkan menerima dari saksi Susan, yang diakui sebagai kordinator para korban. Dari tangan Susan Adi mengaku menerima uang Rp 3,5 miliar untuk meloloskan 20 calon Bintara Polri.
Dari jumlah itu, Rp 2,1 milliarnya diserahkan ke terdakwa Ernani secara bertahap dan disertai dengan bukti kuitansi, sedangkan Rp 1,4 milliar digunakan terdakwa Adi untuk membeli delapan unit mobil yang dibelinya melalui proses lelang.
Tarif Rp 250 juta per orang nya tersebut tidak ditentukan sendiri, melainkan kesepakatan bersama terdakwa Ernani. Ironisnya, biaya untuk meloloskan para calon bintara yang disetorkan ke Jakarta tersebut tak sebesar yang diminta Adi dan Ernani, yakni hanya Rp 100 juta per orangnya.
"Saya serahkan secara bertahap, saya berani lakukan karena ada jaminan dari Bu Ernani," jelasnya.
Diakui terdakwa Adi, delapan mobil yang dibeli dari uang percaloan itu memang sudah diambil oleh Gembong, suami dari saksi Susan, sebelum perkara ini dilaporkan ke Polda Jatim. "Memang sudah diambil para korban melalui Gembong,"jelasnya.
Usai persidangan, Jaksa Sabetania saat dikonfirmasi terkait tidak disitanya 8 unit mobil tersebut mengakui, telah mempertanyakan ke penyidik, namun jaksa yang betugas di Kejati Jatim ini tak mau mempermasalahkan barang bukti itu. "Yang dimasalahkan kan uangnya bukan mobil nya,"ucapnya.
Sedangkan Sudiman Sidabuke menyatakan keprihatinannya atas tidak disitanya 8 unit mobil tersebut. Selain itu, pengacara senior ini juga menyesalkan penyidikan yang tidak tuntas dan terang dalam kasus ini.
Sudiman menilai, ada aktor intelektual dalam kasus ini yang tidak diusut secara tuntas oleh penyidik.
"Karena sebuah keterangan bukanlan sebagai alat bukti, siapa yang mengambil bb itu dan siapa yang menyerahkan, ini harus jelas, karena pidana ini mengungkap kebenaran materiil, siapa tau korban itu juga sebagai pelaku," katanya saat dikonfirmasi.
Tidak seriusnya penyidik mengungkap keterlibatan Sri Hernanik juga menjadi penyesalan bagi Sudiman. "Makanya kami pertanyakan itu ke saksi Yudi, sudahkan penyidikan ini berjalan tuntas dan jelas, kan anda yang menilainya keterangan saksi Yudi,"terang Sudiman.
Persidangan ini akan kembali dilanjutkan satu minggu ke depan, dengan agenda pembacaan tuntutan jaksa.
Seperti diketahui, Kasus ini sempat membuat Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Anas Yusuf menjadi 'berang'. Mantan Wakbareskrim Mabes Polri ini, tindakan AKBP Ernani Rahayu ini sangat memalukan Korps Kepolisian, Karena itu ancaman pecat juga akan diberikan ke Ernarni.
Percaloan tersebut terungkap setelah 11 calon bintara yang sudah membayar itu tidak lolos seleksi. Mereka lalu menagih janji Adi Wicaksono dan AKBP Ernani Rahayu Tapi, dua orang itu malah tidak bisa dihubungi. Akhirnya para korban melaporkan kasus tersebut ke Polda Jatim. Laporan itu diproses secara pidana.
Dari praktek percaloan itu Adi Wicaksono menawarkan ke para korban bisa memasukan anak saksi maupun koleganya menjadi Bintara Polri dengan membayar Rp 250 hingga Rp 300 juta. Lantas, Adi Wicaksono yang mengaku kepada para korban nya sebagai orang nomor tiga di PT Pertamina itu bekerjasama dengan terdakwa Ernani untuk mengawal para korban lolos dari berbagai rangkaian tes saat pendaftaran calon Bintara Polri 2014 lalu.
Selain itu, untuk meyakinkan para korbannya itu,Adi juga mengaku memiliki hubungan kekerabatan dengan mantan Kapolri Sutarman.
Atas perbuatannya tersebut, Jaksa mendakwa kedua terdakwa melanggar pasal 378 KUHP dan 372 KUHP Jo Pasal 55 KUHP dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara.(Komang)