KABARPROGRESIF.COM : (Surabaya) Agar generasi muda Kota Pahlawan siap menghadapi tantangan global, Pemkot Surabaya melaksanakan sejumlah intervensi di bidang pendidikan. Puluhan program dan kegiatan sengaja diterapkan dengan berorientasi pada kesiapan sumber daya manusia (SDM) pelajar yang handal.
Program paling vital yakni bantuan operasional pendidikan daerah (BOPDA) yang bersumber dari APBD Kota Surabaya. Sejak 2008 hingga sekarang, Pemkot Surabaya secara konsisten menyalurkan BOPDA untuk mendukung operasional kegiatan di sekolah. Saat ini, seluruh sekolah baik negeri maupun swasta di Surabaya menerima kucuran dana BOPDA. Hal inilah yang menjadi kunci kebijakan penyelenggaraan sekolah gratis (bagi sekolah negeri) maupun sekadar meringankan beban wali murid dengan membayar sebagian (sekolah swasta).
Tak hanya itu, pemkot melakukan terobosan dengan memberikan bantuan permakanan bagi siswa SMK. Program yang bergulir sejak 2010 itu bertujuan mendukung siswa yang harus menghabiskan waktu ekstra di sekolah lantaran kegiatan praktikum. “Dengan demikian, siswa tak perlu risau memikirkan kebutuhan makannya. Kami berharap, program pemenuhan kebutuhan makan siswa tersebut dapat memacu kinerja praktik kejuruan di sekolah,” terang Ikhsan, Kepala Dinas Pendidikan (Dispendik) Surabaya.
Perhatian juga ditujukan kepada siswa inklusi. Sejak 2012, Pemkot menyediakan tenaga pendamping bagi pelajar berkebutuhan khusus. Mulanya, siswa berkebutuhan khusus hanya dapat ditampung di satu atau dua sekolah negeri. Namun sekarang, seluruh sekolah negeri di Surabaya tidak boleh menolak siswa inklusi. Oleh karenanya, perlu pemerataan tenaga pendamping yang mana hal itu sudah difasilitasi oleh Pemkot.
Sedangkan program yang orientasinya pada peningkatan kualitas sumber daya siswa antara lain, lomba peneliti belia, pelatihan dan lomba lifeskill, konselor sebaya, pelajar pelopor dan apresiasi siswa berprestasi. Pemkot juga menyediakan beasiswa pilot dan pramugari, serta bantuan operasional siswa sekolah pelayaran dan keperawatan. Program tersebut semata untuk memantapkan kualitas pelajar Surabaya pada bidang profesi khusus.
Kadispendik Ikhsan mengatakan, tidak ada kata berhenti berinovasi dalam program-program pendidikan. Tahun depan, Pemkot bakal memfasilitasi sertifikasi bagi tiga ribu pelajar SMK negeri dan swasta di Surabaya. “Anggaran sudah dipersiapkan tahun ini, pelaksanaan sertifikasi mulai 2016,” ujar Ikhsan.
Pejabat kelahiran Pontianak ini menambahkan, sertifikasi sangat dibutuhkan guna mendukung lulusan SMK agar lebih mudah mengakses dunia kerja. Apalagi, era masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) menuntut kualitas SDM yang tinggi. Dengan mengantongi sertifikat keahlian, para lulusan SMK diharapkan lebih pede saat terjun pada persaingan global. “Seluruh program sertifikasi ini akan ditanggung oleh APBD Surabaya,” tuturnya.
Berharap Program Terus Berlanjut
Implementasi UU 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah salah satunya menginstruksikan pembagian urusan pemerintahan bidang pendidikan. Dalam lampiran UU tersebut tertulis bahwa pengelolaan pendidikan menengah menjadi ranah pemerintah provinsi. Itu berarti, tidak lama lagi seluruh SMA dan SMK di Surabaya akan dikelola oleh Pemprov Jawa Timur.
Kabid Dikmenjur Dispendik Surabaya Sudarminto mengatakan, kebijakan tersebut efektif berlaku terhitung dua tahun sejak diundangkan. Dengan kata lain, deadline-nya jatuh pada Oktober 2016. Sebagai salah satu bentuk persiapan, tahun depan Dispendik Surabaya akan melakukan verifikasi data. Sebab, perpindahan pengelolaan dari Pemkot ke Pemprov meliputi gedung, aset sarana-prasarana dan tenaga pengajar.
Lebih lanjut, Sudarminto menyatakan, pada dasarnya tidak masalah siapa pun pengelolanya nanti. Hal yang terpenting adalah bagaimana caranya agar kualitas pendidikan tidak turun pasca pemberlakuan kebijakan tersebut.
Menurut dia, sekolah-sekolah di Surabaya terbiasa “dimanjakan” dengan intervensi dari Pemkot. Intervensi yang dimaksud Sudarminto baik berupa BOPDA maupun pelatihan pengembangan kualitas guru dan siswa. Sedangkan dari sisi masyarakat, beban menjadi lebih ringan karena kewajiban membayar uang operasional sekolah sudah ditanggung BOPDA.
“Secara keseluruhan, anggaran bidang pendidikan menengah kejuruan (Dikmenjur) Surabaya tahun ini mencapai Rp 449 miliar. Anggaran tersebut termasuk yang ada di dinas-dinas lain seperti dana rehabilitasi gedung sekolah yang ada di Dinas PU Cipta Karya dan Tata Ruang,” terang Sudarminto.
Namun demikian, pihak sekolah dan wali murid tampaknya masih resah. Mereka khawatir pengalihan kewenangan pengelolaan sekolah juga berdampak pada program-program yang selama ini berjalan.
“Jika BOPDA dihapus atau dikurangi jumlahnya, hal itu tentu sangat memberatkan bagi sekolah,” kata Kepala SMK Rajasa Yudhin Bayo Sili. Menurut dia, BOPDA tidak boleh dihapus atau dikurangi sebab perannya sangat vital dalam menopang kelangsungan operasional sekolah.
“Kalau BOPDA benar-benar dihapus, maka hal itu bertentangan dengan undang-undang lainnya, yakni UU 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di situ dijelaskan bahwa komponen pendanaan pendidikan mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Jadi tolong jangan menghilangkan domain pemerintah daerah, khususnya pemerintah kota dalam mendukung terciptanya sistem pendidikan berkualitas,” kata Yudhin.
Pendapat senada dilontarkan Kasek SMK IPIEMS Surabaya Ahmad Fauzi. Dia merasa keberatan jika nantinya BOPDA benar-benar dihapus atau dikurangi. Sebab, menghadapi era MEA, seharusnya BOPDA ditambah karena tuntutan mencetak lulusan berkualitas dan berdaya saing semakin tinggi.
Sementara Kasek SMA Barunawati Ahmad Sami’an mengaku sudah menyiapkan antisipasi kemungkinan terburuk jika nilai BOPDA turun atau bahkan dihapus. Sami’an mengatakan, pihaknya bakal melakukan penyesuaian rencana anggaran, pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS). Opsi tersebut sedikit-banyak tentu akan berpengaruh terhadap kualitas layanan pendidikan.
Opsi kedua, sambung Sami’an, pihaknya tidak punya pilihan lain kecuali membebankan biaya operasional kepada wali murid. “Kami tahu ini tentu cukup berat karena selama ini sekolah-sekolah di Surabaya terbiasa gratis atau bayar sebagian,” katanya.
Kuswinarti (51), ternyata menjadi salah seorang yang was-was. Anak Kuswinarti, Miftahul Janah sedang menempuh pendidikan kelas XI di SMAN 16. Andaikata BOPDA dicabut atau dikurangi, maka Kuswinarti harus merogoh dompet lebih dalam untuk membiayai uang sekolah anaknya.
“Selama ini saya hanya menyuplai uang saku harian untuk anak saya. Kalau nanti sekolah bayar, tentu akan ada biaya ekstra yang perlu disiapkan. Sayang sekali, seharusnya uang itu bisa untuk keperluan yang lain,” kata istri buruh pabrik ini.
Ketua Dewan Pendidikan Surabaya Martadi membenarkan adanya keresahan soal uang sekolah ini. Tak hanya itu, program-program yang selama ini sudah dicanangkan Pemkot seperti permakanan tambahan, pelatihan serta pengiriman guru dan pelajar ke luar negeri plus rencana sertifikasi tahun depan terancam pupus. “Program-program itu bisa saja masih dinikmati para siswa asalkan Pemprov memutuskan melanjutkannya dengan APBD Pemprov,” ucapnya.
Dikatakan Martadi, pada dasarnya maksud dan tujuan kebijakan ini adalah baik. Yaitu, untuk meningkatkan mutu pendidikan. Tapi, jangan sampai yang terjadi justru downgrade (penurunan).
Untuk itu, dia mengusulkan pembagian kewenangan tidak dibebankan 100 persen kepada Pemprov. “Harus sadar bahwa Pemprov punya keterbatasan sumber daya maupun sumber dana. Di sisi lain, Pemprov harus mengurus SMA/SMK di 38 kabupaten/kota. Saya rasa sangat sulit jika harus menuntut fasilitas seperti yang diperoleh sekolah-sekolah di Surabaya seperti sekarang,” tandas alumnus Unesa ini.
Menurut dia, tetap harus ada ruang bagi Pemkot Surabaya agar bisa berkontribusi memajukan pendidikan di daerahnya. “Jangan sampai ada anak tidak bersekolah di Surabaya, tapi Pemkot sendiri kesulitan melakukan program intervensi,” sambungnya.
Selain itu, Martadi juga berharap pada terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pedoman pelaksanaan UU 23 Tahun 2014. Melalui PP tersebut, pembagian kewenangan pengelolaan pendidikan dapat diatur lebih detail dengan mempertimbangkan penyesuaian-penyesuaian yang ada di daerah.(arf)