KABARPROGRESIF.COM: (Jakarta) Kejaksaan Agung RI memeriksa seorang sebagai saksi yang terkait dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) pada pengelolaan keuangan dan dana investasi di BPJS Ketenagakerjaan.
Kapuspenkum Kejagung RI Leonard Eben Ezer menyatakan saksi yang diperiksa merupakan seorang direktur di bidang pasar modal.
"Saksi yang diperiksa yaitu KBW selaku Deputi Direktur Bidang Pasar Modal BPJS Ketenagakerjaan," kata Leonard dalam keterangannya, Senin (26/4/2021).
Menurut Leonard, pemeriksaan saksi untuk mendalami perkara korupsi yang membelit perusahaan asuransi plat merah tersebut.
"Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri guna menemukan fakta hukum tentang tindak pidana korupsi yang terjadi pada BPJS Ketenagakerjaan," pungkasnya.
Sebagai informasi, Kejaksaan Agung RI sebelumnya menduga adanya tindak pidana korupsi yang terjadi dalam tubuh PT BPJS Ketenagakerjaan berkaitan dengan pengelolaan keuangan dan dana investasi.
Hasilnya, kasus tersebut ditingkatkan menjadi penyidikan pada Januari 2021.
Kasus tersebut ditangani oleh penyidik pada Jampidsus berdasarkan surat perintah penyidikan Nomor: Print-02/F.2/Fd.2/01/2021.
Penyidik juga memeriksa sejumlah saksi-saksi untuk mendalami kasus tersebut.
Selain itu, sejumlah dokumen sudah sempat disita dalam penggeledahan kantor pusat BPJS Ketenagakerjaan di wilayah Jakarta, Senin (18/1/2021) lalu.
Sempat Singgung Adanya Kerugian Negara Rp 20 Triliun
Kejaksaan Agung RI memperkirakan kerugian negara dugaan kasus tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp 20 triliun.
Angka itu dibukukan hanya dalam 3 tahun saja.
Demikian disampaikan oleh Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Febrie Adriansyah.
Hal itu sekaligus menjawab kemungkinan kasus BPJS Ketenagakerjaan hanya sebatas risiko bisnis.
"Kalau kerugian bisnis, apakah analisanya ketika di dalam investasi itu selemah itu sampai 3 tahun bisa merugi sampai Rp 20 triliun sekian.
Sekalipun ini masih menurut dari orang keuangan masih potensi," kata Febrie di Kejaksaan Agung RI, Jakarta, Kamis (11/2/2021).
Febrie juga menjawab kemungkinan kasus BPJS Ketenagakerjaan sebagai unrealized loss atau risiko bisnis.
Unrealized loss sendiri biasa digunakan dalam perdagangan di pasar saham.
Artinya, kondisi penurunan nilai aset investasi saham atau reksadana sebagai dampak dari fluktuasi pasar modal yang tidak bersifat statis.
Febrie menyampaikan kasus yang dialami BPJS Ketenagakerjaan hampir tidak mungkin dalam kondisi unrealized loss.
Sebab, kerugian yang diterima perseroan mencapai Rp 20 triliun dalam 3 tahun saja.
"Nah sekarang saya tanya kembali dimana ada perusahaan-perusahaan lain yang bisa unrealized loss (Rp 20 triliun) dalam 3 tahun. Ada nggak seperti itu? saya ingin denger dulu," ungkap dia.
Kendati demikian, pihaknya masih menunggu laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait kerugian negara dalam kasus BPJS Ketenagakerjaan.
"BPK yang menentukan kerugian. Ini nanti kita pastikan kerugiannya ini. Karena perbuatan seseorang ini masuk ke kualifikasi pidana atau seperti yang dibilang tadi kerugian bisnis," tandas dia.