Surabaya - KABARPROGRESIF.COM Kabar adanya dugaan malpraktek hingga pasien terlantar di RSUD Dr. Mohamad Soewandhie beredar di sosial media (sosmed).
Dugaan itu muncul setelah ada pasien berinisial R, 68, yang dirawat di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Dr. Mohamad Soewandhie meninggal dunia, karena dinilai tidak dilayani dengan baik.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Utama (Dirut) RSUD Dr. Mohamad Soewandhie, dr Billy Daniel Messakh beberkan kronologi adanya dugaan tuduhan itu terhadap pasien yang ditangani oleh tim medis di ruang IGD, Jumat (1/11) dini hari.
Saat ditemui di ruang kerjanya, dr Billy menyatakan, tuduhan tersebut tidak benar, karena tim medis yang merawat pasien R, 68, sudah sesuai prosedur dan penanganan intensif.
Dirut RSUD Dr. Mohamad Soewandhie, dr Billy mengatakan, saat pasien R dilarikan ke IGD dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Melihat kondisi tersebut, nakes RSUD Dr. Mohamad Soewandhie bergegas melakukan penindakan agar pasien tersebut tertangani dengan baik.
Setelah dilakukan penanganan, ternyata pasien R mengalami sakit kencing manis yang menyebabkan perempuan tersebut hilang kesadaran.
“Karena gula darahnya sangat tinggi. Jadi karena komplikasi gula darahnya yang sangat tinggi itu, menyebabkan luka di kakinya sehingga ada gangren yang menyebabkan harus amputasi, dan naik ke otaknya sehingga tidak sadar, maka dari itu kami stabilkan di IGD,” kata dr. Billy.
Ia menjelaskan, pada saat itu, dokter penanggungjawab pasien R, segera melakukan pengobatan untuk penanganan lebih lanjut.
Disamping itu, lanjut dr. Billy, dokter penanggung jawab tersebut melakukan pengecekan gula-darah terhadap pasien tersebut.
“Gula-darahnya itu 335, ya itu tinggi, sangat tinggi. Setelah itu, dikasih obat kemudian turun menjadi 105 gula-darahnya. Nah, ini membantah tuduhan bahwa kita tidak ngapa-ngapain (melakukan penindakan) terhadap dia (pasien),” jelasnya.
Dikarenakan infeksi penyakit tersebut sudah menyebar ke seluruh tubuh pasien, setelah melakukan pengobatan lebih lanjut, tim medis RSUD Dr. Mohamad Soewandhie yang bertugas di IGD saat itu melakukan proses terapi dan observasi hingga kondisi pasien membaik.
“Nah, itu terapinya masih dilanjutkan terus. Karena kondisi otaknya sudah permanen dan tidak bisa kembali lagi, sehingga keadaanya tidak bisa kembali pulih dan kesadarannya tidak bisa naik,” paparnya.
Kerena kondisinya yang tak kunjung pulih, akhirnya pasien tersebut tidak bisa dilakukan perujukan ke RS lain atau pun dipindahkan ke ruang rawat inap.
Karena, pasien dengan kondisi tersebut harus diawasi ketat oleh tim medis. Setelah dilakukan perawatan intensif dan pengawasan ketat oleh tim medis, kondisi pasien R tak kunjung pulih, justru mengalami penurunan.
Melihat kondisi tersebut, akhirnya tim medis RSUD Dr. Mohamad Soewandhie yang bertugas di IGD menyampaikan kondisi sebenarnya kepada pihak keluarga, pada 31 Oktober 2024 pukul 22.00 WIB.
Setelah menyampaikan kondisi tersebut, pihak keluarga pasien justru tidak terima dengan tim medis RSUD Dr. Mohamad Soewandhie, karena dinilai tidak menangani pasien secara serius.
Karena kondisi pasien yang tak kunjung pulih, akhirnya pihak keluarga tidak terima terhadap pernyataan tersebut, hingga membawa massa dan melakukan protes ke ruang IGD.
“Saat itu datang ke salah satu dokter kami, pihak keluarga menanyakan kondisi pasien yang tak kunjung pulih. Kami pun menjelaskan karena memang kondisinya memburuk dan sudah sakit agak berat sehingga sulit untuk pulih kembali. Namun pihak keluarga terus menyudutkan kami bahwa tidak melakukan tindakan apapun,” terangnya.
Setelah itu, pihak keluarga memaksa masuk ke ruangan dokter yang menangani pasien R.
Bahkan saat itu, sekelompok massa yang masuk ke dalam ruang IGD memblokir ruangan dokter sehingga menyebabkan terlambat menangani pasien lainnya.
Di waktu yang bersamaan, pasien R pun mengalami kritis hingga akhirnya dokter RSUD Dr. Mohamad Soewandhie yang bertugas di IGD terlambat menolong karena ruangan diblokir pihak keluarga pasien.
Karena kejadian ini, pasien R pun tidak sempat tertolong dan dinyatakan meninggal dunia.
Ia pun menyayangkan, adanya aksi pemblokiran ruangan dokter pada saat akan melakukan penindakan terhadap pasien.
Tak lupa, ia turut menyampaikan rasa berduka yang mendalam atas meninggalnya pasien tersebut.
“Dalam keadaan kritis kita mau tolong, mereka menolak, anaknya yang menolak. Karena anaknya menolak, akhirnya kami tidak bisa berbuat apa-apa. Disisi lain, pihak keluarga justru bilang pasien dalam keadaan kritis tidak ditangani, padahal tidak,” jelasnya.
Di samping itu, Kepala IGD RSUD Dr. Muhammad Soewandhie, dr Ariyanto Setyoaji mengatakan, pada awal datang tim medis sudah melakukan pertolongan pertama.
Mulai dari pemberian cairan infus, oksigen, obat antibiotik, hingga pemeriksaan laboratorium.
Selain itu, tim medis yang bertugas di IGD juga melakukan pembersihan luka pasien hingga monitoring ketat.
“Jadi waktu itu juga kami tempatkan di tempat yang paling mudah untuk kami melakukan observasi. Ketika pasien tersebut masuk kami tempatkan di tempat khusus karena mengancam jiwa,” kata dr Aryanto.
Pada saat pasien tersebut ditangani, tim medis di IGD juga sudah berkoordinasi dengan dua dokter spesialis, yakni spesialis penyakit dalam dan spesialis bedah.
“Jadi sudah dirawat oleh dua dokter spesialis,” ujarnya.
Agar kondisi pasien tersebut tetap stabil, tim medis pun melakukan observasi melakukan kontrol gula-darah.
Selain itu, juga diberi oksigen, karena kondisi oksigen ke otak pasien saat itu dalam kondisi tidak baik.
“Selain itu kami juga memberikan cairan infus yang kandungan natriumnya cukup tinggi. Setelah penanganan tersebut, pasien sempat membaik, namun beberapa saat kemudian kondisinya menurun kembali karena infeksi berat,” terangnya.
Karena kondisi pasien yang belum membaik, tim medis pun memutuskan untuk tetap dilakukan perawatan di IGD.
Tujuannya, agar pasien tersebut bisa dilakukan pemantauan secara intensif.
“Melihat kondisi pasien pada saat itu belum stabil, maka kami memutuskan merawat pasien itu di IGD agar lebih baik. Pertama lebih untuk dilakukan transportasi dan kedua lebih baik dilakukan perawatan di ruangan, dan observasi di IGD lebih ketat,” pungkasnya.