KABARPROGRESIF.COM: (Jakarta) Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mengusut kasus dugaan tindak pidana korupsi pada Proyek Pembangunan Pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel pada tahun 2011.
Kali ini, Kejagung memeriksa empat orang sebagai saksi.
"Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi pada Proyek Pembangunan Pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel pada tahun 201," kata kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Ketut Sumedana dalam keteranganya, Selasa (31/5/22).
Adapun saksi-saksi yang diperiksa, yaitu ABP selaku Senior Audit Komersial PT Krakatau Steel.
Dia diperiksa terkait penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan pabrik blast furnace oleh PT Krakatau Steel pada Tahun 2011.
Kemudian, HS selaku Manager Operasional Audit Periode 2013-2018.
HS juga diperiksa terkait penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan pabrik blast furnace oleh PT Krakatau Steel pada Tahun 2011.
Lalu, KS selaku Head of Internal Audit Division PT Krakatau Steel Periode 2019-2020.
Ia diperiksa yang mana pada jabatan tersebut, hubungan dengan BFC Project yaitu selaku Manager Akuntansi Management melakukan proses penyusunan anggaran tahunan termasuk BFC Project untuk dimasukkan ke Anggaran Tahunan (RKAP).
Kemudian selaku Manager Akuntansi Keuangan melakukan proses verifikasi pembayaran, dan kemudian selaku Direktur Keuangan PT Krakatau Engineering ikut serta menyetujui Proses Perpanjangan Dana Bridging Loan.
"Hingga akhirnya adanya Penandatanganan Perjanjian Perubahan dan Penegasan Kembali Keempat Pemberian Pinjaman (Bridging Loan) antara PT Krakatau Steel dengan PT Krakatau Engineering yang ditandatangani oleh masing-masing Direktur Utama a/n Mas Wigrantoro Roes Setiyadi dan Firjadi Putra dengan nilai Dana Bridging Loan sebesar Rp 31.729.886.583," kata Ketut.
HS selaku Direktur Keuangan PT Krakatau Engineering, yang bersangkutan juga melakukan pembayaran atas penggunaan Dana Bridging Loan tersebut kepada vendor atas pekerjaan BFC Project.
Ia juga melakukan pembayaran atas PO/JO pada periode selama menjabat selaku Direktur Keuangan sekitar Rp 100 Miliar.
HS saat baru menjabat Direktur Keuangan, progress pekerjaan BFC sudah mencapai 99% dan jumlah dana yang dikeluarkan oleh PT Krakatau Engineering kepada para vendor sudah melebihi nilai termin yang diterima PT Krakatau Engineering dari PT Krakatau Steel atas pekerjaan Local Portion BFC Project.
"Terakhir, selaku Head of Internal Audit PT Krakatau Steel, saksi melakukan pendampingan dengan BPKP untuk melakukan Audit Tujuan Tertentu dan Audit Investigatif terhadap Pelaksanaan Proyek BFC, namun sebelum Laporan Investigatif terbit, yang bersangkutan memasuki periode pensiun," tutur Ketut.
Saksi selanjutnya ialah DM selaku Head of Internal Audit Division periode 11 Mei 2020 s/d sekarang. Ia diperiksa terkait mengetahui temuan hasil audit yang hingga saat ini tidak dipenuhi oleh PT. Ke.
"Diantaranya bukti dukung dokumen pembayaran uang muka tidak sah sebesar Rp 351 Miliar dan dokumen pembayaran yang tidak sah saat proses pelaksanaan BF pada periode 2011 s/d 2017," tutup Ketut.
Sebagai informasi, kasus ini berawal pada 2011 sampai dengan 2019, di mana PT Krakatau Steel membangun Pabrik Blast Furnace (BFC) bahan bakar batubara untuk memajukan industri baja nasional dengan biaya produksi yang lebih murah, karena dengan menggunakan bahan bakar Gas biaya produksi lebih mahal.
Pada 31 Maret 2011, dilakukan lelang pengadaan pembangunan Pabrik BFC yang dimenangkan oleh Konsorsium MCC CERI dan PT Krakatau Engineering.
Sumber pendanaan pembangunan Pabrik BFC awalnya dibiayai Bank Eksport Credit Agency (ECA) dari China.
Namun dalam pelaksanaannya, ECA tidak menyetujui pembiayaan proyek dimaksud karena EBITDA atau kinerja keuangan perusahaan PT Krakatau Steel tidak memenuhi syarat.
Pihak PT Krakatau Steel kemudian mengajukan pinjaman ke sindikasi Bank BRI, Mandiri, BNI, OCBC, ICBC, CIMB, dan LPEI.
Nilai kontrak setelah mengalami perubahan adalah Rp6.921.409.421.190 dan pembayaran yang telah dilaksanakan adalah sebesar Rp5.351.089.465.278 dengan rincian, porsi luar negeri Rp3.534.011.770.896 dan porsi lokal Rp1.817.072.694.382.
Pekerjaan pun dihentikan pada 19 Desember 2019 dikarenakan pekerjaan belum 100 persen dan setelah dilakukan uji coba bahwa operasi biaya produksi lebih besar dari harga baja di pasar.
Pekerjaan pun belum diserahterimakan dengan kondisi tidak dapat beroperasi lagi alias mangkrak.
Adapun dilakukan pemberhentian di tahun 2019 karena biaya produksi lebih tinggi dari harga di pasar dan berdasarkan hal tersebut, terindikasi adanya tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 jo.
Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor.