KABARPROGRESIF.COM: (Jakarta) Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang sengketa hasil Pilkada Surabaya pada Selasa (2/2).
Dalam sidang tersebut, pihak calon Wali Kota Surabaya Machfud Arifin-Mujiaman melaporkan dugaan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang dilakukan pasangan calon Eri Cahyadi-Armuji.
Menanggapi laporan tersebut kuasa hukum paslon Eri Cahyadi-Armuji, Arif Budi Santoso memaparkan sejumlah bukti dan dasar hukum yang mematahkan gugatan Machfud Arifin-Mujiaman.
Salah satunya, Machfud-Mujiaman tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam sengketa Pilkada Surabaya.
”Hal ini karena untuk bisa mengajukan permohonan, pemohon (Machfud-Mujiaman) harus memenuhi syarat permohonan perselisihan hasil pemilihan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 158 ayat (2) huruf d UU 10/2016,” ujar Arif, Selasa (2/2).
Sesuai UU 10/2016, lanjut Arif, ambang batas selisih suara yang bisa diajukan gugatan adalah maksimal 0,5 persen. Angka itu berlaku untuk daerah dengan populasi di atas 1 juta jiwa seperti Surabaya.
Sesuai rekapitulasi KPU, Eri-Armuji meraup 597.540 suara sedangkan Machfud-Mujiaman 451.794 suara, dengan total 1.049.334 suara sah.
Sesuai UU 10/2016 dan Peraturan MK 6/2020, selisih 0,5 persen dengan total suara sah 1.049.334 suara adalah 5.246 suara.
Dengan demikian, lanjut Arif, permohonan hanya sah diajukan apabila selisih di antara dua paslon tidak melebihi 5.246 suara.
”Faktanya, selisih suara sebanyak 145.746 suara atau 13,88 persen, jauh di atas syarat minimal 5.246 suara atau 0,5 persen. Selisih suara yang bisa disengketakan menurut hukum dengan fakta selisih suara hasil pilkada hampir 28 kali lipat,” urai Arif.
Arif menegaskan, berdasar data tersebut, paslon Machfud-Mujiaman tidak memenuhi ketentuan melapor.
”Artinya, Machfud-Mujiaman tidak memiliki legal standing karena selisih suara mereka melebihi ambang batas,” ucap Arif.
Dia menambahkan, atas data tersebut, harusnya MK tidak menerima tuntutan yang diajukan.
”Dan karenanya cukup alasan hukum bagi MK untuk menyatakan permohonan Machfud-Mujiaman tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard),” jelas Arif.
Menurut dia, pemberlakuan ambang batas selisih perolehan suara sesuai UU 10/2016 telah dilakukan secara konsisten oleh Mahkamah Konstitusi dengan pertimbangan-pertimbangan hukum yang telah mapan.
”MK selalu konsisten dalam penerapan ambang batas. Pertimbangan hukumnya mapan dan kuat, sebagaimana tertuang pada yurisprudensi banyak putusan MK terkait sengketa pilkada di berbagai daerah,” ujar Arif.