Namun lembaga anti rasuah ini akan menyeret pihak lainnya yang diduga turut menikmati gratifikasi penyaluran dana hibah pokir tersebut.
"Tentu saja. Pejabat legislatif atau dewan yang terseret tidak cuma Sahat. Selama fakta itu mengungkap keterlibatan yang lain, anggota dewan lain, tentu kami akan sikapi lebih lanjut," jelas JPU KPK Arief Suhermanto, Selasa (19/9).
Meski demikian, KPK saat ini masih berfokus pada persidangan terhadap terdakwa Sahat dan kawan-kawan.
Jika nantinya terungkap fakta persidangan tentang keterlibatan pihak lain, maka JPU KPK bakal melakukan serangkaian langkah hukum lanjutan guna menindaklanjuti hal tersebut.
"Nanti, ini masih berkaitan dengan perkara Pak Sahat. Tentu saja (berkembang) dengan mencermati fakta-fakta yang terungkap di persidangan ini, kami akan mencermati bagaimana hakim mempertimbangkan semua fakta yang ada di sini. Kami akan cermati lagi," pungkasnya.
Seperti diberitakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Wakil Ketua DPRD Jawa Timur nonaktif, Sahat Tua P Simandjuntak 12 tahun penjara
Tak hanya itu, Hak politik Sahat Tua P Simandjuntak juga dicabut selama lima tahun terhitung ketika terpidana selesai menjalani masa pemidanaan.
Wakil Ketua DPRD Jawa Timur nonaktif, Sahat Tua P Simandjuntak juga dituntut membayar denda sebesar Rp1 miliar subsidair kurungan enam bulan.
Bahkan politisi asal Partai Golkar ini juga harus membayar uang pengganti sebesar Rp39,5 miliar.
Nah, jika tidak bisa membayar uang pengganti selama satu bulan maka harta miliknya disita oleh negara dan dilelang untuk menutupi uang pengganti, jika tidak sanggup membayar, diganti dengan pidana penjara selama enam tahun.
Dalam sidang tersebut JPU KPK juga menuntut Rusdi sebanyak empat tahun penjara.
Rusdi juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp200 juta, atau subsider pidana penjara pengganti selama enam bulan.
Sahat Tua P Simandjuntak ini dinilai oleh JPU KPK telah melanggar Pasal 12 huruf a Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sahat juga dianggap menerima suap dari dua terdakwa lainnya yaitu Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi selaku pengelola kelompok masyarakat (pokmas) tahun anggaran 2020-2022.
Berdasarkan pembuktian uang Rp39,5 miliar terbukti diterima terdakwa Sahat melalui terdakwa Rusdi.
Namun tuntutan JPU KPK ini disanggah oleh terdakwa Sahat Tua P Simandjuntak.
Politisi asal Partai Golkar ini ngotot hanya menerima uang suap tidak sebesar yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ia mengaku hanya menerima uang suap sebesar Rp2,750 miliar, bukan Rp39,5 miliar.
Hal itu dikatakan Sahat Tua P Simandjuntak saat menyampaikan nota pembelaan atau pledoi secara pribadi saat sidang di Pengdilan Tipikor Surabaya, Jum'at (15/9).
“Saya sudah menyatakan mengaku bersalah. Tetapi saya mohon izin untuk mengklarifikasi jumlah nominal yang didakwakan atau dituntutkan kepada saya, bukan sebesar Rp39,5 miliar,” kata Sahat Tua P Simandjuntak yang menjadi terdakwa dalam perkara korupsi dana hibah pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD Jatim ini.
Menurut Sahat, uang suap yang diterima tersebut melalui anak buahnya Rusdi yang juga sebagai terdakwa.
“Yang saya terima dari Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi secara tidak langsung, hanya sepanjang 2022 melalui saudara Rusdi sebesar Rp 2,750 miliar," jelasnya.
Sahat juga merinci uang suap sebesar Rp 2,750 miliar yang diterima dari Rusdi itu melalui tiga tahapan.
"Yang Rp1 miliar tunai, Rp250 juta via transfer rekening Rusdi, Rp500 juta tunai, dan Rp1 miliar pada saat terjadinya OTT 14 Desember 2022,” ungkapnya.
Nah, sedangkan sisanya sebesar Rp 36,750 miliar, kata Sahat, sebagaimana kesaksian Hamid dan Ilham diberikan kepada almarhum Muhammad Chozin.
“Uang itu tidak pernah saya terima. Saya tidak pernah kenal, tidak mengenal, dan bertemu Chozin,” katanya.
Sahat percaya, penyidik maupun JPU KPK pasti sudah memeriksa handphone-nya dan tidak ada rekam jejak digital, bukti riwayat chat, atau komunikasi dengan Chozin.
Selain itu, Hamid dan Ilham tidak pernah menyaksikan Chozin menyerahkan uang secara berturut-turut hingga Rp36,750 miliar ke dirinya.
“Dalam fakta persidangan, saksi Hamid dan Ilham menyatakan baru mengenal saya tahun 2022 dan iitu pun karena mereka berdua datang ke kantor saya,” pungkasnya.
Menyikapi Pledoi Sahat, dalam Repliknya JPU KPK menolak semua pembelaan Wakil Ketua DPRD Jatim nonaktif ini.
"Pada prinsipnya, kami tidak sependapat dengan dalil bantahan dalam pembelaan terdakwa maupun penasehat hukumnya (PH) itu," jelas JPU KPK, Arief Suhermanto dikutip Kantor Berita RMOLJatim usai sidang, Selasa (19/9).
Terutama, kata Arief soal tidak terbuktinya kedekatan terdakwa Sahat dengan Khozim, salah satu saksi dalam kasus ini, yang kebetulan meninggal dunia, sebelum kasus ini mencuat.
"Apalagi kalau disebutkan, tidak sinkron oleh terdakwa dengan PH," ungkap Arif.
JPU Arif menerangkan, hubungan kedekatan antara Sahat dengan Khozim terbukti dari percakapan (chat) dalam ponsel terdakwa lain Ilham Wahyudi dengan saksi Khozim.
Percakapan tersebut ternyata sudah berlangsung sejak tahun 2017.
Artinya, jauh dari bantahan terdakwa Sahat yang sempat mengaku mengenal terdakwa Ilham Wahyudi dan Abdul Hamid, pada tahun 2022.
"Tersampaikan dan juga terlampirkan dalam replik ini yang tercatat di tahun 2017 sampai tahun 2022, sebelum meninggal dunianya si M Khozim. Di situ kita juga mengenai chat terkait dengan Khozim kepada Ilham akan bertemu dengan Sahat," tandasnya.
Bahkan, lanjut Arif, terdapat bukti transfer uang yang terjadi antara sejumlah pihak hingga akhirnya mengalir ke terdakwa Sahat.
"Dan juga menguatkan dengan bukti transaksi Afif yang mengatakan bahwa pertemuan Gigih meminta ketemu sama si Khozim itu kejadian sebelum covid. Berarti tahun 2019," lanjutnya.
Terbuktinya hubungan antara saksi Khozim dengan terdakwa Sahat, disebut oleh Arif menegaskan adanya aliran dana senilai total Rp39,5 miliar yang sempat dibantah oleh terdakwa Sahat.
"Nah itu sudah nyata hubungan antara Khozim dengan terdakwa Sahat, adalah ada. Dan ada perantara sebagaimana ada dalam pendalaman perkara, dalam pembuktian penerimaan uang Rp36,5 miliar. Total, digabungkan dengan yang di Rusdi ya. Kalau hanya Khosim Rp36 miliar. Kalau dengan Rusdi Rp39 miliar," ungkapnya.
Arief Suhermanto menjelaskan mengenai status uang sitaan KPK senilai Rp1,4 miliar. Bahwa uang tersebut disita dari saksi Afif, yang merupakan teman dari terdakwa Rusdi yang terseret dalam kasus korupsi terdakwa Sahat.
Penyitaan yang dilakukan oleh JPU KPK, didasarkan pada keterangan saksi Afif dalam persidangan agenda pemeriksaan saksi yang menyebutkan ketidakjelasan sumber perolehan uang tersebut.
Bahkan, ungkap Arif, disinyalir kuat uang tersebut diperoleh dari praktik lancung yang dilakukan oleh pejabat legislatif DPRD Jatim, bermodusnya sama dengan dilakukan oleh terdakwa Sahat.
"Sebagaimana keterangan saksi Afif, yang mengakui bahwa uang-uang itu dikumpulkan dan diterima dari beberapa anggota DPRD. Yang kami duga itu adalah berasal dari sama dengan apa yang dilakukan oleh Pak Sahat," jelasnya.
"Sehingga sudah selayaknya uang-uang itu tidak jelas asal-usulnya. Artinya, dari mana, sebab apa, bukan terkait yang formal dan resmi, sehingga kami meminta itu disita," pungkasnya.