KABARPROGRESIF.COM: (Tulungagung) Kejaksaan Negeri (Kejari) Tulungagung menetapkan direktur PT Kya Graha, AK (42) sebagai buronan.
Langkah itu diambil, setelah perempuan yang sering menjadi kontraktor proyek di Pemkab Tulungagung ini tiga kali mangkir dari pemanggilan penyidik Kejari Tulungagung.
Sebelumnya AK telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan korupsi di peningkatan jalan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Tulungagung.
"Secara resmi AK telah kami mohonkan menjadi DPO (daftar pencarian orang)," terang Kasi Intelijen Kejari Tulungagung, Agung Tri Radityo, Senin (6/6/2022).
Agung menambahkan, pemanggilan ketika kepada AK dilakukan pada April 2022.
Karena tiga kali dipanggil tidak datang, pihaknya berupaya mendatangi kediamannya di Desa Kauman, Kecamatan Kauman.
Petugas juga melakukan verifikasi domisili kepada Ketua RT setempat.
"Penjelasan ketua RT, yang bersangkutan sudah tidak domisili di situ. Tidak ada yang tahu dimana domisilinya," ujar Agung.
Atas dasar itu, Kejari mengajukan penetapan DPO ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur pada minggu lalu.
Selanjutnya Kejati yang akan meneruskan ke Kejaksaan Agung (Kejagung).
Nantinya Kejagung yang akan berkoordinasi dengan Kepolisian, untuk sama-sama mencari AK.
"Jadi lintas instansi, baik Kejaksaan maupun Kepolisian nantinya terlibat dalam proses pencariannya. Mana yang lebih cepat, supaya AK lekas ditangkap," tegas Agung.
Selain menetapkan sebagai DPO, Kejari Tulungagung juga mengajukan cekal.
Hal ini untuk mencegah AK jika yang bersangkutan akan bepergian ke luar negeri.
Pengajuan cekal telah diajukan ke Kejati Jatim sekitar dua minggu lalu, dan nantinya akan diteruskan ke Kejagung dan Imigrasi.
"Yang bisa melakukan cekal adalah imigrasi, karena itu koordinasinya lewat Kejagung. Cekal berlaku selama 6 bulan, kemudian bisa diperpanjang lagi," papar Agung.
Lebih jauh Agung mengungkapkan, penetapan DPO ini merugikan AK. Sebab sikap ini dinilai sebagai perilaku tidak kooperatif selama proses hukum.
Sikap ini juga bisa menjadi pertimbangan hukum untuk memperberat tuntutan.
"Dia yang rugi karena proses hukumnya jadi lambat. Selain itu dia bisa dinilai tidak kooperatif dan jadi pertimbangan untuk memperberat saat penuntutan," ungkas Agung.
Disebutkan, AK selalu mangkir setiap kali ada panggilan pemeriksaan sebagai tersangka.
Dalam alasannya, AK melampirkan surat keterangan sakit dari sebuah rumah sakit di Jakarta.
Kasus ini bermula dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI tahun 2019, karena ada kelebihan bayar dari empat proyek peningkatan jalan di Dinas PUPR Tulungagung.
Masing-masing ruas jalan Jeli-Picisan, Sendang-Penampihan, Tenggong-Purwodadi dan Boyolangu-Campurdarat.
Kelebihan bayar terjadi karena hasil pekerjaan di bawah spesifikasi, namun negara tetap membayar penuh.
Saat itu PT Kya Graha selaku kontraktor diminta mengembalikan kelebihan bayar senilai Rp 2,2 miliar.
AK selaku sebagai direktur PT Kya Graha tidak memanfaatkan masa sanggah dan tidak mau mengembalikan seperti klaim BPK RI.
Unsur pidana korupsi pun terpenuhi, karena ada kerugian keuangan negara dalam perkara ini.
Kejari Tulungagung yang menangani perkara ini kemudian menggandeng Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jawa Timur untuk menghitung ulang kerugian.
Hasilnya terdapat peningkatan kerugian dari hitungan BPKP menjadi Rp 2,4 miliar.