Surabaya - KABARPROGRESIF.COM Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Kota Surabaya mengungkapkan sejumlah faktor bisa memicu terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Sejumlah faktor tersebut, di antaranya adalah masalah individual, sosial, dan hukum.
"Jadi memang kekerasan terhadap perempuan dan anak ini masalah sosial yang kompleks dan multifaktor. Ada beberapa faktor, di antaranya individual, sosial dan hukum," kata Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), DP3A-PPKB Kota Surabaya, Thussy Apriliyandari, Kamis (25/1/2024).
Thussy menjabarkan, pada faktor individual, hal ini bisa disebabkan karena lingkungan keluarga.
Banyak pelaku dan korban kekerasan, tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga atau masyarakat yang tidak harmonis.
"Dimana (pelaku) menganggap kekerasan ini hal yang wajar. Tidak perlu dilaporkan, tidak perlu ditindaklanjuti, dan mereka itu tidak sadar, bahwa apa yang mereka lakukan salah dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM)," paparnya.
Kedua, Thussy menyebut, tidak adanya kesadaran pelaku terhadap tindakan kekerasan.
Menurut dia, banyak pelaku kekerasan tidak menyadari bahwa tindakan yang dilakukan itu menyakiti atau merugikan korban.
"Apakah dia (korban) anak kandung sendiri, atau siapapun itu dalam lingkungan keluarga. Mereka itu merasa berhak melakukan kekerasan, karena misalnya (pelaku) orang yang memberi uang untuk korban," katanya.
Selain kurangnya kesadaran, faktor individual juga bisa dipicu dari sosok pelaku yang memang memiliki karakter keras, agresif, impulsif, egois dan tidak sabaran.
Di samping itu, faktor lain yang bisa menjadi penyebab adalah rantai kekerasan yang tidak terputus.
"Jadi mereka tidak selesai sebagai orang tua. Mereka (pelaku) juga (sebelumnya) dikerasi oleh orang tuanya dari dulu, secara fisik dan sebagainya," paparnya.
Kemudian faktor lain yang bisa memicu terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah masalah sosial budaya patriarki.
Thussy menjabarkan, bahwa dalam beberapa kasus, menempatkan laki-laki sebagai superior dan perempuan inferior.
"Kesetaraan gender belum digubris dalam (kasus) itu. Nah, budaya ini melegitimasi kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai sesuatu yang wajar dan dapat diterima," bebernya.
"Yang kedua adalah pengaruh media massa, media sosial dan sebagainya. Gadget itu luar biasa pengaruhnya. Ini dapat berperan dalam memicu terjadinya kekerasan," ungkap dia.
Thussy menerangkan, selain faktor individual dan sosial, kurangnya kesadaran terhadap hukum, juga memicu terjadinya kasus kekerasan.
Padahal, kekerasan terhadap perempuan dan anak telah diatur jelas dalam Undang-undang (UU) di Indonesia.
"Hukum kita di Indonesia sudah ada undang-undang perlindungan dan sebagainya. Tapi yang tidak paham itu masyarakatnya atau pelaku. Jadi mereka tidak paham apa yang dilakukan itu ada konsekuensi hukum," jabarnya.
Menurut Thussy, dalam faktor hukum, seorang pelaku melakukan kekerasan juga bisa dipicu karena merasa memiliki korban.
Misalnya, korban merupakan anak kandung dari pelaku.
"Jadi memang faktor-faktornya cukup banyak. Penyebabnya, ada faktor individual, keluarga, sosial," ucapnya.
Ia menuturkan bahwa bagaimanapun yang terpenting dalam mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah lingkungan keluarga.
Baik itu orang tua maupun anak, harus kembali memegang teguh ajaran agama masing-masing.
"Tidak ada agama yang mengajarkan tentang kekerasan terhadap keluarga, apakah golongan-golongan minoritas yang lemah yaitu perempuan dan anak. Kemudian faktor terbesar lain adalah ekonomi," pungkas dia.