KABARPROGRESIF.COM : (Surabaya) Ditengah berkas perkaranya dilimpahkan ke Kejari Surabaya oleh penyidik PPA Polrestabes Surabaya, Zunaidi Abdillah, Perawan National Hospital yang juga tersangka kasus dugaan pelecehan seksual terhadap pasien National Hospital justru membuat gebrakan baru.
Zunaidi Abdillah melayangkan gugatan Praperadilan ke Pengadilan Surabaya melalui kuasa hukumnya, M Sholeh.
Dalam gugatan yang akan didaftarkan hari ini, Selasa (6/3/2018) menyatakan jika hasil penyidikan yang dilakukan pihak Polrestabes Surabaya terhadap Zunaidi tidak sah.
Dalam gugatan praperadilan diuraikan kronologi kasus ini versi pemohon, bahwa pada 23 Januari 2018 sekitar jam 11.30-12.00 Wib setelah operasi penyakit pasien Widyanti, pemohon dituduh telah melakukan tindakan asusila terhadap pasien dengan memegang payudara pasien. Pemohon juga dituding telah meremas -remas payudara pasien itu.
"Bahwa, kejadian tuduhan tindakan asusila yang dilakukan pemohon terjadi pada 23 Januari 2018 antara jam 11.30-12.00Wib terhadap korban Wydyanti. Sementara Pemohon menemui korban yang diantar oleh bu Dyah dan bu Amalia terjadi pada 24 Januari 2018 jam 12.00 Wib. Artinya ada durasi waktu 24 jam setelah kejadian. Pertanyaannya, apakah logis, orang mendapatkan tindakan pelecehan payudaranya diremas-remas, puting dibuat mainan. Dia diam saja, baru setelah 24 jam dipermasalahkan?," ujar Soleh di PN Surabaya, Selasa (6/3/2018).
Soleh menambahkan, satu jam pasca operasi Pemohon mengajak korban komunikasi. Pemohon bilang "bu pindah ruangan ya", pasien menjawab "ya" dan tidur lagi. Artinya tidak benar jika korban tidak berdaya, saat itu kondisi korban sudah bisa berkomunikasi.
"Tentu jika Penohon meremas-remas payudara korban tentu korban bisa protes, ini sebuah kejanggalan," tambahnya.
Selain itu lanjut Sholeh, Polrestabes Surabaya selaku termohon tidak pernah memeriksa Majelis Kode Etik Keperawatan Indonesia Jawa Timur yang menyidangkan dugaan pelanggaran Kode Etik yang dalam keputusannya menyatakan Pemohon tidak melanggar Kode Etik Keperawatan Indonesia tertanggal 3 Pebruari 2018.
Menurut Sholeh, kasus a quo bukanlah kasus pembunuhan yang penyidik harus bergerak cepat menangkap pelaku. Kasus ini juga bukan perkosaan atas nama kemanusiaan penyidik harus segera menangkap pelaku. Tapi kasus ini hanya tindakan asusila, dimana dilihat dari pengakuan korban sebenarnya bukan kasus besar dan bukan kasus predator anak anak.
Seharusnya Termohon harus hati-hati dan secara seksama semua prosedur harus dilalui. Tapi yang dilakukan oleh Termohon seperti dikejar tayang. Pada 25 Januari 2018 dilaporkan, tanggal itu juga Termohon mengeluarkan sprindik, kemudian 26 Januari 2018 Pemohon langsung ditetapkan menjadi Tersangka. Ttanggal itu juga Pemohon ditangkap dan ditetapkan menjadi Tersangka.
"Pertanyaannya, kapan Termohon memeriksa saksi-saksi, kapan Termohon melakukan visum et repertum, kapan Termohon memeriksa ahli, kapan Termohon melakukan gelar perkara. Sepertinya antara 25-26 Januari 2018 Termohon tidak ada kasus lain yang disidik, sehingga semua energi harus dikerahkan untuk menyelesaikan perkara Pemohon. Andaikata semua perkara yang ditangani Termohon diselesaikan seperti kasus yang dialami oleh Pemohon, tentu Termohon menjadi aparat penegak hukum yang terbaik didunia," terangnya.
Sholeh menyatakan jika termohon tidak melakukan proses penyelidikan, tapi langsung ke tahap penyidikan, hal ini melanggar Pasal 4 huruf c Peraturan Kapolri No 14 tahun 2012 tentang Managemen Penyidikan Tindak Pidana.
Tidak memeriksa Pemohon sebagai calon Tersangka melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi no 21-PUU-XII-2014 halaman 98 alinea ke dua tertanggal 16 Maret 2015.
Perolehan Rekaman video permintaan maaf Pemohon melanggar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 tertanggal 7 September 2016 halaman 96.
Tidak memberikan kesempatan menghadirkan saksi dan ahli untuk kepentingan Pemohon melanggar Pasal 65 UU No 8 tahun 1981 tentang KUHAP
Tidak adanya 2 alat bukti dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka melanggar Pasal 184 Undang-Undang No 8 tahun 1981.
"Untuk itu kami memohon agar majelis hakim menerima dan mengabulkan Permohonan Praperadilan Pemohon untuk seluruhnya, menyatakan Penetapan Tersangka atas diri Pemohon yang dituangkan dalam Surat Ketetapan Nomor; S-Tap/90/I/2018 SATRESKRIM kepolisian Resort kota Besar Surabaya tertanggal 26 Januari 2018 adalah Tidak Sah dan tidak berdasar hukum,"pungkasnya
Seperti diketahui, Kejadian ini berawal saat video dugaan pelecehan seksual yang dilakukan tersangka Zunaidi Abdillah seorang perawat laki-laki di National Hospital Surabaya, Jawa Timur tersebar melalui media sosial hingga WhatsApp group.
Awalnya, video terkait pelecehan tersebut diunggah di akun Instagram milik korban. Video menampilkan korban yang berada di atas ranjang dengan tangan masih diinfus.
Dalam video tersebut, perempuan tersebut tampak menangis dan mengaku payudaranya diremas oleh
tersangka Zunaidi Abdillah saat bertugas menjaganya di National Hospital. "Kamu ngaku dulu, kamu remas payudara saya kan? Dua atau tiga kali?" ujar pasien wanita tersebut kepada perawat laki-laki itu.
Video kedua masih dengan latar yang sama. Di video ini terlihat pasien perempuan itu menangis. "Psikis saya, saya enggak bisa tidur, enggak bisa makan. Saya nangis," ujarnya.
Tak lama kemudian, suami korban yakni Yudi Sukinto Wibowo melaporkan kasus ini ke Polrestabes Surabaya dan akhirnya menetapkan
Zunaidi Abdillah sebagai tersangka.
Mantan perawat ini sempat menjadi buron, lalu Zunaidi Abdillah berhasil ditangkap anggota Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polrestabes Surabaya, di sebuah hotel di Surabaya. (Komang/Arf)