Hal ini tentu menjadi perhatian tersendiri di kalangan masyarakat, termasuk di Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur.
Pengamat Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, Andri Arianto memberikan pandangannya terkait fenomena ini.
Menurutnya, kecemasan masyarakat terhadap adanya paslon tunggal dalam Pilkada 2024 adalah hal yang lumrah.
"Masyarakat panik dan cemas karena hanya ada satu paslon dalam Pilkada. Mereka khawatir, bagaimana jika kotak kosong yang menang? Selain itu, ada yang menganggap kondisi ini tidak demokratis," ujar Andri, Selasa (3/9).
Andri menjelaskan bahwa fenomena paslon tunggal pada Pilkada 2024 tidak hanya terjadi di Surabaya.
Tetapi juga terjadi di sejumlah kabupaten di Jawa Timur dan bahkan berbagai daerah di Indonesia.
"Informasi dari KPU (Komisi Pemilihan Umum) ada 43 kabupaten/kota yang memiliki satu paslon sejak ditutupnya pendaftaran pada 29 Agustus 2024. Meskipun masa pendaftaran itu diperpanjang, potensi calon tunggal tetap ada," jelas Andri.
Namun, Andri mengungkapkan bahwa persentase jumlah paslon tunggal pada Pilkada 2024 sebenarnya menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Pada Pilkada 2020, ada sekitar 25 paslon tunggal yang tersebar dari 270 daerah, dengan persentase 9,26 persen.
"Sementara pada tahun 2024, ada 43 paslon tunggal dari 545 daerah atau sekitar 7,8 persen. Jadi, ini sebenarnya penurunan," ungkap Andri.
Andri menilai bahwa penurunan jumlah paslon tunggal dalam Pilkada serentak adalah hal yang positif.
Meski hal itu dipandangnya tidak menjadi masalah ketika pada Pilkada 2024 masih terdapat Paslon tunggal.
"Artinya persentase semakin menurun dari tahun ke tahun," tambahnya.
Menurut Andri, kecemasan masyarakat terkait fenomena Paslon tunggal, juga harus dilihat dari pengalaman Pilkada sebelum adanya Putusan Mahkamah Agung (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah.
Dimana terjadi kecenderungan hubungan koalisi partai politik dalam mengusung paslon memang dikondisikan untuk melawan kotak kosong.
Namun, Andri kembali menegaskan bahwa sejak adanya Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, persentase paslon tunggal justru menurun menjadi sekitar 7 persen dari total penyelenggaraan Pilkada 2024.
"Jadi Putusan MK kemarin juga sangat berdampak," imbuhnya.
Andri mencontohkan seperti yang terjadi di Kota Surabaya.
Dalam Pilkada 2024, Kota Pahlawan berpotensi hanya memiliki satu paslon, yaitu Eri Cahyadi-Armuji.
Menurut dia, masyarakat tidak perlu berprasangka buruk terhadap fenomena ini karena hal itu adalah sesuatu yang umum.
"Masyarakat tidak seharusnya berprasangka buruk terhadap fenomena ini dengan alasan tidak demokratis, lalu mengajak orang untuk memilih kotak kosong. Fenomena ini adalah hal yang umum terjadi di Indonesia," katanya.
Andri berpandangan bahwa Paslon Eri-Armuji memiliki potensi elektabilitas yang tinggi karena kinerja mereka selama memimpin Surabaya.
Seperti diantaranya keberhasilan dalam menurunkan kemiskinan, stunting hingga menangani pandemi Covid-19.
"Dengan potensi elektabilitas yang tinggi, penantang tentu akan berpikir dua kali untuk melawan petahana Eri-Armuji," jelasnya.
Pada sisi lain, Andri juga menyoroti koalisi yang mendukung pasangan Eri-Armuji hampir diisi oleh seluruh partai politik.
Baginya, koalisi dalam Pilkada tidak bisa disamakan dengan Pemilihan Presiden (Pilpres).
"Koalisi yang terbentuk saat ini didukung oleh hampir semua partai. Ini tidak bisa dibandingkan dengan pencapresan, karena kekuatan penguasaan legislatif di setiap daerah itu berbeda-beda," ujarnya.
Ia menekankan bahwa keberhasilan pasangan Eri-Armuji dalam membangun komunikasi politik dengan kelompok-kelompok penting di Surabaya, seperti tokoh agama, tokoh masyarakat hingga kelompok bisnis, turut memperkuat posisi mereka.
"Kinerja mereka yang baik, tidak korupsi, dan mampu melayani masyarakat dengan baik, sehingga hal itu semakin memperkuat posisi mereka," ujar Andri.
Terkait kekhawatiran mengenai kemenangan kotak kosong, Andri mengingatkan masyarakat bahwa hal ini justru akan merugikan mereka.
Pasalnya, ketika kotak kosong menang, maka wali kota akan diisi oleh Penjabat (Pj) yang ditunjuk oleh pemerintah pusat atau provinsi.
"Dan masyarakat tidak tahu siapa orangnya, dan ini justru tidak demokratis," tegasnya.
Untuk itu, Andri menegaskan bahwa mendorong masyarakat memilih kotak kosong adalah langkah yang salah.
Sebab, jika kotak kosong yang menang, justru masyarakat sendiri yang dirugikan karena dipimpin penjabat yang tidak mereka pilih.
"Mendorong masyarakat memilih kotak kosong itu adalah sesat pikir. Masyarakat harus diberi sosialisasi tentang bahaya memilih kotak kosong. Karena jika terjadi, masyarakat akan dirugikan dengan hadirnya penjabat yang tidak dipilih oleh mereka," ujarnya.
Andri juga tidak sepakat terkait anggapan bahwa dengan hanya satu paslon yang diusung pada Pilkada 2024, kontrol terhadap eksekutif menjadi tidak berjalan.
Baginya, kontrol kinerja pemerintahan tidak hanya dilakukan oleh legislatif tetapi bisa juga dari masyarakat.
"Masyarakat juga memiliki peran dalam mengontrol pemerintahan. Selama ini, Eri-Armuji telah membuka ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi mereka langsung kepada wali kota. Ini adalah bentuk kontrol yang efektif," jelasnya.
Secara garis besar, Andri menyimpulkan bahwa fenomena paslon tunggal dalam Pilkada Surabaya bukanlah sesuatu yang harus ditakuti atau dianggap tidak demokratis.
"Jauh lebih tidak demokratis jika itu memang sengaja atau ada gerakan yang diarahkan memilih kotak kosong. Malah sentralisme akan terjadi lagi, kalau orang dari pusat yang ditunjuk menjadi penjabat wali kota," pungkasnya.