KABARPROGRESIF.COM : (Depok) Gairah bela negara antikomunisme terpancar dari limaribu lebih massa dari pelbagai kalangan sosial di lapangan Brigif Para Raider-17 Divif-Kostrad. Kodim 0508 Kota Depok dan Mabrigif Para Raider-17 gelar nonton bareng (nobar) film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI (PPG30S/PKI).
Massa dari TNI, ASN, pramuka, pelajar, ormas, orpem, berkumpul antusias menyimak film epik-sejarah garapan sutradara idealis Arifin C Noer ini, Kamis (28/9).
Pantauan Kontributor Elshinta Hendrik Isnaini Raseukiy, istimewanya, hadir pula Rianto Nurhadi (61) putra ketiga Pahlawan Revolusi Anumerta Letjen Mas Tirtodarmo Haryono (41). Rianto di sesi bincang beri kesaksian tentang hari kelam nan nestapa tatkala ayahnya diculik dan dibunuh tembak pasukan Tjakrabirawa pengawal Presiden Soekarno, Jumat, 1 Oktober 1965.
“Pemutaran kembali film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S/PKI ini bertujuan mengingatkan kembali masyarakat tentang sejarah kelam kekejaman pemberontakan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh PKI di masa lampau,” ujar Dandim 0508 Kota Depok Letkol Inf Slamet Supriyanto.
Komunisme ialah ajaran yang terlarang di NKRI dan bertentangan dengan ideologi Pancasila. Letkol Inf Slamet Supriyanto sebut, kegiatan nobar semacam ini, tidak hanya di lapangan Brigif Para Raider - 17 Divif-Kostrad ini saja, namun dilaksanakan serentak di seluruh wilayah Indonesia.
"Sesuai dengan instruksi langsung dari Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo," sebut Supriyanto.
Tampak hadir Panglima Devisi Infanteri 1 Kostrad Mayjen Ainur Rahman, Wali Kota Depok Muhammad Idris, beberapa pejabat jajaran Pemkot Depok, dan perwira Kostrad.
Rianto Nurhadi, berusia 9 tahun sewaktu tragedi itu, anak ketiga dari lima anak MT Haryono ini berkisah, hari Kamis (30/9/1965), rutinitas di rumah kediaman MT Haryono di Jalan Prambanan No.8 berjalan normal.
"Setelah makan malam bersama keluarga, Bapak pergi untuk menghadiri suatu rapat penting. Kami tak sadar kapan Bapak pulang karena kami sudah tertidur. Dini hari, tanggal 1 Oktober kami semua terbangun karena ada suara keras, bentakan orang tak dikenal di rumah kami. Kemudian terdengar rentetan tembakan di kamar orangtua yang berselahan dengan kamar kami. Terdengar suara ayah bilang ke ibu, anak-anak disuruh bersembunyi karena berbahaya," tutur Rianto.
MT Haryono tidak bisa melakukan perlawan senjata, lantaran tidak pernah membawa senjata api ke rumah.
"Ayah tidak punya senjata api dan pengawal. Bapak mengajarkan kesederhanaan kepada kami. Bapak tidak ingin ada senjata api di rumah kami. 'Berbahaya,' katanya. Pintu kamar orangtua kami ditempak penculik sampai hancur. Mendengar suara tembakan, saya menuju kamar Bapak. Dari pintu yang sudah terbuka, gerobolan prajurit Tjakrabirawa itu kasar membentak Bapak. Di dalam rumah banyak prajurit Tjakrabirawa. Bapak sempat merebut senjata Thomson dari tangan seorang prajurit, yang jadi komandan penculikan. Tapi Bapak ditembaki dengan senjata api Thomson oleh prajurit lain dari belakang," ujarnya.
Ketika MT Haryono berpangkat mayor jenderal adalah pejabat militer di Staf Umum Angkatan Darat (SUAD). Pati yang menguasai tiga bahasa Belanda, Inggris, Jerman ini adalah prajurit diplomatik, sempat berkarir Sekretaris Delegasi Militer di Konferesi Meja Bundar Indonesia- Belanda dan Atase Militer Kedubes Indonesia di Belanda (1950).
"Ayah saya itu diseret di tanah dengan menarik kaki ayah sampai ke truk lalu kemudian ayah saya dilempar seperti melempar sekarung beras. Jadi itu, betul-betul saya melihat dengan mata sendiri. Suatu perbuatan yang sangat keji. Begitu banyak selongsong peluru Thomson. Darah bercecer berjejak di lantai. Kemudian ibu saya pergi ke rumah Pak Jendral Ahmad Yani untuk melaporkan, ternyata Beliau juga mengalami hal yang sama," imbuh Rianto Nurhadi.
Seusai nobar film PPG30S/PKI Wali Kota Depok, tekankan bangsa Indonesia jangan sampai punya sejarah kelam pemberontakan komunis.
"Ya, pada masa reformasi ini untuk mengingatkan kepada anak bangsa bahwa kita dahulu punya sejarah kelam. Sekarang ini jangan sampai kita terperosok dalam satu lobang dua kali dari pengkhianatan terhadap bangsa dan juga terhadap ideologi Pancasila yang sudah menjadi komitmen bangsa dan negara ini. (film ini) cara agar anak-anak kita tidak terputus dari mata rantai sejarah ini sehingga, mereka bisa pelajaran yang sebuah pelajaran yang sangat berarti," ujar Idris.
Mengenai pernyataan Presiden Jokowi bahwa film sejarah pemberontan PKI perlu di remake dan reproduki sesuai dengan era milenia, sebut Walkot Depok ini, sah saja.
"Sudah banyak pakar-pakar dalam perfilman kita ini. Banyak paka-pakar dalam teknologi film itu sah-sah saja..Nanti dalam kesepakatan bahwa memang perlu direvisi dalam hal-hal apa saja itu sah-sah saja dan ini nanti akan kita lihat bagaimana hasilnya," tegasnya. (rio)