KABARPROGRESIF.COM: (Lingga) Bupati Lingga, Kepulauan Riau, Muhammad Nizar, akhirnya buka suara terkait pemeriksaannya bersama dua mantan Bupati Lingga, Daria dan Alias Wello di Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipidkor) Bareskrim Polri.
Pria yang baru dilantik sebagai orang nomor satu di Kabupaten Lingga, 26 Februari 2021 ini, mengaku diperiksa atas laporan PT. Citra Sugi Aditya (CSA) terkait permasalahan perizinan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Lingga.
“Sebetulnya, masalah ini sudah ada sejak tahun 2010. Tapi, baru dilaporkan ke Bareskrim Polri bulan Mei 2021 lalu. Saya sudah beberkan semua fakta yang sebenarnya. Mudah-mudahan penyidik bisa bijak menyikapinya,” ungkap Nizar, Minggu (26/9).
Dalam pemeriksaannya, jelas Nizar, penyidik lebih fokus pada materi pertanyaan kenapa Bupati tidak segera menerbitkan Surat Keputusan Calon Petani dan Calon Lahan (CPCL) sebagaimana permohonan PT. CSA untuk memenuhi persyaratan pengurusan Hak Guna Usaha (HGU).
“Tentu saya tidak boleh gegabah. Karena saya tahu, penerbitan Izin Usaha Perkebunan (IUP) PT. CSA ini, tidak prosedural dan melanggar undang-undang. Kalau saya menerbitkan SK CPCL atas dasar izin usaha yang terbit melanggar Undang-Undang, berarti sama saja saya ikut bersekongkol melawan hukum,” katanya.
Hal yang sama juga diungkapkan mantan Bupati Lingga Masa Bakti 2016-2021, Alias Wello. Ia mengaku sudah dua kali dimintai keterangan oleh penyidik Bareskrim Polri atas laporan PT. CSA yang mengaku dipersulit investasi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Lingga.
“Waktu saya jadi Bupati, tidak ada investasi yang dipersulit. Malah saya beri kemudahan dan dijamin gratis biaya perizinannya. Yang penting, syaratnya mengikuti prosedur dan aturan perundang-undangan yang berlaku. Bersedia menjaga keseimbangan lingkungan dan menggandeng lembaga ekonomi daerah, serta melibatkan masyarakat setempat,” ujarnya.
Pria yang akrab disapa AWe ini, mengaku sudah dua kali mengajukan permohonan fatwa hukum ke Mahkamah Agung sebagai ikhtiar untuk menyelesaikan persoalan administrasi dan hukum atas penerbitan izin usaha PT. CSA tersebut.
Selain itu, Ia juga pernah menyurati Ombudsman dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
“Sampai hari ini, jawaban dari Mahkamah Agung dan Ombudsman belum ada. Sementara jawaban dari Kementerian LHK mengatakan bahwa lahan PT. CSA termasuk obyek yang dievaluasi sesuai Inpres No. 8 Tahun 2018 terkait moratorium perizinan perkebunan kelapa sawit,” bebernya.
Baik AWe maupun Nizar sepakat pada masa kepemimpinannya mendukung masuknya investasi dalam rangka mendorong percepatan pemulihan ekonomi di daerah yang diharapkan berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
Namun, proses perizinan usahanya tentu harus melalui prosedur perundang-undangan yang berlaku.
Dalam lapirannya ke Bareskrim Polri, PT. CSA mengaku sudah mengantongi IUP Kelapa Sawit berdasarkan Keputusan Bupati Lingga No. 160/ KPTS/ IV/ 2010 seluas 10.759 Hektar di Desa Teluk dan Desa Limbung, Kecamatan Lingga Utara dan Desa Sungai Pinang, Kecamatan Lingga (sekarang Lingga Timur), Kabupaten Lingga.
Namun, penerbitan IUP tersebut, tidak melampirkan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) atau Izin Lingkungan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada Pasal 25 ayat (2) huruf (a) dan ayat (4) UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.
Bahwa, untuk mencegah kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sebelum memperoleh IUP, perusahaan wajib membuat AMDAL atau UKL UPL.
“Ayat 4 itu, bunyinya sangat tegas. Setiap perusahaan perkebunan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditolak permohonan izin usahanya. Jadi, izin usaha yang dimiliki PT. CSA saat ini, seharusnya tidak boleh ada. Karena pada saat mengajukan permohonan izin usaha, AMDAL tidak ada,” tambah Tenaga Ahli Bupati Lingga Bidang Promosi dan Investasi Daerah, Ady Indra Pawennari.
Ady juga menyinggung kewajiban membuat AMDAL sebelum mengajukan permohonan IUP diatur pada Pasal 15 huruf (i) Peraturan Menteri Pertanian RI No. 26/ Permentan/ OT.140/ 2/ 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan dan Pasal 40 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Sanksi pidananya diatur pada Pasal 111 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pejabat yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3 miliar,” katanya.
Selain itu, sambung Ady, pada konsideran mengingat angka (17) IUP PT. CSA menggunakan Keputusan Menteri Pertanian No. 357/ Kpts/ HK.350/ 5/ 2002, tanggal 23 Mei 2002 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan yang sudah dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi sejak ditetapkannya Peraturan Menteri Pertanian RI No. 26/ Permentan/ OT.140/ 2/ 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
“Sanksi pidana yang lebih tegas lagi diatur pada Pasal 106 huruf (b) UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Gubernur, Bupati/Walikota yang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan peraturan perundang-undangan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar,” pungkasnya.