Berdasarkan data dan fakta, pasutri Agung Cahyono - Silvia Damayanti ini, belum pernah mendaftar di RSUD dr Soewandhie untuk mendapatkan layanan persalinan.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya, Febria Rachmanita menerangkan, pada tanggal 14, 15 dan 16 Agustus 2020, dalam data RSUD dr Soewandhie tidak ada pasien bernama Silvia Damayanti.
Namun, ada berita yang menyebutkan, sekitar tanggal tersebut, pasien atas nama itu tidak dilayani dengan baik ketika melakukan pra-persalinan di RSUD dr Soewandhie.
"Berdasarkan data dan fakta di RSUD dr Soewandhie pada tanggal 14-16 Agustus 2020, pasien atas nama tersebut tidak terdaftar datanya di rumah sakit. Artinya tidak ada pasien atas nama itu," kata Febria, Selasa (19/10).
Padahal, kata Febria, saat datang ke Puskesmas Gundih pada 14 Agustus 2020 untuk melakukan pemeriksaan kehamilan, pasien sudah diberi rujukan agar ke RSUD dr Soewandhie.
Sebab, hasil pemeriksaan kehamilan di puskesmas, didapatkan pasien memiliki tekanan darah 140/80 MMHg, dengan diagnosa Pre Eklamsia.
"Karena itu, puskesmas kemudian memberikan rujukan sesuai peraturan ke RSUD dr Soewandhie. Alasannya juga karena RSUD milik pemkot dan pasien terdaftar sebagai peserta BPJS PBI," ungkap Febria.
Namun demikian, Kadinkes yang lekat disapa Feny itu menyebutkan, ketika jadwal persalinan tanggal 30 September 2020 tiba, pasutri itu memilih untuk mendapatkan layanan ke Rumah Sakit (RS) swasta atas kemauannya sendiri.
Bahkan, suami pasien menyetujui pembiayaan di rumah sakit itu dengan membayar secara mandiri dan menandatangani general consent.
"Sebelumnya, pihak rumah sakit swasta juga sudah menjelaskan kepada pasien terkait prosedur pelayanan dan pembiayaannya. Karena, rumah sakit itu sendiri belum bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, maka pasien setuju membayar deposit Rp4 juta," jelasnya.
Sesuai protap, pihak rumah sakit swasta tentu berkewajiban untuk melayani persalinan pasien tersebut.
Pasien pun akhirnya melahirkan dengan Sectio Caesar. Nah, ketika akan keluar rumah sakit (KRS) dengan total biaya persalinan Rp15,8 juta yang sudah dipotong deposit, rupanya pasien tidak mampu membayar.
Pihak rumah sakit swasta pun tetap memberikan keringanan kepada pasien dengan cara mencicil selama 12 bulan.
"Pasien pun menyetujuinya dengan menandatangani surat persetujuan. Jadi setiap bulan pasien bisa mencicil Rp300 ribu ke rumah sakit swasta tersebut selama 12 bulan," katanya.
Namun, itikad baik dari rumah sakit swasta, rupanya dilupakan oleh pasutri yang berdomisili di Jalan Sidotopo Wetan ini.
Pasalnya, cicilan kedua dan seterusnya belum pernah dibayarkan.
Terlebih pula, sejak bulan Januari hingga 12 Oktober 2021, pihak rumah sakit tidak bisa menghubungi pasutri itu karena HP tidak aktif.
Sehingga, komunikasi kemudian dilakukan melalui penghubung pasien.
"Nah, tanggal 13 Oktober 2021, pihak rumah sakit kemudian menghubungi penghubung pasien untuk menanyakan sisa tagihan dan meminta pasutri untuk datang ke rumah sakit," sebut Feny.
Tentunya, pemanggilan oleh pihak rumah sakit swasta kepada pasutri dilakukan agar ada kejelasan informasi.
Apalagi, KTP pasutri itu beserta surat kenal lahir (SKL), masih disimpan baik oleh pihak rumah sakit.
Tujuannya, agar pasien dan keluarganya bersedia datang untuk berkoordinasi. Namun, saat ini pasutri itu malah membuat KTP baru.
"Sebenarnya pasien sendiri punya kewajiban untuk membayar ke rumah sakit swasta itu. Di awal, pihak rumah sakit swasta sudah menjelaskan belum ada kerjasama dengan BPJS. Suami pasien sendiri juga sudah sepakat untuk membayar dengan cara mencicil dan menyetujuinya," pungkasnya.