KABARPROGRESIF.COM : (Surabaya) Lagi, jeritan rakyat kecil kembali di dengar oleh kalangan legislator yang berkantor di jalan Yos Sudarso Surabaya akibat 'ditindas' dalam mencari nafkah oleh satuan penegak peraturan daerah (Perda) kota Surabaya.
Meski sempat terlunta-lunta dalam mencari keadilan akibat lahan tempat mencari nafkah diobrak-abrik oleh Sat Pol PP Surabaya, namun akhirnya puluhan pedagang botol bekas di jalan Bongkaran Surabaya ini dapat bernafas lega.
Ini lantaran Komisi A memberi lampu hijau agar pedagang botol Bekas di jalan Bongkaran tersebut diperbolehkan tetap berdagang namun dengan catatan agar para pedagang dapat menata dagangannya dengan rapi dan tak mengganggu lalu lintas.
Pemberian 'mandat' memperbolehkan berdagang botol bekas di jalan Bongkaran oleh Komisi A ini awalnya sempat alot bahkan terjadi adu argumentasi antara kalangan dewan dan pedagang dengan Kasatpol PP saat dilakukan hearing di ruang Komisi A, Rabu (6/12/2017).
Kasatpol PP, Irvan Widyanto tetap ngotot bila penertiban yang dilakukannya itu merupakan tugasnya sebagai penegak perda, tak hanya di jalan Bongkaran namun area sekitarjuga dilakukan hal yang sama. Bahkan Irvan juga menantang para pedagang agar dapat membuktikan dasar hukum apa yang memperbolehkan untuk menempati lahan tersebut.
"Penertiban PKL yang dilakukan tidak hanya di Jalan Bongkaran, namun tempat lain juga seperti jalan Karet hingga Semut dan Waspada," tepisnya.
Kengototan Kasatpol PP dengan alasan itu ternyata membuat geram para pedagang yang hadir saat hearing.
Mereka menganggap tindakan Sat Pol PP menertibkan itu seolah ada 'titipan'. Sebab para pedagang botol bekas tak melakukan aktifitasnya di atas saluran namun berada tepat dibelakang tembok pembatas milik ruko yang sengaja dirobohkan oleh satpol PP.
"Kami tak ganggu jalan dan berada di atas saluran. Pelebaran di (jalan) Waspada kenapa ke Waspada," tegas Fauzi perwakilan para pedagang.
Ia mengungkapkan, bahwa keberadaan pedagang di wilayah itu memiliki izin dari pemerintah kota, bahkan membayar retribusi. Namun, pada tahun 1990-an, pedagang tak bisa membayar retribusi karena dipingpong pemerintah kota tanpa alasan yang jelas.
"Dulu tempatnya lebar, tapi terus dikurangi lebarnya, satu meter, setengah meter. Jadi semakin sempit," paparnya
Bahkan, menurutnya pada tahun 2012, saat ada penertiban, sudah ada kesepakatan di Komisi C, kalau ditertibkan disediakan lahan untuk relokasi.
Serangan terhadap Kasat Pol PP, Irvan Widyanto juga dilakukan Wakil Ketua Komisi A, Adi Sutarwijono. Menurutnya apa yang dilakukan aparat penegak perda ini tak berperikemanusiaan.
Para pedagang botol bekas tersebut kata Adi telah dilakukan sejak lama sebagai mata pencaharian apalagi para pedagang tersebut juga merupakan warga Surabaya.
"Ini urusan perut, apalagi mereka warga surabaya," tegasnya.
Pria yang akrab disapa Awi ini memahami kegiatan penertiban Satpol PP terhadap pedagang botol bekas bertujuan untuk normalisasi saluran air dan kelancaran arus lalu lintas. Tetapi, jika para pedagang yang ditertibkan tak disediakan lahan lain akan tetap menimbulkan masalah lain.
"Tugas DPRD menjembatani aspirasi warga, apabila tak dihiraukan akan banyak masalah antara aparatur dengan masyarakat," tegas Politisi PDIP.
Tak hanya Adi, anggota Komisi A lainnya juga menyayangkan langkah Kasat Pol PP yang dianggap ceroboh dalam menentukan sikap,
Budi Leksono menganggap keberadaan pedagang botol bekas di kawasan tersebut sudah tiga generasi. Untuk itu, area tersebut menjadi ikon perdagangan botol dan drum bekas di Surabaya. Dengan kondisi itu, ia meminta pemerintah kota memberi ruang para pedagang menjual barang dagangannya.
"Saya harap ada solusinya, dengan memberi mereka space. Saya yakin gak mengganggu lalu lintas karena sudah bertahun tahun di situ," tandasnya.
Mendapat serangan dari beberapa anggota dewan dan pedagang, ternyata tak membuat ampun Kasatpol PP, Irvan Widyanto.
Mantan Camat Rungkut ini masih menutupi kesalahannya dengan cara berkelit meski pada akhirnya ngaploatas tindakannya dianggap salah.
Ia kini malah menyalahkan Dinas PU, Pematusan dan Bina Marga yang memberi rekomendasi penertiban.
"Saya tak berwenang memutuskan boleh tidaknya. Tapi apa yang kami lakukan untuk kepentingan umum," dalihnya. (arf)