Diungkapkan Didit, pemberian uang sebesar Rp 50 juta oleh saksi Djaimun Waluyo kepada terdakwa, sama sekali tidak ada kaitan dengan pengurusan surat tanah, seperti yang didalilkan dalam surat dakwaan dan surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ahmad Jaya. Akan tetapi, uang tersebut diberikan secara cuma-cuma yang disepakati untuk pemindahan lurah tanpa disertai bukti otentik atau setidaknya foto copy yang dilegalisir tanpa adanya bukti perjaniian.
"Jadi,nampak jelas bahwa tidak ada unsur melawan hukum,sebagaimana dimaksud dalam pasal 372 KUHP dan unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain, seperti dimaksud dalam pasal 378 KUHP. Sehingga dapat disimpulkan tidak ada rangkaian pidana dalam peristiwa ini. Ini merupakan kasus perdata,"terang Didit saat membacakan nota pembelaannya.
Didit mengakui, dalam pemindahan lurah tersebut, terdakwa hanyalah menjadi perantara saksi korban atau pelapor. Dimana pada intinya, saksi Djaimun Waluyo mengetahui, jika uang Rp 50 juta itu diserahkan ke salah satu anggota DPRD Kota Surabaya. Tapi dalam pledoinya, Didit tidak menyebut siapa nama legislator itu.
Berbeda saat pemeriksaan terdakwa, dimana terdakwa Edi mengungkap adanya pemberian uang ke Wisnu Sakti Buana, yang kala itu menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya.
"Oleh karenanya, kami memohon agar, terdakwa dibebaskan dari semua dakwaan, atau melepaskan terdakwa dari tuntutan jaksa dan mengembalikan nama baik terdakwa, dalam kemampuan,harkat dan martabat. Serta membebankan biaya perkara kepada Negara.
Atas pledoi tersebut, Jaksa Ahmad Jaya tidak mengajukan tanggapan atau replik secara tertulis. "Kami tetap pada tuntutan,"ujar Jaksa Ahmad Jaya.
Dengan demikian, kasus ini akan memasuki babak akhir, majelis hakim yang diketuai Bambang Eriwanto akan membacakan putusan kasus ini pada persidangan yang sedianya akan digelar Senin (23/11) mendatang.
Seperti diberitakan sebelumnya, terdakwa dituntut bersalah melanggar pasal 372 KUHP tentang penggelapan dan pasal 378 tentang penggelapan, serta menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama 18 bulan penjara.
Perkara ini bermula dari adanya kerjasama pengurusan surat tanah antara Djaimun Waluyo dan terdakwa. Saat itu, terdakwa sanggup ngurus dengan biaya sebesar Rp 50 juta.
Kesepakatan itu akhirnya dibayar dengan Bilyet Giro (BG) Bank BCA Nomor 260506 dan dicairkan pada 4 Agustus 2013 ke rekening terdakwa.
Hingga berjalan tiga tahun lamanya, surat-surat tersebut tak kunjung usai. Meski telah dua kali disomasi oleh saksi pelapor, Namun terdakwa tidak mau menyelesaikan masalah ini hingga kasus ini dilaporkan ke Polrestabes Surabaya pada Juli 2015 lalu.(Komang)