Dalam upacara itu, Wakil Wali Kota Surabaya Armuji atau Cak Ji menjadi Inspektur upacara menggantikan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi yang sedang ada acara.
Bertindak sebagai Komandan Upacara adalah Camat Wonokromo Maria Agustin Yuristina, dan para petugas upacara lainnya juga berasal dari para perempuan di lingkungan Pemkot Surabaya, termasuk pula para peserta upacaranya adalah para srikandi di jajaran Pemkot Surabaya.
Pada kesempatan itu, Wawali Armuji membacakan sambutan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Menariknya, pada saat hendak mengakhiri sambutan tersebut, Wawali Armuji tiba-tiba menyampaikan bahwa di atas mimbar itu teringat dan terngiang-ngiang dengan perjuangan seorang ibu yang merupakan perempuan pertama yang menjadi Wali Kota Surabaya, yaitu Ibu Tri Rismaharini atau Risma.
“Di atas mimbar ini, tiba-tiba saya terngiang-ngiang dengan perjuangan seorang ibu, seorang perempuan pertama yang menjadi Wali Kota Surabaya, yaitu Bu Risma. Ini sebagai contoh bahwa ibu, seorang perempuan mampu memimpin kota ini, mempelopori kota ini dengan baik,” kata Cak Ji.
Bagi dia, sosok Risma yang saat ini menjabat Menteri Sosial RI bukan seorang politisi.
Namun, ia menganggap dia adalah manusia politik. Ia juga menegaskan bahwa antara politisi dengan manusia politik ada perbedaan.
“Kalau politisi mungkin dia hanya bermimpi mencari kekuasaan saja, tapi kalau manusia politik mereka mempunyai lima kriteria,” tegasnya.
Pertama, memiliki ide dan gagasan, yang mana sosok Risma sudah banyak menciptakan ide dan gagasannya untuk Surabaya, baik secara tertulis maupun secara lisan yang disampaikan kepada warga Kota Surabaya.
Kedua, dekat dengan rakyatnya, yang mana pada saat memimpin Surabaya dia sangat dekat dengan rakyatnya, mau mendengar, melihat dan terjun langsung bersama rakyatnya meskipun di terik matahari, sehingga dia berkeringat bersama rakyatnya.
Ketiga, dia mampu mengorganisir di wilayah yang dia pimpin. Keempat, impian untuk mencapai kekuasaan. Itulah sosok Risma yang bisa mengeksekusi apa yang menjadi permasalahan di Kota Surabaya. Kelima, dia mampu beretorika dengan gaya dan stylenya.
“Itulah Bu Risma, selama hari ibu, Ibu Risma,” katanya.
Di samping itu, Wawali Armuji juga menjelaskan bahwa peringatan Hari Ibu ini juga mengingatkan semua pihak tentang kesataraan gender antara kaum laki-laki dan kaum perempuan, baik di dunia pemerintahan maupun di dunia politik.
Bagi dia, kesetaraan gender ini benar-benar terwujud dengan baik ketika perempuan itu benar-benar ikut aktif mengambil peran.
“Dengan adanya Hari Ibu dan semangat perjuangan RA Kartini, maka jangan sampai membuat kaum perempuan di Surabaya minder dan jangan sampai tidak mau ikut dalam berbagai kegiatan,” katanya.
Ia juga menjelaskan bahwa sosok kepemimpinan Risma di Surabaya sudah menunjukkan bahwa emansipasi wanita di Kota Surabaya sudah berjalan, dan peran perempuan sudah sama dengan laki-laki.
Bahkan, beberapa lurah, camat dan Kepala Perangkat Daerah (PD) di lingkungan Pemkot Surabaya sudah banyak yang dipimpin oleh perempuan.
“Makanya, kita akan terus mendorong supaya kaum perempuan atau ibu-ibu di Surabaya untuk mengambil perannya masing-masing di bidangnya masing-masing. Hal ini penting untuk menunjukkan jati dirinya,” katanya.
Sementara itu, Camat Wonokromo Maria Agustin Yuristina yang menjadi Komandan Upacara dalam peringatan Hari Ibu itu mengaku bangga sekaligus deg-degan karena dia khawatir bisa merusak sakralnya upacara tersebut.
Namun, ia pun mengaku senang ketika upacara itu berjalan lancar dan dia pun menjalankan tugasnya dengan sukses.
“Tentu bangga dan deg-degan tadi, karena memang baru kemarin kita latihan dan alhamdulillah lancar. Hari ibu yang terpenting adalah menjadi ibu yang terbaik di dalam rumah kita. Setelah itu, baru kita harus mengingat bahwa kita ini adalah menjadi ibu bagi warga Kota Surabaya, sehingga kita harus menjalankan peran ibu tersebut,” pungkasnya.