KABARPROGRESIF.COM : (Surabaya) Kepala Rumah Tahanan Kelas 1 Surabaya di Medaeng Sidoarjo, (Karutan), Bambang Irawan membantah menolak penetapan penahanan hakim terkait penahanan Eunike Lenny Silas, terdakwa kasus penipuan dan penggelapan batubara senilai Rp 3,2 miliar.
Diakui Bambang, surat penolakan penahanan bernomor W15.PAS.PAS.25.PK.01.01.01-503 yang dibuat dan ditandatangani oleh Kasubsi Administrasi dan Pembinaan, Moch Mukaffi terdapat kekeliruan penulisan.
"Maklum, Dia (Moch Mukaffi) masih muda, kurang pengalaman, kami tidak menolak perintah hakim, tapi hanya mengundur penahanannya, karena menurut diagnosa dokter Rutan, terdakwa mengalami sakit kanker payudara ganas,"terangnya saat dikonfirmasi di Rutan Medaeng, Rabu (20/4).
Akibat penolakan tersebut, jaksa akhirnya membawa terdakwa ke Rumah Sakit Onkologi Surabaya untuk melakukan cek up apakah memang benar terdakwa mengalami sakit Kanker.
Namun, setelah dibawa ke rumah sakit Onkologi, hasilnya bukan Kanker melainkan hanya pusing akibat stres dan keseleo pada kakinya akibat jatuh.
Tapi apa yang terjadi, terdakwa tidak dikembalikan ke Rutan, tapi dilepas oleh jaksa lantaran ada penolakan penahanan.
"Kami belum dapat analisa dokternya, kalau masalah dilepas oleh jaksa, saya juga tidak tau, karena dokter Arifin juga belum melapor,"pungkasnya.
Setali tiga uang, Kepala Kanwil Kemenkumham Jatim, Budi Sulaksono juga tidak mengetahui jika terdakwa Eunike Lenny Silas lepas. Budi malah menuding jaksa yang salah, tidak mengembalikan terdakwa ke Rutan Medaeng.
"Kalau memang hasilnya tidak ada penyakit, kenapa tidak dikembalikan ke Rutan, tanyakan saja sama jaksa kenapa kok dilepas,"terang Budi saat meninjau lahan pembangunan tahanan wanita Rutan Medaeng.
Diakui Budi, sejatinya dia tidak memahami betul peristiwa ini, dia hanya mendapatkan laporan alasan ditolaknya penetapan penahanan terdakwa. "Ini juga akan kita cek, tadi saya minta ke Pak Karutan untuk manggil dokter Rutan yang memeriksa awal, tapi dia masuk sore, tetap akan kita cek dasar penolakan nya,"katanya.
Diterangkan Budi, pihaknya tetap membuka pintu penetapan hakim atas penahanan terdakwa. "Kalau dibawa ke Rutan, ya kita terima, tapi kami juga akan melakukan pembanding kesehatannya lagi ke rumah sakit lain,"pungkasnya.
Terpisah, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Surabaya, Didik Farkhan Alisyahdi mengaku pasrah saat dikonfirmasi permasalahan ini.
Didik mengaku telah berupaya melaksanakan penetapan hakim tapi berhubung ditolak pihak Rutan, mau tidak mau terdakwa dilepas, meski pihaknya telah mengetahui hasil pemeriksaan dokter Rumah Sakit Onkologi Surabaya menyatakan terdakwa tidak memiliki penyakit kanker melainkan hanya stress dan keseleo kaki kanannya.
"Penetapan hakim sudah kita laksanakan, kerumah sakit juga sudah tapi kalau pihak Rutan menolak gimana, kita juga gak punya tahanan,"dalihnya.
Kendati demikian Didik memastikan, terdakwa Eunika tidak bakal bisa berpergian ke luar negeri. "Karena dari awal terdakwa sudah dicekal,"ujarnya.
Terpisah, Efran Basuning selaku ketua majelis hakim yang memeriksa perkara ini terlihat geram. Bahkan Efran menuding, Pihak Rutan dan Kejaksaan telah melakukan pembangkangan terhadap Pengadilan.
"Jelas ini pembangkanhan terhadap pengadilan, apa hak dan kewenangan mereka melepas terdakwa."ucap Efran saat dikonfirmasi di PN Surabaya.
Saat ditanya siapa yang harus bertanggung jawab, jika terdakwa nantinya tidak hadir dipersidangan lantaran dilepas, Efran mengaku semua pihak yang ikut andil dalam melepas terdakwa akan terancam sanksi hukum. "Mereka tidak diajari, apa arti sebuah penetapan, kalau diabaikan maka sanksi hukum bisa dilakukan,"sambung Efran.
Seperti diketahui, penetapan penahanan terdakwa Eunike dibacakan pada persidangan perdananya diruang candra PN Surabaya, Selasa (19/4).
Selain Eunike, Efran Basuning selaku ketua majelis hakim juga menahan terdakwa lainnya, yakni Usman Wibisono
Perkara penipuan dan penggelapan ini dilaporkan saksi korban yakni Pauline Tan ke Polda Jatim pada 2013 lalu. Saat itu kedua terdakwa meminjam batubara pada korban sebanyak 11 ribu ton metrik senilai 3,2 miliar, dengan perjanjian akan dikembalikan 1 minggu.
Namun setelah ditagih, kedua terdakwa berkelit dan mengaku batubara nya masih utuh dan disimpan digudang.
Ketika dicek ke tempat penyimpanan batu bara tersebut juga sudah tidak ada dan ternyata sudah terjual. Batu bara itu dijual oleh pemilik izin pertambangan, H Abidin, atas perintah kedua terdakwa.
Setelah didesak korban, kedua terdakwa bersedia membayar dengan uang sebesar Rp 3,2 miliar melaui giro, tapi ternyata giro tersebut kosong.
Atas perbuatannya, kedua terdakwa didakwa melanggar pasal 372 juncto pasal 55 tentang Penggelapan dan melanggar pasal 378 KUHP juncto pasal 55 KUHP tentang Penipuan. (Komang)