KABARPROGRESIF.COM: (Jakarta) Membengkaknya jumlah tenaga honorer bagian administrasi di pemerintahan daerah (Pemda) justru "menyedot" belanja anggaran yang seharusnya digunakan buat pembangunan kesejahteraan masyarakat, atau pembuatan dan peningkatan fasilitas umum.
“Belanja modal yang betul-betul menyentuh untuk rakyat, membangun jalan, mungkin cuma 15-20 persen, jadi tidak ada kemajuan apa-apa,” kata Tito saat menyampaikan paparannya dalam kegiatan penguatan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), di kantor Kemendagri pusat, Jakarta Pusat, Rabu (13/9/2023).
Tito juga mengungkap fakta ternyata banyak tenaga honorer bagian administrasi di Pemda justru banyak diisi oleh mantan anggota tim sukses (timses) atau keluarga kepala daerah, serta kerabat dan kenalan pejabat setempat.
Tito mengatakan, pemerintah tidak mempersoalkan keberadaan tenaga honorer spesialis seperti tenaga kesehatan, perawat dan guru.
Namun, pegawai honorer bagian administrasi yang berlatar belakang timses atau keluarga kepala daerah ini tidak memiliki kerja yang jelas dan keahlian khusus.
Jumlah mereka terus menumpuk ketika dilaksanakan pemilu kepala daerah selanjutnya (Pilkada) dan kepala daerah di wilayah itu diganti.
Mereka membawa orang-orang baru yang berlatar belakang timses atau keluarga sendiri.
"Dikasih kerjaan, jam 8 masuk, tidak punya keahlian, jam 10 sudah ngopi-ngopi, sudah hilang,” tutur Tito.
“Ganti pilkada, ketemu pejabat baru, tim suksesnya masuk lagi, terus numpuk jumlah tenaga honorer yang tidak punya keahlian khusus,” tambah Tito.
Tito menuturkan, banyaknya tenaga honorer menjadi salah satu modus yang dilakukan kepala daerah untuk melambungkan anggaran belanja pegawai.
Padahal, tidak sedikit dari daerah itu bergantung pada kucuran dana dari pemerintah pusat karena memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang kecil atau hanya sekitar 2 sampai 3 persen.
Tito mencontohkan, terdapat daerah yang menganggarkan belanja operasional 67 persen dari APBD. Sementara, 90 persen keuangan Pemda itu bersumber dari pemerintah pusat.
Di sisi lain, sebanyak 90 persen dana itu sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai mulai dari gaji, tunjangan, dan lainnya.
Tito menekankan, APIP mesti masuk lebih dalam dan memantau berbagai perencanaan instansi pemerintah tempat mereka bertugas.
Menurut Tito, APIP memiliki fungsi yang strategis untuk mencegah terjadinya tindak pidana oleh instansi atau kepala daerah terkait.
Mereka diharapkan tidak hanya mengaudit masalah pidana di instansi terkait, melainkan seperti mutasi, perilaku anggota, hingga efisiensi anggaran.
“Salah satu upaya dari pencegahan itu adalah dengan memperkuat APIP-APIP ini, sehingga tidak terjadi masalah hukum,” kata Tito.
“Prinsipnya bagaimana kita memperkuat pencegahan,” lanjutnya.
Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) merupakan program lintas kementerian dan lembaga yang terdiri dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kemendagri, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan lainnya.
Stranas PK mencanangkan sejumlah aksi yang fokus pada pencegahan korupsi di berbagai sektor, termasuk keuangan pemerintah daerah.