Namun terdakwa Dindin Kamaludin bersama Ikhwan Nursyujoko yang terjerat Perkara Koneksitas Tindak Pidana Korupsi Pembangunan Rumah Prajurit Setara Tower Lantai 6 Tahun 2018 tersebut.
Juga menganggap dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur tidak jelas dan tak cermat.
"Perkara koneksitas akan tetapi tidak melibatkan Hakim dari unsur militer sebagaimana disebutkan dalam butir C. Surat Dakwaan bahwa perkara aquo merupakan perkara koneksitas, ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Panglima Kodam III Siliwangi selaku perwira penyerah perkara Nomor KEP /1119/ IX/ 2023 tanggal 18 September 2023 tentang penyerahan perkara, serta keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 185/KMA/SK/IX/2023 tanggal 14 September 2023 tentang Penunjukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Surabaya untuk Memeriksa dan Mengadili Perkara Koneksitas Tindak Pidana Korupsi Pembangunan Rumah Prajurit Setara Tower Lantai 6 Tahun 2018," ujar Heykal Anwar didampingi Timur Ibnu Hamdani, S.H., M.H, dua penasehat hukum dari Dindin Kamaludin secara bergantian saat membacakan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan JPU Kejati Jatim di ruang sidang Cakra Pengadilan Tipikor Surabaya, Kamis (12/10).
Hal ini lanjut Heykal Anwar, SH didukung dengan fakta dalam Surat Dakwaan disebutkan dua terdakwa yang berasal dari unsur militer dan sipil itu yakni terdakwa Dindin Kamaludin yang berasal dari unsur militer dan terdakwa Ikhwan Nursyujoko yang berasal dari unsur sipil.
Sehingga fakta dalam Surat Dakwaan ini semakin mempertegas bahwa perkara aquo merupakan pekara koneksitas.
"Koneksitas sebagaimana diatur dalam Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer." jelasnya.
Hal serupa menurut Heykal Anwar, diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Kekuasaan Kehakiman yang mengatur, tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
"Kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer," tegasnya.
Heykal juga menjabarkan selanjutnya ketentuan mengenai koneksitas diatur dalam Pasal 94 KUHAP jo Pasal 203 UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer:
Pasal 94 KUHAP
(1) Dalam hal perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau lingkungan peradilan militer, yang mengadili perkara tersebut adalah majelis hakim yang terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang hakim.
(2) Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari hakim ketua dari lingkungan peradilan umum dan hakim anggota masing-masing ditetapkan dari peradilan umum dan peradilan militer secara berimbang .
Pasal 203 UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
(1) Dalam hal perkara pidana sebagaimana dalam Pasal 198 ayat (1) diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, yang mengadili perkara tersebut adalah Majelis Hakim yang terdiri dari sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Hakim.
(2) Dalam hal Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 ayat (1), Majelis Hakim terdiri dari Hakim Ketua dari Pengadilan dalam lingungan peradilan umum dan Hakim Anggota yang masing-masing ditetapkan secara berimbang dari Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Pengadilan lingkungan peradilan militer.
Selanjutnya Pasal 26 UU TIPIKOR mengatur, Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Bahwa oleh karena UU Tipikor tidak menentukan lain terkait Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, maka KUHAP berlaku secara mutlak dalam pemeriksaan perkara koneksitas.
"Oleh karena dalam surat dakwaan disebutkan bahwa perkara aquo merupakan perkara koneksitas, maka kami mempertanyakan komposisi Hakim yang memeriksa dan memutus perkara aquo, khususnya Hakim anggota apakah telah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 94 KUHAP jo Pasal 203 UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan Militer, yaitu ditetapkan secara berimbang dari Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Pengadilan lingkungan peradilan militer," ungkapnya.
Heykal menambahkan Surat dakwaan secara tegas menyebutkan bahwa perkara aquo merupakan perkara koneksitas sehingga perkara harus diperiksa dan diputus oleh Majelis HAKIM Koneksitas sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 94 KUHAP jo Pasal 203 UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan Militer, yaitu ditetapkan secara berimbang dari lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer.
"Akan tetapi terdapat ketidakjelasan mengenai komposisi Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara aquo. Apabila Majelis Hakim bukan Majelis Hakim Koneksitas, dengan melibatkan unsur militer, maka Majelis Hakim tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara aquo," ungkapnya.
Bahwa sebagai pembanding, kata Heykal, terdapat perkara koneksitas tindak pidana korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) kontrak sewa satelit Artemis Avanti di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI pada tahun 2015, dengan regiter perkara nomor: 19/Pid.Sus-TPK/2023/PN Jkt.Pst, dengan terdakwa, Laksda (Purn) Agus Purwoto (militer), Surya Cipta Witoelar (sipil) dan Arifin Wiguna (sipil).
"Yang telah diputus pada 17 Juli 2023 dimana terdapat satu Hakim Anggota dari unsur militer atas nama Letkol Laut (KH/W) Koerniawati Syarif, SH., MH (sumber: http://sipp.pn-jakartapusat.go.id dan berbagai sumber). Dengan perkara yang sama, sudah seharusnya diterapkan aturan/ hukum yang sama, yaitu dengan melibatkan unsur militer dalam komposisi Majelis Hakim, sehingga terdapat kepastian hukum atas pemeriksaan perkara aquo, karena diperiksa oleh Majelis yang berwenang," jelasnya.
Maka berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan diatas, masih kata Heykel demi kepastian hukum (legal certainty) dan keadilan (legal justice) kami mohon kiranya Majelis Hakim yang mengadili perkara ini berkenan untuk memutuskan:
1. Menyatakan menerima dan mengabulkan Nota Keberatan yang diajukan oleh kami selaku Penasihat Hukum dari Terdakwa 1 Dindin Kamaludin, S.I.P, M.M untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum No. Reg. Perkara : 01/SUS/11/2000 tanggal 18 september 2023 atas Terdakwa 1 Ir. H. Dindin Kamaludin, S.I.P, M.M, batal demi hukum atau setidak-tidaknya menyatakan surat dakwaan Penuntut Umum terhadap Terdakwa 1 tidak dapat diterima;
3. Menyatakan penahanan atas Terdakwa 1 telah melampaui batas maksimal penahanan, oleh karena itu menyatakan Terdakwa 1 bebas demi hukum;
4. Menyatakan bahwa perkara aquo merupakan perkara koneksitas, oleh karena itu perkara harus diperiksa diputus oleh Majelis Hakim yang terdiri dari Hakim Ketua dari Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Hakim Anggota yang masing-masing ditetapkan secara berimbang dari Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Pengadilan lingkungan Peradilan Militer.
5. Menyatakan bahwa Majelis Hakim tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara aquo
"Atau, apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya (et aquo et bono). Akhirnya sebagai penutup, kami doakan semoga Majelis Hakim dapat diberi petunjuk yang benar dalam menyimak, meneliti, dan memutuskan perkara ini sesuai hukum dan nurani keadilan," pungkasnya.
Seperti diberitakan, kasus ini bermula dari dugaan penyimpangan penggunaan dana yang dikeluarkan oleh PT. SPU, anak perusahaan BUMN PT Surabaya Industrial Estate Rungkut (PT SIER).
Dana tersebut akan digunakan untuk paket pekerjaan pembangunan rumah prajurit setara tower lantai 6 tahun 2018 di Cipinang.
Terdakwa Ikhwan selaku pihak dari PT Neocelindo Inti Beton Cabang Bandung pihak penerima paket pekerjaan pembangunan rumah prajurit setara tower lantai 6 Tahun 2018.
Lalu, paket pekerjaan tersebut diserahkan kepada PT SPU untuk dikerjakan.
Mekanismenya, sebagai biaya pekerjaan awal atau relokasi, Ikhwan meminta uang kepada PT SPU.
Totalnya mencapai Rp1,25 miliar.
Nah, setelah uang diberikan ternyata paket pekerjaan pembangunan rumah prajurit setara tower lantai 6 Tahun 2018 tidak ada alias fiktif.
Sedangkan, untuk peran tersangka dari Militer, yakni Letkol CZI DK, diduga menerima sebagian uang pembayaran dari Rp1,25 miliar tersebut.
Tak hanya itu, Letkol CZI DK juga berperan mengatasnamakan TNI yang akan mengadakan paket pekerjaan pembangunan rumah prajurit setara tower lantai 6 Tahun 2018, kendati paket pekerjaan tersebut tidak ada.
Pihak PT SPU sendiri sebelumnya sudah dilakukan proses persidangan dan sekarang dalam tahap upaya hukum banding atas nama Dwi Fendi Pamungkas yang saat kejadian sebagai Direktur Utama PT SPU dan Agung Budhi Satriyo yang pada saat kejadian selaku Kepala Biro Teknik PT SPU.
Atas perkara ini, Letkol CZI DK dikenakan sanksi berdasarkan ketentuan Pasal 198 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer yang pada pokoknya menjelaskan tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Dalam perkara tindak pidana korupsi proyek perumahan prajurit ini, sebelumnya ada dua orang terdakwa yang telah memperoleh putusan hukum dari majelis hakim pada pengadilan tingkat pertama.
Mereka adalah Dwi Fendi Pamungkas yang saat kejadian tahun 2018 menjabat Direktur Utama PT SIER Puspa Utama dan Agung Budhi Satriyo selaku Kepala Biro Teknik pada anak perusahaan PT SIER tersebut.
Keduanya sama-sama divonis pidana satu tahun enam bulan penjara di Pengadilan Tipikor Surabaya.