Jakarta - KABARPROGRESIF.COM Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami kasus udgaan rasuah pengadaan lahan di Rorotan, Jakarta Utara. Dua saksi diperiksa penyidik pada Kamis, 24 Oktober 2024.
“Saksi didalami terkait dengan penyertaan modal daerah (PMD) ke BUMD PP Sarana Jaya pada tahun 2019,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto melalui keterangan tertulis, Jumat, 25 Oktober 2024.
Tessa cuma mau memerinci inisial dua saksi itu yakni AG, dan FRH. Berdasarkan informasi yang dihimpun, mereka yakni Fungsional Ahli Madya Perencana Badan Perencana Pembangunan Daerah Jakarta Ahmad Giffari dan staf Subkelompok Usaha Infrastruktur BPBUMD Jakarta Ferry Richard Hamonangan.
“Pemeriksaan dilakukan di Gedung KPK Merah Putih,” ujar Tessa.
KPK enggan memerinci jawaban dua saksi itu. Informasi mendetail baru dibuka dalam persidangan, nanti.
KPK menetapkan lima tersangka dalam kasus ini yakni, Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya Yoory Corneles Pinontoan, Direktur Pengembangan Perumda Pembangunan Sarana Jaya Indra S Arharrys, Direktur Utama PT Totalindo Eka Persada Donald Sihombing, Komisaris Totalindo Eka Persada Saut Irianto Rajagukguk, dan Direktur Keuangan Totalindo Eka Persada Eko Wardoyo.
Kasus ini bermula ketika Perumda Pembangunan Sarana Jaya ingin berinvestasi soal pengadaan lahan pada 2019 sampai 2021. Saat itu, PT Totalindo Eka Persada menawarkan lahan kepada perusahaan pelat merah tersebut.
Tanah yang ditawarkan seluas 11,7 hektare. Harga yang dibuka yakni Rp3,2 juta per meter persegi. Kesepakatan awal yakni lahan mau dibeli Perumda Sarana Jaya dengan harga Rp3 juta per meter per segi. Harga itu disepakati tanpa melakukan kajian internal lebih dulu.
Penawaran itu tidak mengartikan Perumda Sarana Jaya membeli lahan dengan harga lebih murah. Harga lahan sekitaran lokasi hanya Rp2 juta per meter persegi.
Ketidaknormalan harga itu sudah diketahui Yoory. Tapi, dia malah meminta data dari KJPP diabaikan.
Total, Perumda Sarana Jaya menyepakati Rp371,5 miliar untuk pembelian lahan dengan PT Totalindo Eka Persada. Padahal, lahan itu sejatinya milik PT Nusa Kirana Real Estate.
Negara ditaksir merugi Rp223,8 miliar atas permainan kotor itu. Data itu didapatkan dari laporan investasi dan pengadaan tanah oleh Perumda Pembangunan Sarana Jaya.
Dalam kasus ini, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.