KABARPROGRESIF.COM : (Surabaya) Praktisi Pertanahan, Nonot Suryono mengakui, bahwa sengketa tanah ganjaran berlangsung lama. Kasus tanah ganjaran berlangsung sejak tahun 1990-an hingga saat ini.
Mantan Anggota Reforma Agraria Nasional ini mengaku, dirinya mengetahui persoalan yang terjadi di beberapa Surabaya, diantaranya di Kedurus, Wiyung, hingga Lidah, karena pernah terlibat dalam proses advokasi.
“Semua tanah ganjaran di jajar tungal, Babatan, Lidah habis. Ini tanggung jawabnya pemerintah daerah,” tuturnya.
Menurutnya, tanah ganjaran yang dipergunakan swasta berdasarkan tukar guling atau ruislag. Namun, Nonot menegaskan, proses tukar guling berupa hak pengelolaan atau hak guna bangunan, dan tidak ada hak milik. Proses pelepasan tanah ganjaran semestinya sepengetahuan eksekutif dan legislative.
“Pelepasan hak berdasarkan kesepakatan rembug masyarakat, dilegitimasi Walikota dan DPRD, dikembalikan ke negara dan didistribusikan tanah itu oleh BPN dengan dasar UU Redistribusi Tanah,” kata Nonot.
Nonot menilai proses pelepasan tanah BTKD di kedurus seluas 16,4 hektar sarat dengan dugaan korupsi, penggelapan, penipuan dan pemalsuan surat. Menurutnya, dalam kasus tersebut bisa disebut Concursus Realis, yakni melanggar beberapa norma pidana.
“Terkooptasinya tanah ganjaran, sehingga hak masyarakat hilang,” tegasnya.
Ia menerangkan, untuk menuntaskan masalah tersebut memang agak rumit, karena sudah terkooptasi dengan pihak developer atau pengembang. Di sisi lain, di lokasi tersebut saat ini juga sudah menjadi hunian masyarakat. Untuk itu, kepentingan penghuni atau masyarakat juga harus dipertimbangkan.
“Mestinya dikompensasi dalam bentul nominal, kalau tidak penghuni yang telanjur beli rumah disitu kan susah,” katanya.
Berdasarkan riwayatnya, tanah BTKD seluas 16,4 hektar yang dipersoalkan LSM AMAK dalam proses pelepasannya saat ini dikuasai oleh tiga orang, masing-masing atas nama SA, A dan J. Tanah tersebut saat ini yang sebagian dimiliki PT AG masih berupa sawah produktif.
Seperti diberitakan sebelumnya hilangnya aset Pemerintah Kota (Pemkot)
Surabaya yang berasal dari tanah bondo deso atau bekas tanah kas desa
(BTKD) di kedurus, kecamatan karang pilang surabaya tak hanya berupa
waduk seluas 76.000 M2 namun juga tanah seluas 16.4 hektare.
Usut
punya usut, disinyalir hilangnya aset berupa Bekas Tanah Kas Desa
(BTKD) itu adanya kerakusan dari segelintir oknum yang ingin menguasai.
Caranya dengan merekayasa tanda tangan.
Aksi nekat yang diduga
dilakukan oleh Lembaga Ketahanan Masyarakat Kota (LKMK) setempat itu
dikarenakan adanya iming-iming yang cukup menggiurkan dari sebuah
perusahaan swasta yakni PT AP.
Tak hanya oknum LKMK serta PT AP
yang terlibat memuluskan mencaplok BTKD itu, disinyalir juga adanya
kerja sama dengan pihak Rukun Warga (RW) setempat serta warga yang
mengatasnamakan sebagai tokoh masyarakat setempat.
Kuatnya dugaan
ini sebab, saat pengukuran BTKD itu, yang dilakukan oleh Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Surabaya, tepatnya pada tanggal 29 Desember
2015 tersebut tak berlandaskan hukum alias cacat hukum.
Samsul Hidayat selaku koordinator petugas ukur BPN Surabaya
membantah keras bila prosedur kepemilikan tanah yang disengketakan itu
tidak sesuai aturan. Menurutnya langkah yang dilakukannya itu sesuai
dengan prosedur yakni dengan berdasar adanya bukti surat pernyataan
persetujuan pengukuran tanah yang dibuat oleh Ketua LKMK Kedurus,
Sutiyoso dan didukung 7 orang, ditambah lagi dengan Ketua RW 01 hingga
RW 09 diantaranya Totok, Adi Effendi, M.Rifai, Prapto, Sumarsono,
Thamrin dan Hary Suhargo serta tiga tokoh masyarakat antara lain, Landry
Soebyantoro, Surya dan Rahmad.
”Justru surat itu dibuat
dihadapan warga, setelah mendapat persetujuan dari yang bertanda tangan
tersebut diatas, lalu BPN melakukan pengukuran silahkan saudara
konfirmasi dengan mereka yang bertanda tangan di atas, insyaallah BPN
akan kooperatif dengan Ombusmen,” tantangnya.
Namun keterangan
Samsul Hidayat ini bertolak belakang dengan pernyataan Suryono yang
mengklaim selaku tokoh masyarakat Kedurus. Kata Suryono tiga nama yang
tercantum sebagai tokoh masyarakat dalam surat tersebut hanyalah
'abal-abal' alias palsu.
”Tiga orang tersebut bukanlah tokoh
masyarakat, mereka adalah, anggota LKMK yang menjabat sekertaris, wakil
dan anggota, itu hanyalah rekayasa Sutiyoso untuk menguasai tanah BTKD
tersebut agar menjadi milik PT Agra,”tegasnya.
Suryono
menjelaskan, sejak tahun 1999 silam, dirinya bersama 6 orang tokoh
masyarakat diantaranya, Suyud, Kasimo, Suwoto, Rohmadi dan Syamsi selalu
mempertahankan mati-matian tanah BTKD itu hingga ke BPN Pusat, DPR RI,
sampai ke Mahkamah Agung.
“Seharusnya tanah yang diukur kemarin
itu milik PT Agra Paripurna, bukan tanah BTKD karena, sesuai dengan
surat pemberitahuan pengukuran batas tanah dari BPN,
Nomor:3983/200-35.78/XII/2015, yang mejelaskan bukan tanah BTKD, kita
masih berpegang pada surat rekomendasi dari Pansus DPRD Tahun 2002, yang
menyatakan bahwa, pelepasan aset tanah BTKD tersebut, cacat hukum dan
penuh rekayasa,” tandasnya. (arf)