KABARPROGRESIF.COM : (Surabaya) Ketua DPN Peradi, H Fauzi Hasibuan akhirnya dihadirkan sebagai ahli pada persidangan perkara dugaan pemalsuan pemalsuan surat dan fitnah yang menjerat dua Advokat anggota Peradi Sidoarjo, Sutarjo dan Sudarmono sebagai pesakitan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Dihadapan majelis hakim yang diketuai Jihad Arkhaudin pada persidangan diruang candra, Selasa (21/6/2016), Fauzi membeberkan secara rinci aturan perundang-undangan seorang advokat ketika menjalankan profesinya.
Menurut Fauzi, ketika menjalankan profesinya, Advokat Sutarjo dan Sudarmono tidak bisa disejajarkan dengan klienya, sehingga segala bentuk pertanggungjawaban isi dari surat kuasa klien tidak bisa dimintakan pertanggung jawabkan kepada Sutarjo dan Sudarmono.
"Oleh karenanya, dalam menjalankan profesinya, advokat tidak bisa digugat perdata maupun pidana, mengacu kepada Undang-Undang Advokat Nomor 16 tentang Hak Imunitas,"terang Fauzi.
"Hak Imunitas tersebut merupakan hak seorang advokat dalam menyimpan sebuah rahasia kliennya,"sambung Fauzi.
Menurut Fauzi, Undang-Undang Advokat tersebut dibentuk dengan tujuan untuk memperkokoh fungsi penegakan hukum pada sisitimnya.
"Tugas dan wewenang seorang Advokat sama dengan penegak hukum lainnya, seperti jaksa dan hakim. Sehingga setiap adanya dugaan pelanggaran etika profesi harus terlebih dahulu diserahkan ke organisasi Advokat untuk dibuktikan, bukan berakhir dengan sebuah pemidanaan,"terang Fauzi.
Sementara saat ditanya oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rahmat Hary Basuki terkait tindakan seorang advokat yang tertangkap tangan dalam melakukan gratifikasi, apakah perlu dibuktikan dulu perbuatannya ke organisasi advokat atau langsung bisa dipidana, langsung disangkal oleh Fauzi.
Pertanyaan tersebut dianggap tidak ada korelasi hukum dengan perkara yang menjerat Sutarjo dan Sudarmono. "Itu beda pengartian dan korelasinya, jangan disamakan dengan perkara yang anda tanyakan,"jawab Fauzi menjawab pertanyaan jaksa Rahmat Hary Basuki.
Diakhir persidangan, Jaksa Rahmat Hary Basuki mempertanyakan sikap hakim Jihad Arkhaudin yang tidak memperpanjang penahanan kedua terdakwa, yang akan berakhir pada 26 Juni 2016 mendatang.
"Ini penting saya tanyakan, karena ketika tidak diperpanjang, maka kedua terdakwa bisa lepas demi hukum (LDH), dan itu menyangkut tanggung jawab kami, meski ini kewenangan majelis hakim,"protesnya.
Kendati demikian, aksi ptotes itu disambut dingin Hakim Jihad Arkhaudin. Menurutnya Jihad, keputusan tidak memperpanjang penahanan tersebut sudah keputusan majelis hakim,"itu sudah kami pertimbangkan, dan terdakwa tetap harus kooperatif untuk menghadiri persidangan,"ujar Hakim Jihad.
Menyikapi hal tersebut, Hendry Rusdianto selaku salah seorang tim penasehat hukum Sutarjo dan Sudarmono menilai ada sedikit ketidak yakinan hakim untuk menyatakan kliennya bersalah.
"Polisi dan Jaksa boleh saja menyajikan sebuah BAP, tapi itu masih mentah, mungkin majelis hakim sudah menemukan fakta yang benar dalam persidangan, sehingga itu barangkali menjadi alasan tidak diperpanjangnya penahanan klien kami,"terang Hendry saat dikonfirmasi usai persidangan.
Sementara, Ben Hadjon, Penasehat hukum Sutarjo dan Sudarmono lainnya menganggap keterangan Ketua DPN Peradi, Fauzi Hasibuan patut menjadi pertimbangan putusan hakim untuk mengakhiri dugaan kriminilisasi atas nasib kedua rekan sejawatnya.
"Semoga saja ini menjadi pintu gerbang kebebasan Sutarjo dan Sudarmono serta kebebasan untuk semua Advokat dalam menjalankan profesinya, jangan ada lagi ada advokat yang menjadi korban kriminalisasi di negeri ini,"ujarnya saat dikonfirmasi usai persidangan.
Senada dengan Hendry Rusdianto dan Ben Hadjon, Anandyo Susetyo, tim penasehat hukum lainnya, menilai adanya kejanggalan dalam pemidanaan Sutarjo dan Sudarmono, Hal itu dibuktikan dari kesaksian yang terungkap dalam persidangan.
"Sejak awal kita sudah membaca adanya dugaan kriminalisasi, tapi apa yang terungkap dipersidangan menunjukkan bahwa keadilan tidak tidur dan semuanya sudah terungkap,"terang Anandyo.
Perlu diketahui, Pidana yang menjerat dua advokat tersebut bermula dari laporan Notaris Mashudi, yang tak terima karena dilaporkan kedua terdakwa ke Majelis Pengawas Daerah Notaris (MPDN) Gresik atas dugaan pelanggaran kode etik notaris terkait jual beli tanah.
Kendati perkara pelanggaran kode etik nya belum ada tanggapan dari MPDN Gresik, Pada persidangan sebelumnya Notaris Mashudi mengaku penghasilannya merosot tajam pasca laporan tersebut.
Diduga untuk membalas perbuatan kedua terdakwa, Notaris Mashudi malah melaporkan kedua Advokat itu ke Polisi bukan ke organisasi Advokat kedua terdakwa.
Akibatnya, laporan pidana itu akhirnya bergulir hingga ke meja hijau. Oleh jaksa, kedua Advokat anggota Peradi Sidoarjo ini didakwa melanggar pasal 263 juncto pasal 55 KUHP tentang pemalsuan pasal 311 KUHP dan 317 KUHP tentang Fitnah. (Komang)